31 - Pengacau Move On

138 19 76
                                    

TIGA PULUH SATU

Malam ini entah ada angin apa sahabat-sahabatku menghubungiku via video call grup. Jika dipikir-pikir tingkah mereka termasuk ke dalam kategori pemborosan kuota, mengingat tadi siang kami semua baru saja berkumpul di kantin sekolah.

"Siapin posisi kalian, gue mau ss nih!" seru Jihan sangat heboh, saat aku baru saja bergabung.

"Posisi gue bagusannya di mana?" tanya Inez sambil mengganti-ganti posisi kepalanya.

"Angel lo kiri Nez," jawab Jihan. "Oke, satu, dua, tiga, cekrek," sambung Jihan.

"Ulang lah ulang, mulut gue monyong banget tadi," pintaku yang juga mendadak sangat excited dengan ini.

Sabil menghela napas. "Masih lama nggak sih guys? Mulut gue pegel nih diem sama senyum mulu," ujarnya sebal.

"Oke udah, semua kelihatan cantik di ss-san gue. Btw biar gue aja yang buat instastory ya, nanti kalian tinggal repost aja," usul Jihan yang langsung aku dan Inez angguki.

Sedangkan Sabil bukannya ikutan mengangguk, ia malah terdengar kembali menghela napas panjang. Memang kalau sedang video call gini, kami semua kecuali Sabil lebih heboh dengan perkara ss, ketimbang obrolannya. Dan tentu saja Sabil selalu protes dan bilang kami alay. Namun, karena kami tidak pernah peduli omongannya, akhirnya dia hanya bisa diam setiap kami video call, meski dengan wajah masam bagaikan jeruk purut sebelum percakapan sesungguhnya dimulai.

"Git, gimana Mahesa?" tanya Sabil kemudian.

Aku jadi ikutan menghela napas seperti yang Sabil lakukan tadi. Gini nih nggak enaknya, kalau semua sahabatku tahu daily activitiesku.

"Udah mendingan."

"Kalau move on lo apa kabar?" Jihan yang kepo ikutan bertanya.

"Nggak baik," akuku jujur.

"Git, lo ingat Fachri yang satu SMP sama kita nggak?" sela Inez.

Aku terdiam sebentar untuk berpikir. "Maksud lo si Fachri dari kelas tujuh tiga yang nyebelin banget itu?"

Inez mengangguk mantap. "Akhir-akhir ini dia nanyain lo mulu sama gue."

"Lo secepatnya harus blokir si Fachri Nez, gue nggak mau lo berurusan sama orang nggak jelas modelan dia," timpalku yang mendadak jadi creepy sendiri, karena seingatku Fachri itu emang pernah jadi penggemar nomor satuku, bahkan ia pernah jadi penguntitku sampai dia bisa tahu semua tentangku. Untungnya semenjak dia diperingatkan Yoyo, cowok itu memilih menyerah untuk mendapatkanku.

Inez menggeleng. "Puberti benar-benar berhasil memperbaiki Fachri dari segi wajah juga sikapnya Git."

Aku menatapnya heran. "Mau gimanapun dia sekarang, gue nggak peduli. Soalnya gue udah terlanjur ilfeel sama tuh orang."

"Kalau Husein ketua rohis sekolah kita mau nggak lo Git?" Kini giliran Jihan yang bertanya.

"Gila lo ya Han! Masa si Husein anak alim gitu mau lo sodorin ke gue yang laknat ini," tolakku seraya melotot.

"Iya juga sih, tapi nggak ada salahnya buat dicoba dulu. Lagian kata sepupu gue, Husein bilang lo cantik, pas dia lihat lo waktu lo lagi kampanye. Nggak cuma itu aja, dia juga ngefollow lo, tapi sampai sekarang belum lo accept. Apa itu nggak cukup buat lo yakin kalau dia itu tertarik sama lo?" Jihan menaik-turunkan alisnya.

Aku melotot. "Ih apaan sih gaje banget lo?!"

"Ingat Git, kalau lo terima Husein, lo bisa buat tiktok uwu yang backsoundnya kisah ini berawal dari instagram," sambung Jihan sambil mesem-mesem sendiri.

"Halu deh lo Han!" sungutku sebal, tapi diam-diam berharap juga punya kesempatan membagi keuwuwanku sendiri pada orang-orang.

"Mending lo sama Dimas anak taekwondo aja Git. Gue jamin dia lebih keren dari dua orang yang dibilang Jihan sama Inez." Sabil juga tak mau kalah memberikan kandidat untukku.

Aku menghela napas. "Kalian kenapasih?" tanyaku heran.

"Kami cuma mau lo nggak terus ngestuck di Mahesa Git, cuma itu aja," jawab Sabil yang jadi ikutan menghela napas juga.

"Santuy. Gue bakal mulai buka lembar baru secepatnya kok," kataku sambil tersenyum, karena sangat bangga punya sahabat-sahabat yang sangat peduli padaku.

***

Semenjak aku keseringan berangkat dengan ayah, kebiasaanku berangkat sangat pagi ke sekolah mulai jadi kebiasaanku. Seperti hari ini contohnya, aku berangkat sangat awal, dan mendapati kelasku masih kosong melompong. Jika biasanya aku memilih untuk berjalan-jalan menikmati udara pagi di luar kelas, maka beda halnya dengan hari ini. Rasanya hari ini aku sangat mager, bahkan untuk sekedar mengangkat kakiku berjalan di satu keramik.

Saat aku sedang tidur di lipatan tanganku, aku merasa bangku di sebelahku bergerak. Awalnya aku tidak peduli, karena kupikir itu Fika. Tapi ketika aku teringat, kalau Fika si langganan telat tidak akan mungkin sampai ke sekolah sepagi ini, aku langsung mendongak.

"Mahesa!" seruku terkejut sekali. "Lo udah sembuh?" sambungku mendadak khawatir.

"Belum sih. Tapi karena gue ngerasa makin sakit waktu di rumah, jadi gue putusin buat sekolah aja," jawabnya santai, sambil duduk di sampingku.

Aku mengangguk, tapi sedetik kemudian aku langsung menaikkan sebelah alisku, saking terkejutnya aku. "Terus lo ngapain duduk di sini? Ini kan bangku gue sama Fika."

"Fika nggak masuk, Yovie juga. Karena kebetulan hari ini gue lupa bawa buku paket, jadi kita duduk berdua ya!" usulnya membuatku melotot, saking tak paham dengan keputusan sebelah pihaknya.

"Nggak mau, mending gue duduk sendiri, daripada sama lo," tolakku mantap.

"Please!" pintanya.

Aku menggeleng, dan hendak menarik tangan Mahesa agar ia lekas duduk di tempat biasanya. Tapi saat aku menyentuhnya, tangannya terasa sangat panas. Sampai-sampai membuatku refleks memegang dahinya.

"Astaga Sa. Badan lo panas banget!!"

"Gue masih sakit, jadi ijinin gue buat duduk bareng lo ya!!" ujarnya membuatku menghela napas.

"Terserah lo!!" Aku yang sebal memutuskan membalikkan badanku ke arah lain. Kenapa cowok itu selalu saja datang untuk menggagalkan move onku sih?

"Lo tahu nggak kenapa mami ijinin gue buat sekolah hari ini?" tanyanya tanpa menghiraukan aksi balik badanku yang menandakan kalau aku sedang marah padanya.

"Nggak tahu dan nggak mau tahu!!" ketusku.

Mahesa membalas ketusanku dengan kekehan khasnya. "Itu karena gue bilang gue bakal cepat sembuh kalau gue ada di samping lo," sambungnya membuat pipiku memerah. Tapi karena aku sudah bertekad tidak mau terlalu geer lagi, jadi aku tetap teguh pada pendirianku yaitu tidak mau menatap Mahesa sama sekali.

"Kemarin pas lo jenguk gue, gue ngomong sesuatu yang aneh nggak?" tanyanya lagi seperti masih berusaha memancingku untuk berbicara.

"Nggak ingat," jawabku asal-asalan.

Ia berhenti bertanya, kukira itu bagus, karena artinya Mahesa sudah menyerah. Tapi sesaat kemudian dia kembali berulah dengan tangannya yang panas. Yang dengan seenaknya tanpa permisi terlebih dahulu, membalikkan tubuhku ke arah depan, tepat menghadap ke papan tulis.

"Apasih lo!"

"Biarin gini bentar," katanya sambil tidur di bahuku. Aku tentu saja mau protes, tapi karena suhu badanya terasa semakin panas, aku akhirnya mengalah, membiarkan cowok itu berlaku sesuka hatinya.

"Gue nggak balikan sama Airin Git," katanya membuat napasku tertahan.

Tbc

Loha genks! Aku kembali. Btw siapa yang paling buat kalian berkesan di cerita ini? Monggo dikomen.








Yaya

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang