29 - Mencoba Jauh

128 21 52
                                    

DUA PULUH SEMBILAN

Aku memperhatikan bayanganku di cermin dengan seksama. Untung sekali semalam aku tidur dengan pulas, jadinya mata panda yang diakibatkan karena menangisi Mahesa dua hari berturut-turut sudah memudar. Dengan ini teman-temanku yang sudah kuceritakan semua masalahku, akan menganggap aku benar-benar sudah berhasil melupakan Mahesa, walaupun kenyataannya tidak seperti kelihatannya sih. Dengan begini tidak akan ada kekhawatiran lagi di mata mereka saat nanti melihat keadaanku yang sudah kusulap menjadi baik-baik saja.

Setelah yakin tidak ada yang aneh dengan penampilanku, aku baru memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Sebelum membuka pintu aku melirik jam di tanganku, yang sekarang menunjukkan jam enam lewat lima belas. Aku jadi berubah terlampau rajin begini, karena aku terbiasa berangkat dengan ayah, yang punya kebiasaan berangkat pagi-pagi sekali.

Setelah keluar dari kamarku, aku tak sengaja melihat pintu kamar Yoyo yang sedikit terbuka. Alih-alih langsung turun ke lantai satu, aku malah lebih tertarik melangkah ke kamar adikku terlebih dahulu.

"Yoyo bangun uda--" kataku sambil membuka pintu kamarnya, tapi itu terhenti karena kulihat kamarnya sudah rapi, sangat berbeda seperti hari-hari biasanya.

Karena tak kunjung menemukan keberadaan Yoyo, aku memutuskan untuk turun ke bawah saja, tepatnya ke dapur. Seperti biasa, di dapur hanya ada ayah dan bunda. Tidak ada Yoyo maupun kak Al. Kalau kak Al aku tidak heran sih, karena ia sangat kebo. Ia selalu bangun cepat untuk melaksanakan kewajibannya kemudian akan langsung tidur lagi. Tapi Yoyo? Tumben sekali dia tidak terlihat dalam jangkauanku.

"Yoyo ke mana bun?" tanyaku sambil menaruh nasi goreng ke dalam piringku.

"Udah berangkat," jawab bunda.

"Kok tumben dia cepat berangkatnya?"

"Ya baguslah dia berubah ke arah yang lebih baik."

Aku menghela napas mendengarnya. Memang sangat bagus Yoyo berubah jadi lebih baik. Tapi, itu aneh. Hal itulah yang membuatku kebingungan. Belum lagi saat mengingat kemarin ia tidak banyak berbicara denganku, bahkan saat aku bertanya kenapa ia memblokir nomor Airin ia tetap memilih diam.

"Ehm bun," kataku sambil menggigit bibir.

"Apa?"

"Gigi bawa motor sendiri hari ini ya?" tanyaku takut-takut. Sebenarnya aku sudah memikirkan ini dari kemarin-kemarin, tapi karena aku takut meminta, akhirnya kuputuskan untuk meminta sekarang, saat aku mau berangkat sekolah.

Bunda langsung menatapku. "Nggak boleh!" tolak bunda tegas.

Aku menghela napas, kemudian kulirik ayah yang sedang makan. "Ayah boleh ya?"

Ayah menatapku lembut. "Kenapa hari ini kamu mau bawa motor sendiri Gi? Emang mas Eca nggak sekolah?" tanya ayah.

Aku yang sedang males berbohong menggeleng. "Sekolah kok dia."

"Terus kenapa? Mas Eca nggak mau anterin kamu lagi?" tanya ayah lagi.

Lagi-lagi aku menggeleng. "Nggak gitu juga sih yah."

"Terus ngapain kamu minta bawa motor sendiri? Kalau mas Ecanya aja nggak masalah buat anterin kamu?" Sekarang giliran bunda yang bertanya.

"Ah itu anu bun!" Aku jadi kelimpungan sendiri. Sekarang skenario yang kurancang dari semalam mendadak kulupakan semuanya.

"Udah ah, udah. Pokoknya hari ini kamu pulang bareng mas Eca titik!" seru bunda.

Oke, saatnya opsi terakhir.

"Mas Eca udah punya pacar bun," kataku dengan napas memburu.

Bunda dan ayah langsung menoleh padaku. Nampak sekali keduanya sangat shock mendengar penuturanku. Ayah bahkan sampai tersedak, sedangkan bunda yang sedang tidak makan hanya melotot. Sebenarnya aku tidak tega menjatuhkan harapan ayah dan bunda. Tapi daripada aku terus berbohong, dan memberi harapan pada ayah dan bunda, pada Mahesa yang sebentar lagi akan balikan sama Airin. Mending aku jujur dari sekarang aja kan?

***

Padahal aku sudah berencana untuk sampai ke sekolah bertepatan dengan jam masuk, dengan cara membawa motorku sepelan mungkin. Tapi karena sudah sangat kangen bawa motor aku jadi kebablasan, dan membawanya sedikit kencang. Alhasil aku sampai ke sekolah awal juga.

Setelah memarkirkan motorku di tempat yang masih terbilang sepi karena masih banyak yang belum datang, aku langsung bergegas ke kelasku.

Sampai di sana, kelasku masih sangat sepi. Tidak ada satupun manusia yang ada di dalamnya. Sepertinya hari ini aku sampai lebih awal ke sekolah, ketimbang saat aku berangkat dengan ayah. Setelah meletakkan tasku di meja tempatku duduk, aku memutuskan untuk keluar kelas. Rencananya aku akan mengelilingi sekolah.

Belum sepenuhnya keluar dari kelas ini, aku malah bertemu orang yang sangat tidak ingin kutemui. Dan entah ada magnet apa, malah terjadi adegan ftv di antara kami. Aku ke kanan dia juga ke kanan, aku ke kiri dia juga ke kiri, terus begitu sampai tiga kali. Sungguh adegan yang seperti ini sangat canggung.

"Lo duluan," katanya, yang langsung kuangguki, kemudian langsung pergi.

"Lo nggak duduk bareng gue lagi?" tanyanya yang mungkin melihat tasku berada di meja lain. Hal itu sontak membuat langkahku terhenti.

Aku menghela napas panjang. "Ah ya, semalam gue lupa ngasih tahu lo, hasil rundingan gue sama Fika," kataku tanpa berbalik badan.

"Berunding apaan?"

"Jadi semalam gue sama Fika sepakat buat barter chairmate. Gue mulai sekarang duduk sama Fika, lo sama Yovie," jelasku seraya berlalu tanpa menunggu Mahesa menjawabnya terlebih dahulu.

Sebenarnya aku sama sekali nggak tega buat gituin Mahesa. Tapi ya mau bagaimana lagi? Daripada aku nggak bisa move on karena terlalu nggak tegaan. Mending aku sadis begini.

***

Hari ini tidak ada jadwal rapat. Karena itu aku bisa pulang cepat. Jadwalku hari ini seolah kembali ke jaman dulu, di mana saat itu aku belum mengenal Mahesa. Omong-omong rapat tidak jadi diadakan, karena katanya Mahesa sedikit tidak enak badan. Sejujurnya hal itu sedikit membuatku mengkhawatirkan cowok itu, tapi aku mencoba untuk bodoh amat, ketimbang aku makin susah lupainnya.

Sekarang aku sedang di halaman depan rumahku, entah ada angin apa aku malah ingin mengangumi bunga-bunga bunda. Dan yah lagi-lagi aku sendirian di rumah. Jadi ketimbang aku nggak tahu mau ngapain, mending aku tunggu bunda pulang saja di sini.

"Yoyo!" Aku terkejut saat melihat motor Yoyo memasuki rumah.

"Lo nggak ada ekskul?" tanyaku heran yang sudah sangat hafal jadwal ekskulnya, sambil berjalan ke arahnya.

Ia mengangguk. Saat ia hendak melewatiku, aku mencium sesuatu dari pakaiannya.

"Lo ngerokok Yo?" tanyaku shock.

Dia langsung melotot. "Lo nggak usah sok tahu deh Gi. Udah deh gue mau masuk dulu, ngantuk," katanya kemudian berlalu, bahkan sebelum sempat aku bertanya lebih lanjut.

Ada apa dengan adik manisku? Entah mengapa tiba-tiba aku merasa Yoyo sedang menutupi sesuatu dariku.

Tbc















Yaya

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang