DUA PULUH TIGA
Hari ini aku juga ikut rapat dengan Mahesa. Sejujurnya aku sedikit males untuk ikut serta dalam kegiatan itu, tapi karena kata teman-temanku aku perlu melakukan ini untuk setor muka sekaligus sedikit caper pada anak osis, aku mau tidak mau harus melakukannya. Untungnya hari ini Rebeca banyak diamnya. Hal itu membuatku senang sekaligus ngerasa takut, karena diamnya orang seperti Rebeca itu justru patut dipertanyakan, bagaimana kalau di balik diamnya itu, dia sedang merencanakan sesuatu yang licik padaku. Tapi aku juga tidak mau terlalu suuzon pada orang, mana tahu dia udah beneran tobat yakan.
"Oke semua udah jelas kan?" tanya Mahesa setelah berbicara panjang lebar tentang tugas kami yang secara kompak kami semua langsung angguki.
"Kalau gitu gue akhiri rapat hari ini, sampai jumpa di rapat selanjutnya!" tutupnya.
Semua mengangguk dan langsung grasa-grusu menyimpan peralatannya ke dalam tas. Aku tidak terburu-buru, karena aku yakin pasti Mahesa akan pulang terakhir.
"Ayo pulang Git!" ajak Mahesa setelah semuanya keluar.
Aku mengangguk dan dengan semangatnya keluar dari ruang rapat, berjalan beriringan menuju parkiran dengan Mahesa.
"Tit tit." Saat Mahesa menekan kunci yang menghasilkan suara yang beberapa minggu belakangan ini selalu mendengung di telingaku, aku langsung drop.
"Kok lo bawa mobil sih?" tanyaku sedikit kesal, pasalnya aku rela memakai rokku yang sedikit kebesaran, karena kukira Mahesa mau memberiku surprise yaitu membawa motor lalu kami akan pulang bersama, seperti perkataannya kemarin.
"Hah?!" Dia sekarang mengernyit layaknya orang yang sangat kebingungan.
"Ih, gue masuk duluan," sungutku sebal.
Sekarang bibirku maju beberapa senti ke depan, bahkan saat Mahesa masuk aku langsung menoleh ke arah lain.
"Lo kemarin nggak jawab apa-apa pas gue tanya, gue kira itu tandanya nggak," ucapnya setelah dia masuk ke mobil.
Aku langsung menoleh ke arahnya. "Kan nggak lama setelah lo tanya itu, gue ditelpon sama bunda gue, jadi gue nggak sempat jawab pertanyaan lo. Dan setelah gue nerima nelpon, lo nggak bahas itu lagi, gue kira itu karena lo udah tahu apa jawaban gue, makanya gue nggak bahas tentang itu lagi sama lo bahkan saat kita di sekolah," kataku.
Mahesa menghela napas. "Sepertinya ada kesalahpahaman di antara kita berdua," balasnya.
Aku ikutan menghela napas. Setelah kupikir-pikir apa gunanya aku ngambek sama dia. Lagian mana mau dia merasakan sensasi naik motor gede denganku. Ingat Gigi, Mahesa ini bukan siapa-siapa kamu.
"Maafin gue karena udah ngambekan nggak jelas sama lo ya," lirihku kemudian.
Mahesa terkekeh. "Gue juga salah kok, jadi kita damai, dan saling memaafkan satu sama lain, okey?"
"Ehm. Okey!"
"Lo mau makan apa? Biar gue traktir."
Iya tahu Mahesa baik, tapi sayangnya dia bukan untukku. Huh, jadi sedih.
***
Biasa Mahesa akan menolak permintaan bundaku untuk mampir, tapi hari ini entah ada angin apa dia mau mampir ke rumahku. Bahkan hari ini dia memesan makanan tanpa kuminta, kurasa itu karena dia masih merasa bersalah padaku, terlebih saat di perjalanan tadi, aku terus menolak permintaannya untuk mentraktirku.
Omong-omong di rumah hanya ada bunda dan kak Al. Kakakku saking galaunya, sampai jatuh sakit, sehingga ia harus mengambil cuti. Yoyo dan ayahku, masih belum pulang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahesagita✔️
FanfictionKalau kamu baca kisahku. Maka kamu akan: -Ngakak ngelihat betapa kocaknya seluruh anggota keluargaku, atau mungkin kamu bakal jatuh cinta sama tingkah bunda. -Jungkir balik, melayang secara estetik sama kisah aku dan Mahesa yang berasa sport jantu...