21 - Galau Bersama

176 22 57
                                    

DUA PULUH SATU

Semenjak aku melihat foto Airin yang sangat banyak dikumpulkan oleh Mahesa di bukunya, juga teropongnya yang membuatku jadi tahu letak rumah Airin karena saat aku memfokuskan teropong aku justru melihat wajah Airin yang sedang bermain di halamannya, sebenarnya aku sudah ingin menangis sekencang-kencangnya. Tapi dari saat di rumah Mahesa sampai aku pulang ke rumah, aku tidak mendapatkan kesempatan untuk itu. Ada saja orang-orang yang menghampiriku, membuat dadaku makin sesak karena terus menahan tangis.

Sungguh aku orangnya sangat rapuh, hanya saja aku bisa mengendalikan diriku dengan sangat baik di hadapan orang lain. Bahkan untuk sakit hatiku yang kali ini, aku memilih untuk menyimpannya sendiri. Tidak ada yang boleh tahu tentang ini, termasuk Yoyo. Aku nggak mau terus dikasihani orang terdekatku jika mereka tahu kalau cintaku kali ini tak akan pernah berbalas.

Untungnya saat malam aku mendapatkan kesempatan untuk terapi diri sendiri secara mandiri. Aku harus berterimakasih pada kak Al yang galau tapi justru membuat bunda bahagia, sehingga mengijinkan kami semua untuk masuk kamar lebih awal dari biasanya.

Mulanya aku ingin menangis sendirian di kamarku, tapi aku jadi kasian pada kak Al. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke kamarnya, menguncinya rapat-rapat agar Yoyo tidak masuk dan mengacaukan acara galau-galauanku bareng kak Al.

"Gue harap ini kali terakhir lo nangisin Raka," kataku yang membuat kak Al makin menggenggam spreinya kuat-kuat. "Ingat, lo harus berprinsip kayak gue, jangan terus berlarut-larut," sambungku.

Tidak mendapatkan respon apa-apa darinya, membuatku menghela napas panjang. Sekarang aku jadi terpikir untuk melakukan sesuatu.

"Tuhan maafkan diri ini," mulaiku.

"Yang tak pernah bisa,"

"Menjauh dari angan tentangnya!"

Kak Al melirikku, kemudian dia ikutan duduk di sampingku, menyenderkan kepalanya di bahuku.

"Namun apalah daya ini."

"Bila ternyata sesungguhnya."

Kak Al jadi ikutan bernyanyi denganku. Membuatku jadi larut, dan ikutan meneteskan air mata tanpa sepengetahuan kak Al.

"Aku terlalu cinta.."

"Diaaaa!"

Karena aku sudah bertekad hanya akan meratapi nasibku dalam semalam, aku akan menikmati malam ini dengan baik. Bahkan sekarang aku sudah memutar lagu Rossa versi remix tiktoknya, dan sesekali saling bernyanyi dengan kak Al.

Serius, menangis sambil memutar lagu galau itu ampuh banget buat kita merasa sedikit enak jika kita sedang menggalaukan seorang laki-laki.

***

Pendaftaran osis sudah dibuka, baik aku dan Mahesa kami sudah sama-sama menyerahkan berkas pendaftaran kami. Omong-omong Mahesa hari ini tidak banyak berbicara, dia kebanyakan melamun, bahkan mendengar perkataan gurupun kurasa tidak. Sekarang bel sudah berbunyi nyaring, tandanya istirahat. Kedua sahabatku langsung heboh ke kantin, mereka memimpin perjalanan di baris depan, sedangkan aku sengaja memelankan langkah agar aku bisa berbicara dengan Mahesa.

"Ehm Sa!" mulaiku setelah kedua temanku berjalan sedikit jauh dari aku dan Mahesa.

"Iya," jawabnya kikuk.

"Gue harap lo jangan canggung sama gue, kita kayak biasa aja, lagian kita perlu pencitraan di depan banyak orang kan," kataku.

Dia menghela napas. "Lo yakin baik-baik aja?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Gue berencana buat hapusin perasaan gue buat lo, perlahan-lahan. Jadi lo tenang aja, nggak usah mikirin gue, dan fokus aja buat menang supaya nanti gue bisa bantu lo sama Airin," jawabku sambil tersenyum, kemudian berlari ke depan untuk mengejar kedua sahabatku.

Jujur tadi aku sangat nyesek mengatakan itu pada Mahesa. Dadaku rasanya bergemuruh. Yakali aku bisa hapusin perasaanku yang baru kumulai. Belum lagi Mahesa terus ada di dekatku.

Hmmm. Menurutku resep move on ampuh selain yang kukatakan pada kak Al yaitu, jangan pernah punya satu wilayah sama mantan. Karena jika dengan satu chat saja bisa rusak move on bertahun-tahun bagaimana jadinya jika wajahnya terus menerus kelihatan di depan mata kita. Contohnya bisa kita lihat pada kasusku dan Devano, serta kasus Mahesa dan Airin yang mempunyai rumah depan-depanan.

Tapi ya sudahlah, aku akan mencoba biasa aja pada Mahesa, semoga saja aku berhasil menutupi perasaanku padanya.

***

Gosip aku yang akan mendaftar jadi wakil ketua osis, menyebar dengan cepat. Banyak orang-orang yang sekarang menegurku di perjalanan menuju kantin, hanya untuk sekedar bertanya benarkah gosip yang menyebar itu. Sebenarnya aku males meladeni pertanyaan orang, tapi karena aku perlu pencitraan di depan banyak orang, aku terpaksa menjawab semua pertanyaan itu dengan senyum yang terus merekah.

"Kalau di depan ada orang yang nanya lagi, giliran lo yang jawab ya," pesan Mahesa.

Aku mengangguk seraya terkekeh.

Hubunganku dan Mahesa memang mulai kembali seperti biasanya, hanya saja sekarang dia mengurangi interaksi yang terlalu overload manisnya padaku. Tapi walaupun sudah dikurangi tetap saja aku merasa apa yang dilakukan Mahesa terhadapku itu manis. Emang susah kalau sudah jatuh cinta, apapun jadi kelihatan sempurna kalau yang buat itu orang yang kita suka. Terlebih kalau jatuh cintanya sama orang kayak Mahesa.

"Guys, barbie santet di arah jam dua belas, kayaknya dia mau ke meja kita," peringat Jihan, tak lama setelah aku dan Mahesa duduk di bangku kantin.

"Ingat yang, apapun yang dilakuin sama dia, kamu jangan kebawa emosi. Aku yakin dia sengaja gini supaya bisa dapat kekurangan dari kita," tambah Angga, yang membuat Sabil menghela napas, tapi kemudian mengangguk juga.

"Lo bego apa gimana Sa? Di antara banyaknya wakil yang gue saranin ke lo, kenapa lo milih Sagita yang temanan sama anak pelacur ha?!" semprot Rebeca langsung saat dia sudah sampai ke meja kami.

Kulihat Sabil menggertakkan giginya, Angga dengan sigap memegangi tangan pacarnya, kemudian menggenggamnya erat.

"Gue tahu mana yang baik buat gue," balas Mahesa membuat Rebeca mengerang sebal.

"Lo udah tahu kan jawabannya, kenapa masih di sini? Mau ikut gabung makan sama kami juga?" tanya Sabil yang daritadi mencoba untuk tenang. Untunglah ia sudah berhasil meredam emosinya, terdengar dari nada bicaranya yang sangat santai.

Rebeca menyeringai. "Gue belum kalah sayang, lo kira dengan nyuruh Mahesa milih Gita jadi wakilnya, lo bakal menang? Haha, mimpi aja lo nggak usah bangun-bangun kalau itu kemauan lo."

"Oh ya? Kenapa lo tahu? Lo udah ramalin masa depan?" tantang Sabil.

"Gue nggak perlu ramalan basi buat bisa tahu itu," balasnya.

"Ya udah kalau lo sepede itu, mending lo balik ke meja lo, terus makan buat kuatin diri, karena lo gue pastiin bakal kalah." Sabil membuat Rebeca kehabisan kata-kata.

"Nggak anak nggak emak sama-sama nggak tahu diri!" sungut Rebeca yang sudah terlanjur skak hingga akhirnya memutuskan untuk pergi.

Sepeninggalan Rebeca kami semua yang berada di meja ini langsung menatap takjub Sabil.

"Lo keren Bil!" kata kami semua berbarengan.

"Gue gini karena kalian, jadi tolong jangan kecewain gue," pesannya padaku dan Mahesa.

Tbc







Yaya

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang