26 - Pembersihan Nama

137 19 63
                                    

DUA PULUH ENAM

Akibat ulah Devano, semalam aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena kata-katanya terus berseliweran di kepalaku. Dan karena itu juga, aku hari ini memutuskan untuk libur sekolah saja. Lagian aku juga masih belum siap untuk bertemu dengan orang-orang di sekolahku, terlebih setelah kata-kata kejam Devano yang sangat tidak benar diperdengarkannya ke banyak orang. Nyaliku belum cukup besar untuk menampik semua yang Devano katakan itu tidak benar, sedangkan yang kelihatan salah di mata semua orang yang melihat kami kemarin itu aku.

Awalnya bunda tentu saja tidak mengizinkan aku untuk libur karena alasanku tidak jelas, tapi setelah berbicara dengan Mahesa bunda jadi melunak, dan membiarkan aku melakukan apapun sesuka hatiku. Sebenarnya Mahesa juga awalnya tidak mengizinkan aku untuk libur sih, tapi mendengar suara piluku yang memintanya untuk menelpon bunda dan mengarang alasan agar aku diizinkan libur oleh bunda, dia juga jadi ikutan melunak.

Dan untuk kali ini aku juga tidak memberitahu seluruh anggota keluargaku tentang kejadian yang baru saja menimpaku. Bukan karena aku tidak mau terbuka, aku hanya takut ayah dan bunda ke sekolahku untuk meminta alamat Devano lalu melakukan hal yang tidak seharusnya. Ayahku memang humoris, tapi kalau beliau sudah marah maka habislah orang yang membuatnya marah. Jujur aku nggak bisa bayangin gimana marahnya ayah, kalau ayah tahu anaknya dikatai begitu. Aku juga tidak memberitahu Yoyo juga kak Al, karena takut mereka punya pikiran seperti ayah. Dengan beberapa pertimbangan itulah aku memilih diam, seolah tidak terjadi apa-apa padaku.

Waktu berjalan cepat hari ini, sekarang sudah jam dua lebih sepuluh menit. Aku juga sendirian di rumah, karena bunda tadi pamit pergi ke arisan, sedangkan ayah dan Yoyo masih di sekolahnya, begitupun kak Al yang sudah mulai kembali aktif bekerja.

Kegiatanku daritadi adalah menonton televisi, dan menggonti-ganti chanelnya. Sungguh aku sangat bosan, terlebih hari ini aku tidak berani memegang handphone, karena aku takut mendapat kabar yang buruk lagi tentang reputasiku di sekolah dari teman-temanku.

Teng...

Teng...

Teng...

Aku langsung beranjak ke pintu depan, mengintip sedikit lewat jendela untuk melihat siapa yang mengunjungiku.

"Gita oo Gita!" teriak orang di luar sana, yang membuatku langsung membuka pintu tanpa banyak berpikir.

Setelah pintu terbuka, semua sahabat-sahabatku langsung memelukku.

"Kangen Gita!!" ujar Jihan.

"Kalian hiks," balasku terharu. "Ayo masuk dulu," lanjutku.

"Bunda sama ayah lo ada di dalem nggak? Kalau ada mending kita di luar aja, soalnya gue malu ketemu orang tua lo," tanya Inez, yang jiwa pemalunya langsung muncul kalau sedang berkunjung ke rumah orang.

"Nggak ada siapa-siapa kok, gue sendirian aja nih di rumah."

"Kalau gitu tunggu apalagi ayo masuk." Sabil langsung nyelonong masuk, seolah dia adalah tuan rumahnya.

Aku terkekeh, kemudian menarik Jihan dan Inez mengikutiku masuk ke dalam.

"Nih Git, kami bawain lo kfc." Jihan menyerahkah plastik yang dipegangnya kepadaku.

"Lo semua duduk aja, gue mau ambil camilan tambahan dulu."

Setelah mempersiapkan apa yang harusnya kupersiapkan untuk tamu, aku baru ikutan duduk dengan teman-temanku yang sedang asyik mengobrol.

"Pokoknya lo besok harus sekolah Git," mulai Sabil tak lama setelah aku duduk.

"Nggak mau ah, gue masih malu hadepin orang."

"Mahesa nggak kasih tahu apa-apa sama lo?" Jihan mengernyit bingung.

Aku menggeleng. "Nggak tahu. Soalnya gue nggak megang hp daritadi."

Sabil manggut-manggut paham. "Kalau gitu agak susah sih ngejelasinnya, karena lo nggak tahu sedikitpun."

"Ih apaan sih!!" Jiwa kepoku mulai keluar.

"Sebelum kami cerita lo harus berterimakasih dulu sama pacar gue, Wira, dan yang paling spesial buat Mahesa," lanjut Sabil.

"Han, Nez, lo nggak mau kan gue mati penasaran karena dengar omongan si Sabil yang nggak ada ujungnya daritadi kan?" sungutku sebal.

Jihan dan Sabil langsung terkekeh melihatku yang daritadi menahan amarah menyimak omongan Sabil.

"Ternyata dalang dari kelakuan si Devano kemarin itu Rebeca Git," kata Jihan kemudian.

"Hah kok bisa?"

"Orang kalau mau jatuhin saingannya, biasanya bakal menghalalkan segala cara, meskipun caranya gila sekalipun. Ya gitu juga si Rebeca yang lagi merasa terpojok dan frustasi karena Mahesa punya banyak bukti tentang kesalahannya di masa pemerintahannya," tambah Inez.

"Gue rasa si Rebeca nonton film indosiar deh, makanya dia punya pikiran buat ngomporin si Devano yang baru putus dari selingkuhannya supaya dia mau ngatain lo," sambung Jihan seolah masih tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dia katakan.

Aku menatap ketiganya dengan wajah kebingungan. Aku masih tidak bisa konek dengan apa yang baru saja mereka katakan.

"Kami juga nggak tahu gimana mekanisme kerja Mahesa and the genks. Yang jelas intinya Mahesa udah nyelesaian semua permasalahan antara lo sama Devano di depan semua murid. Jadi lo nggak perlu merasa terpuruk lagi, okey?" tambah Sabil meluruskan kebingunganku.

Kenapa Mahesa terus membuatku makin jatuh cinta padanya dengan sikapnya itu, kalau ia tidak ada niatan untuk menggenggam balik perasaanku sih?

***

Istirahat kali ini aku meminta Mahesa untuk menemaniku di dalam kelas. Dan untungnya Mahesa mau, tanpa banyak bertanya.

"Lo yakin nggak perlu gue beliin sesuatu di kantin Git?"

Aku menggeleng. "Surprise! Gue hari ini bawa bekal buat kita berdua." Aku mengeluarkan kotak bekal yang sedari tadi kusimpan di dalam tas.

"Wah tumben banget lo bawa bekal ke sekolah," ucapnya terheran-heran.

Aku hanya terkekeh. "Nih makan!" Aku menyerahkan sendok dan kotak makanku kepadanya.

"Makasih," ujarnya, seraya membuka kotak makanku lalu lekas memakannya. "Wah enak. Lo masak sendiri?" tanyanya dengan mulut penuh dengan makanan, yang untungnya masih bisa aku mengerti.

Aku langsung menggeleng. "Gue suruh bunda gue buatin bekal khusus buat lo," jelasku yang membuatnya hampir tersedak.

"Lah, lo ngapain minta bunda lo masakin gue?"

"Kata teman-teman gue, gue harus berterimakasih secara spesial sama lo, dan karena gue nggak mampu traktir lo di restoran bintang lima maupun masak sendiri karena takut keasinan atau pahit, jadilah gue suruh bunda gue buat masakin lo, hehe," jawabku membuatnya makin tercengang.

Semenit kemudian dia yang mulanya terkejut langsung terbahak kencang. "Lebay banget sih lo sebegitunya sama gue," lanjutnya setelah tawanya mereda.

"Cara ucapin terimakasih dari orang beda-beda ya, dan apapun caranya itu sama sekali nggak lebay," sungutku sebal.

"Ya nggak gitu juga maksud gue."

"Terus?"

"Serius lo nggak perlu anggap perlakuan gue seheroik itu, karena faktanya gue begini bukan semata-mata hanya karena mau membersihkan nama lo aja, tapi juga nama gue sendiri," katanya yang sejujurnya terdengar sedikit menyakiti hatiku. "Karena itu lo nggak perlu sekagum itu sama gue," sambungnya.

"Udah deh mending lo makan aja nih," balasku sambil menyuapinya makan.

Emang susah kalau udah jadi bucin. Alibi seorang Mahesa saja yang seharusnya membuatku sadar diri kalau aku bukan siapa-siapanya, terdengar seperti angin lalu di telingaku.

Tbc










Yaya

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang