TUJUH BELAS
Istirahat kali ini aku dan teman-temanku habiskan di rooftoop. Hal ini diprakarsai oleh Sabil. Karena katanya ada hal penting yang tidak bisa disampaikan di tempat orang yang ramai, kami pun langsung mengikuti kemauan dia tanpa banyak bertanya.
"Makanannya mana? Gue kira lo mau ajak kita piknik, makanya gue semangat ke sini," kata Wira sesaat setelah ia sampai ke rooftoop.
"Piknik palalo, gue ke sini itu mau adain rapat, bukan makan bareng!" ketus Sabil yang langsung membuat Wira menggerutu. "Ini udah semua kan?" sambung Sabil kemudian.
"Pertanyaan lo nggak usah bergaya kayak presiden lagi nanyain menteri juga kali Bil," balas Angga.
Sabil mendengus sebal.
"Udah-udah, lo mau bilang apa Bil?" potong Mahesa.
"Jadi gue ngumpulin kalian semua di sini karena gue udah nemuin cara buat ngelengserin kekuasaan si Rebeca," mulai Sabil.
"Oh ya? Gimana caranya tuh? Jangan bilang berantem lagi? Kalau itu sih gue nggak setuju." Mahesa menatap ngeri Sabil.
"Pliss deh nggak usah lebay, rencana gue nggak bakal sedangkal itu."
"Terus apa?"
"Sebelum gue bilang, gue mau tanya sesuatu dulu sama lo Sa. Pemilihan osis kali ini lo ada di belakang Rebeca atau bukan?" tanya Sabil pada Mahesa.
"Gila banget, ya nggak lah, gue berencana jadi osis tanpa campur tangan Rebeca supaya perbedaan ras bisa musnah dari sekolah ini," jawab Mahesa yakin.
Sabil manggut-manggut seolah sangat sepakat dengan jawaban Mahesa. "Lo udah nemu kandidat yang maju buat jadi wakil lo belum?" tanyanya lagi.
"Masih mencari."
"Kalau gitu gue mau lo jadiin Gita wakil lo," kata Sabil membuat semua yang berada di sini melotot terlebih aku yang namanya disebut.
"Kok gue sih? Nggak mau gue, titik." Aku langsung protes, enak saja Sabil main menumbalkan aku begitu saja.
"Ini buat ngelengserin si Rebeca lho Git! Lagian gue yakin banget kalau dia bakalan luar bisa shock kalau tahu salah satu dari teman gue jadi aparatur sekolah."
"Kenapa harus gue coba? Kenapa nggak Angga aja, yang anak osis beneran itu kan dia," bantahku masih kekeuh.
Sabil menatap Angga yang sekarang sedang fokus menjilati permen kaki bewarna merah. "Modelan gitu lo suruh mimpin sekolah kita ha?"
"Sakit banget sih perkataan kamu itu yang. Tapi aku setuju sih sama yang kamu bilang, karena aku sadar kalau aku diciptakan untuk mewujudkan visi misi orang alias bekerja di belakang layar bukan merancang visi misi apalagi disuruh ngomong di depan banyak orang." Angga dan Sabil kemudian bertos ria bersama.
Dasar pasangan aneh!!
"Kalau gitu kenapa nggak lo aja Bil? Atau Jihan, bisa juga Inez, kalau Wira sih jelas jangan," saranku yang masih kekeuh pada pemikiranku.
"Lo tahu kan kalau otak gue sama Jihan itu agak-agak sengklek, jangankan jadi waketos jadi wakil ketua kelas aja kami nggak pantes. Nah kalau Inez, apa lo rela Inez pingsan mulu setiap kali disuruh ngomong ke depan?" jelas Sabil, yang membuat Inez dan Jihan meringis.
Aku langsung menggeleng. "Apa bedanya sama gue coba?"
"Lo bercanda Git? Lo itu terbilang perfect dari segi otak, pinter ngomong di depan umum, dan tentunya punya kemampuan leadership, jadi jelas kan kenapa gue suruh lo," tambah Sabil guna meyakinkanku.
"Lagi ngelawak yah lo Bil!!"
"Gue setuju sama Sabil!" sahut Jihan.
"Iya, gue juga!" Inez juga ikut-ikutan.
"Ehm kami juga." Para cowok-cowok juga mengangguk bahkan Mahesa juga.
"Terserah kalian. Yang jelas gue nggak mau," kataku kemudian pergi.
***
"Kok gue ikut lo diemin sih Git? Kan ini sarannya Sabil," kata Mahesa sambil melirikku. Btw kami dalam perjalanan pulang ke rumahku. Mahesa tidak ada rapat hari ini, jadi dia masih sempat untuk mengantarku.
"Karena lo ikut iyain pas Sabil ngasih saran yang aneh," balasku masih sebal, mengingat bagaimana tadi aku terus dirayu oleh sahabat-sahabatku perihal saran ngaco Sabil.
Mahesa terkekeh. "Gue aneh deh lihat lo Git. Padahal harusnya lo itu bersyukur karena lo yang dipilih sahabat lo, bukan ngambekan nggak jelas kayak sekarang ini."
"Gue nggak suka saran mereka, karena gue sadar kalau gue itu nggak pantes buat dampingin lo?!" jawabku.
"Lo itu berbakat Git, ya meskipun nggak sekinclong gue sih. Tapi tetap aja lo yang jadi rebutan anak-anak kalau teman kelompok disuruh pilih sendiri. Belum lagi gimana takutnya anak-anak pas lo ajuin pertanyaan pas lagi sesi tanya jawab. Sayangnya lo nggak pedulian, dan lumayan malu-malu, jadi lo kayak nggak terlihat gitu. Dan gue rasa masuk osis cocok buat lo mengasah bakat tersembunyi lo itu," jawab Mahesa membuatku speechless.
Sejujurnya aku bahkan tidak sadar kalau aku terlihat begitu di mata orang lain. Dan yang membuatku makin senang, karena Mahesa selama ini mengamatiku sedetail itu.
"Serius lo nggak keberatan gue jadi wakil lo?" tanyaku masih mencoba biasa saja, padahal mah aslinya mau terbang ke awan-awan saja.
"Kenapa sih cewek itu suka banget mikir hal yang ribet, padahal jelas-jelas gue udah jelasin semuanya tadi di atas."
"Kok ngegas sih? Gue kan cuma tanya." Entah mengapa aku merasa tersinggung Mahesa bilang begitu.
Mahesa menghela napas, dia kemudian menepikan mobilnya ke pinggir jalan. "Dekatan Git sama gue, biar gue bilangin sesuatu sama lo."
Bodohnya aku langsung menurut saja.
"Sebenarnya pas pertama ngobrol sama lo gue udah pengen lo yang jadi wakil gue di pemilihan osis nanti. Gue gitu karena gue yakin lo pasti punya visi misi keren hanya dari lihat caranya lo ngomong mengenai isu dunia dan gue pikir kalau pemikiran lo digabungin sama pemikiran gue itu bakal jadi keren banget. Tapi gue rasa itu cuma halu doang, karena gue sama sekali nggak berani bilang apa-apa sama lo. Dan lo tahu apa penyebabnya gue gitu? Itu karena gue takut lo nolak ide gue karena lo pikir gue nggak pantes buat jabatan itu. Karena ini gue jadi berpendapat kalau rasa insecure itu kita yang ciptain sendiri. Tapi dengan sedikit keluar dari zona nyaman, rasa negatif itu bakal hilang sendiri seiring berjalannya waktu."
Kata-katanya memang sangat bijak. Tapi percayalah bukan itu fokusku sekarang, melainkan suara deru napas Mahesa yang terkadang menggelitik telingaku. Lemah banget akutuh, masa diginiin doang udah ambyar hanya karena aku ngerasa ini sosweet banget.
"So, Sagita, sekarang gue tanya sekali lagi. Ehm, lo mau nggak jadi wakil gue? For your information ini tuh permintaan gue secara pribadi terlepas dari saran Sabil."
Pftftftfttf! Aku menelan ludahku berkali-kali. Kenapa Mahesa tidak bilang 'so, Sagita. Mau nggak lo jadi juliet gue?' saja saat momen romantis gini sih? Jadi aku tidak akan sebingung ini buat ngejawab pertanyaan Mahesa.
"Git gimana?" ulang Mahesa yang membuatku langsung tertarik ke dunia nyata.
"Oke bakal gue coba."
Mahesa langsung memelukku. Aku sempat berhenti bernapas beberapa saat karena baru pertama kali merasa dipeluk oleh Mahesa yang sedang kesenangan.
"Eh sorry Git, gue refleks."
Aku membalasnya dengan mengangguk-anggukkan kepala. Untungnya tak lama setelah itu, Mahesa langsung mulai menyetir lagi, jadi aku punya kesempatan untuk menarik napas sekaligus menstabilkan detak jantungku yang menggila.
Aku rasa bunda bakal tasyakuran kalau bunda dengar aku tidak hanya mau masuk anggota osis, tapi juga mau jadi wakil dari mas Eca. Dan Sabil aku rasa dia akan mengirim parsel ke rumahku, kalau ia tahu aku mau menuruti kemauannya.
Tbc
Yaya
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahesagita✔️
FanfictionKalau kamu baca kisahku. Maka kamu akan: -Ngakak ngelihat betapa kocaknya seluruh anggota keluargaku, atau mungkin kamu bakal jatuh cinta sama tingkah bunda. -Jungkir balik, melayang secara estetik sama kisah aku dan Mahesa yang berasa sport jantu...