27 - Semangat Dari Bunda

127 18 65
                                    

DUA PULUH TUJUH

Hari ini mami Fira menyuruhku berkunjung ke rumahnya, karena katanya ia sudah kangen berat sama aku. Aku yang memang tidak ada kegiatan apa-apa setelah rapat dengan anggota osis, langsung mengiyakan ajakan mami Fira tak lama setelah Mahesa memberitahukan itu padaku.

"Gigi!!" Mami Fira langsung merentangkan tangannya begitu aku turun dari mobil Mahesa. "Makin cantik aja ya kamu," kata mami Fira saat aku membalas pelukannya.

"Bisa aja mami," jawabku malu-malu.

Mami Fira terkekeh. "Kamu udah makan? Kalau belum masuk dulu biar mami siapin kamu makan," ujarnya.

Aku menggeleng. "Gigi tadi udah makan di sekolah kok mi," jawabku sambil tersenyum semanis yang aku bisa. Semoga saja mami Fira nggak eneg lihatnya.

"Ya udah kalau gitu kamu masuk ke dalam aja, tunggu mami selesai nyiram bunga," usul mami kemudian.

Aku menggeleng. "Gigi mau bantu mami nyiram bunga dulu, biar kita masuk bareng aja nanti."

"Ya ampun beruntung banget bundamu punya anak perempuan rajin kayak kamu," ucap mami Fira membuatku tersipu malu.

Kurasa kalau bunda mendengar pujian mami Fira terhadapku, bunda akan langsung menertawakan omongan mami Fira. Karena faktanya saat aku di rumah, jangankan mau disuruh nyiram bunga, dimintai tolong untuk keluarin air oleh bunda dari dalam rumah saat PDAM lagi bermasalah aja, ada saja alasan yang kuberikan.

"Kalau gitu Eca masuk duluan ya, mau main sama Lala, dadah," sela Mahesa yang sedari tadi cuma diam sambil menyimak obrolanku dan maminya.

Mami Fira dan aku kompak mengangguk.

"Bagian ini udah, sekarang kita lanjut ke area depan," seru mami Fira setelah Mahesa masuk, yang langsung kuanggaki dengan semangat empat lima.

Sampai di bagian depan rumah, aku langsung menyiram bunga bersama mami Fira. Saat sedang asyik-asyiknya bercanda, aku melihat pintu pagar rumah Airin terbuka, kemudian keluar satu mobil dari dalamnya.

"Mami nggak suka deh sama mereka sekeluarga, sombong banget soalnya," ujar mami Fira tiba-tiba sesaat setelah mobil yang kulihat keluar dari rumah Airin berlalu.

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku, karena aku tidak tahu harus merespon seperti apa tanggapan mami tentang Airin dan keluarganya.

"Kata Mahesa dia sempat pacaran sama anaknya pemilik rumah itu, tapi mami sama sekali nggak mau percaya," sambung mami Fira lagi.

"Loh, kok bisa nggak percaya sih mi?" tanyaku yang mulai sangat tertarik dengan obrolan ini.

"Kamu bayangin aja nih ya. Masa waktu dia ketemu sama mami di depan rumah dia langsung kabur masuk ke dalam rumahnya. Logikanya kalau mereka pacaran pasti dia bakal caper sama mami supaya mami suka sama dia," jelas mami Fira.

"Iya sih mi, tapi menurut gosip yang Gigi tahu mereka emang bener sempat pacaran lho." Maaf Mahesa, cewek kalau udah dipancing mah nggak akan pernah bisa ngontrol mulut.

"Oh ya?" Mami menghela napasnya panjang. "Apapun hubungan antara mereka dulu, mami senang mereka udah berakhir. Karena mami itu sukanya sama kamu, bukan sama dia," tambah mami Fira membuatku bersemu merah.

Tapi mirisnya aku cuma menang di hati mami Fira, tidak di hati Mahesa. Jadi mau bagaimanapun mami Fira memujiku, tetap saja aku kalah. Dan aku yakin perkataan mami Fira itu hanya bersifat sementara, coba saja mami Fira lihat betapa anaknya tergila-gilanya pada Airin, aku yakin pasti mami Fira akan langsung luluh dan akan langsung lupa kalau dia pernah bilang lebih menyukaiku ketimbang Airin.

***

Hari berjalan sangat cepat, tak terasa besok adalah hari pemilihan osis baru sekaligus hari di mana aku akan menyampaikan visi dan misiku dengan Mahesa di depan semua siswa-siswi. Membayangkan hari esok membuat perutku melilit tak karuan.

"Masih banyak yang harus dicatat Gi?" tanya bunda yang tiba-tiba masuk ke kamarku.

Aku yang sedang menyalin visi misiku dan Mahesa di kertas, sontak menoleh ke arah bunda. Sebenarnya aku sudah menghafal materi yang kutulis, namun karena aku takut besok aku mendadak lupa atau sejenisnya kuputuskan untuk membuat salinan lain dengan tulisan yang lebih rapi dari kertas sebelumnya.

Aku mengangguk. "Iya nih bun, masi lumayan banyak."

"Perlu bantuan bunda nggak?" tanya bunda lagi, kali ini seraya duduk di sampingku.

Lagi-lagi aku menggeleng. "Gapapa bunda, bentar lagi juga kelar kok, bunda kalau udah ngantuk tidur aja, nggak usah nungguin Gigi segala."

Bunda menghela napas panjang. Kemudian bunda mengelus puncak kepalaku lembut. "Usaha emang perlu tapi jangan terlalu jadiin beban perkara besok. Bunda selalu yakin kamu mampu dan bisa. Tapi kalau misalnya besok bukan rezeki kamu, bunda nggak masalah, karena dengan kamu berani daftarin diri aja bunda udah bangga banget sama kamu," pesan bunda yang membuatku berkaca-kaca. "Ayah, kak Al, sama Yoyo juga bilang begitu. Mereka nggak bunda izinin ketemu dulu sama kamu, karena bunda takut mereka gangguin kamu," tambah bunda.

Aku yang selama ini keseringan mendengar kata-kata yang menyakitkan telingaku dari bunda, benar-benar terharu mendengar petuah dari bunda sekarang.

"Makasih bunda. Sampein juga buat ayah, kak Al, sama Yoyo makasih dari Gigi buat mereka," kataku dengan mata yang hampir penuh dengan air mata.

"Ya udah bunda keluar ya, kamu jangan tidur lewat dari jam dua belas ya! Semangat anak bunda!" Bunda berdiri seraya keluar dari kamarku.

Setelah bunda pergi aku menarik napas panjang. Perkataan bunda sangat menenangkanku, semua bebanku karena besok rasanya langsung ilang. Sampai sebuah notif masuk ke handphoneku.

Mas Eca:

Semangat anaknya bunda!! Lo dan gue besok pasti menang.

Pesan dari Mahesa seharusnya membuatku tambah bersemangat. Tapi ketika aku teringat janjiku padanya kalau kami menang, bahuku langsung merosot, bahkan air mata yang daritadi kutahan turun seketika dari kedua belah mataku. Seketika aku menyesali perkataanku yang main asal ceplos saja pada Mahesa, tanpa mikirin nasibku ke depan.

Belum lagi kala aku teringat kalau hubunganku dan Mahesa kian hari kian dekat. Hal itu membuat perasaanku padanya makin besar. Mulanya memang aku pikir aku akan mudah melakukannya, faktanya makin ke sini rasanya malah aku makin susah lepas dengan cowok itu. Ya Tuhan! Apa aku berharap kalau besok aku kalah saja ya? Nggak-nggak. Aku harus sportif. Aku bukan cewek lemah!!

Me:

Lo juga semangat buat menang, biar gue mau bantuin lo buat naklukin hati si Airin.

Ya sudahlah, palingan juga nanti aku dan Mahesa bakal berakhir kayak kasusku sama Devano.

Dari bucin banget, terus jadi lupa banget. Begitulah hidup kalau merasa tersakiti bukan?

Tbc













Yaya

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang