TUJUH
Sekarang hanya tersisa aku, Mahesa, dan ayah saja di ruang tamu. Bunda dan kedua saudaraku sedang membersihkan meja makan, sekalian mencuci semua tumpukan piring kotor. Sebenarnya aku sudah menawarkan diri untuk membantu, tapi bunda kekeuh melarang, dan menyuruhku untuk menemani Mahesa saja, karena dia adalah tamuku. See? Lawak banget kan bundaku. Jelas-jelas yang memaksa Mahesa untuk makan malam dengan kami itu bunda, lalu kenapa setelah rencananya berhasil bunda bilang Mahesa adalah tamuku.
Tapi aku maklum sih, karena yang namanya bunda pasti selalu bertingkah ajaib. Justru yang patut dipertanyakan itu jika bunda mulai lurus-lurus saja.
"Mas Eca, Gigi ada nyampein salam dari om nggak buat kamu?" tanya ayah memecah keheningan di antara kami.
Mahesa menatapku. Dia kemudian menggeleng.
"Kamu nggak nyampein salam ayah buat mas Eca Gi?" Ayah kemudian beralih kepadaku.
"Lupa yah," akuku setengah jujur. Karena alasan setengahnya lagi, karena aku takut Mahesa bertanya darimana ayahku bisa sampai tahu tentang dia? Kan nggak mungkin aku jujur sama Mahesa kalau Mahesa itu udah jadi tagar trending nomor satu ayah dan bunda saat sedang di rumah.
Mahesa terkekeh guna mencairkan suasana. "Wa'alaikum salam om," balas Mahesa.
"Aduh sopan banget sih kamu. Pantes bundanya Gigi suka banget sama kamu," komen ayah mendadak berbinar sendiri.
Ini gawat. Kalau cuma bunda aku masih bisa menghandlenya, tapi kalau ayah juga ikutan bertingkah seperti bunda, maka aku harus angkat tangan.
"Om bisa aja." Mahesa lagi-lagi terkekeh pelan.
"Om nggak masalah kok kalau kamu panggil ayah," balas ayah sangat random.
"Om aja udah bagus kok om," tolak Mahesa lagi-lagi sangat halus.
"Ya udah senyaman kamu aja, om mah nggak pemaksa kayak bunda." Ayah kemudian terbahak, membuat Mahesa juga ikutan terbahak. Sedangkan aku hanya tersenyum tipis saja, sungguh aku benar-benar malu pada Mahesa sekarang karena tingkah absurd keluargaku.
"Ya udah kalian ngobrol berdua dulu ya, om permisi ke bekakang bentar." Ayah kemudian menatapku. "Gi ajak ngobrol mas Ecanya yah," pesan ayah kemudian berlalu.
"Maafin keluarga gue ya Sa," ucapku sepeninggalan ayah.
"Lah kok minta maaf segala sih?" Ia mengernyit.
"Pokoknya gue minta maaf banget soal malam ini. Dan gue harap apa yang lo lihat malam ini nggak lo ceritain sama siapapun termasuk Wira," mohonku.
Bukannya menjawab Mahesa malah tertawa. "Emang yah roda itu berputar banget, kemaren gue yang malu banget sama lo, eh sekarang malah lo yang ngerasa malu sama gue," katanya.
"Gue serius Sa!"
"Iya gue nggak bakal bilang siapa-siapa."
"Makasih," jawabku tulus.
Tak lama setelah itu, muncul bunda yang masih memakai celemek dengan kedua saudaraku juga ayah. "Mas Eca udah waktunya pulang, soalnya bunda cuma minta izin sama mami kamu sampe jam delapan aja," ujar bunda.
"Oke bunda, makasih semuanya untuk hari ini ya. Eca senang banget kenal kalian," balas Mahesa tulus sekali.
Bunda mengangguk dengan mata berbinar-binar. "Gi anterin mas Eca keluar gih, bunda, ayah, kak Al sama Yoyo masih harus bersihin dapur."
Aku mengangguk, pasti ini salah satu akal-akalan dari bunda lagi. Tapi ketimbang banyak bertanya, aku memilih langsung nurut saja, daripada drama yang membuat Mahesa kembali terbahak kembali berlanjut. Aku kemudian berjalan keluar beriringan dengan Mahesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahesagita✔️
FanfictionKalau kamu baca kisahku. Maka kamu akan: -Ngakak ngelihat betapa kocaknya seluruh anggota keluargaku, atau mungkin kamu bakal jatuh cinta sama tingkah bunda. -Jungkir balik, melayang secara estetik sama kisah aku dan Mahesa yang berasa sport jantu...