END

224 19 0
                                    

TIGA PULUH DELAPAN

Hari ini aku kembali menjauhi Mahesa. Jangankan untuk berbicara, meliriknyapun aku ketakutan sendiri. Anehnya teman-temanku tidak banyak bertanya, seolah mereka sudah tahu apa yang terjadi. Tapi aku sih tidak heran, karena mereka sekarang mulai kembali menjodoh-jodohkan aku dengan Mahesa, seolah tidak ingat apa yang menimpaku karena Mahesa. Aku akui memang susah membantah Mahesa, karena cowok itu punya aura meyakinkan yang tak dapat dibantah. Kurasa teman-temanku dengan mudah langsung terpengaruh, hanya dengan mendengar sekali penjelasannya.

Tapi itu jelas tidak berlaku untukku. Aku terlalu takut untuk berkata iya pada Mahesa, meski itu yang sebenarnya dari dulu kuinginkan untuk dikatakan Mahesa kepadaku. Namun, hal mendadak seperti kemarin justru membuatku makin takut. Dan merasa seolah sedang dipermainkan. Bukan apa-apa, aku baru saja putus, terus Mahesa tiba-tiba menembakku, di saat Airin bilang ada seseorang yang sedang disukai oleh Mahesa. Aku takut aku malah jadi objek percobaan Mahesa mengungkapkan perasaannya. Entah mengapa, di saat seperti inilah, kenegatif thingkingku mulai banyak bermunculan.

Karena itu, aku memilih menjawab tidak saat Mahesa bertanya seperti itu. Lalu memintanya jangan banyak bertanya. Dan langsung mengantarku pulang. Kalau tidak aku bakal menangis. Dan setelah dipikir-pikir lagi, tingkahku sangat kekanakan saat itu. Makanya aku sangat malu berpapasan dengan Mahesa.

"Git, tolongin gue dong!"

"Tolongin apa Bil?"

"Kembaliin peta ke gudang please. Sendirian aja tapi. Gue sama Jihan mendadak ada urusan sama anak dance nih. Please mau ya Git! Lo nggak tega kan gue dapat merah karena nggak sempat kembaliin nih peta ke tempatnya," mohon Sabil.

Aku menghela napas. "Ya udah. Sini!" Mengingat kelas sudah sepi, karena aku memilih menyelesaikan menulis tugas di papan agar aku tidak diajak Mahesa pulang, dan meminta dua temanku menemaniku, sehingga kami berakhir tinggal di kelas bertiga dan mendapat perintah dari guru, akhirnya mau tidak mau aku harus mengiyakan apa yang Sabil katakan.

"Makasih Git. Kami duluan ya. Nanti kalau lo udah simpan petanya, ke ruang dance aja, kita tunggu lo di sana." Jihan menepuk pundakku. Kemudian keduanya berlalu dari hadapanku.

Tak lama setelah mereka keluar dari kelas, aku juga ikutan keluar. Sungguh aku agak kesusahan memegang peta yang lumayan besar ini. Untungnya letak gudang tidak terlalu jauh dari kelasku.

Begitu sampai ke gudang, aku langsung masuk ke dalam gudang tersebut. Tapi tiba-tiba pintu yang tadi sudah terbuka, tertutup rapat sesaat setelah aku masuk ke dalamnya. Aku sama sekali tidak terpikir apa-apa, tapi ketika mengingat bahwa pintu gudang ini rusak sehingga para guru membiarkan pintu ini terus terbuka, aku langsung gelagapan dan menuju ke pintu, yang sialnya tidak bisa kubuka, meski sudah kucoba sekuat tenaga.

"Aaa bundaa!!" teriakku histeris.

"Kenapa pintunya lo tutup ha?"

"What? Lo di sini juga?"

"Iya, ada keperluan."

Aku tidak lagi mengingat insiden kemarin. Ini karena maluku sudah dikalahkan oleh rasa takutku.

"Gue telpon Wira dulu ya. Biasanya pintu ini bakal kebuka kalau di buka dari luar," katanya sambil menempelkan benda pipih di telinganya, yang entah mengapa bisa mendadak terdengar teduh di telingaku. "Oke tenang aja, bentar lagi kita bakal keluar kok," sambungnya setelah telepon tertutup. Kemudian ia duduk di tepi pintu gudang.

"Ngapain berdiri. Duduk aja sini. Gue nggak bakal aneh-aneh kok," katanya lagi yang kali ini membuatku terkekeh. Aku kemudian juga ikut duduk di sampingnya dengan perasaan yang terbilang sangat canggung.

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang