32 - Keuwuwan Orang

129 17 61
                                    

TIGA PULUH DUA

Hari ini aku diajak Inez untuk menemaninya menemui kak Elang di mall. Sejujurnya aku mau menolak permintaan Inez yang mungkin saja akan membuatku sakit mata, hati, bahkan perut. Tapi mengingat ia mengajakku untuk meminimalisir pertengkaran yang terjadi antara ia dan kak Elang supaya masalahnya bisa cepat kelar dan karena cuma aku yang jomblo dan bisa diajak sesukanya, jadilah aku melupakan egoku sejenak.

"Git tanyain sahabat lo dia mau makan di mana?" ujar kak Elang membuatku terkekeh pelan.

"Nanya sendiri atuh kak, kan Inez ada di sini juga," jawabku menahan tawa.

"Gue lagi nggak mau ngomong sama dia," tambah kak Elang membuatku terkikik pelan.

Aku mengangguk sambil mesem-mesem sendiri. "Nez kak Elang nanyain lo mau makan di mana?" Aku sekarang beralih pada Inez yang mukanya memerah menahan tawa.

"Terserah kak Elang deh." Inez menjawab dengan suara pelan.

"Kak Elang kata Inez terserah." Aku benar-benar tidak tahan untuk tidak uwu pada pasangan yang katanya sedang marahan tapi malah makin gemesin ini.

Kak Elang berdecak. "Bilangin kalau dia jawabnya terserah, gue bakal pilih sendiri, dan dia nggak boleh protes sama pilihan gue sama sekali!"

"Nez dibilangin kak Elang ka--"

"Apa sih yang nggak kalau kak Elang mau maafin gue," potongnya cepat.

"Katanya kalau mau dimaafin dia mah nggak masalah." Aku masih berusaha jadi penengah. Ternyata seru juga kalau aku terus berkelakuan seperti ini.

Kak Elang hanya manggut-manggut kaku dengan raut wajah yang terlihat menggemaskan di mataku. Orang ini kalau nggak jadian sama Inez, pasti akan kujadikan list calon pacarku. Soalnya dia gemoy banget huaaa. Belum lagi tingkah dewasanya yang cuma marah kecil aja pada Inez, padahal pacarnya itu melakukan kesalahan yang lumayan besar, yaitu tidak bilang kalau dirinya menjenguk mantannya yang sedang sakit dengan beberapa temannya di rumah sakit, bahkan ia juga tidak memberitahu kejadian yang sebenarnya saat kak Elang menanyai keberadaannya.

Yah, meskipun Inez begitu karena ia tidak mau mengecewakan pacarnya sih. Karena menurutnya memberitahu kak Elang tentang dia yang dipaksa temannya menjenguk mantannya yang sakit berat, itu akan melukai perasaan kak Elang, makanya dia memilih menyembunyikan ini semua, meskipun akhirnya kebongkar juga sih. Sungguh aku masih bingung pemikiran orang bucin, meskipun aku sudah pernah jadi bucin sekalipun.

"By aku pamit ke toilet bentar ya. Kamu cari tempat aja sama Gita," seru Inez sambil tersenyum manis, kemudian berlalu pergi.

Setelah kepergian Inez, kak Elang langsung menghela napas. "Lo temenin Inez gih, biar gue yang cariin tempat sama pesenin makanan kalian," usul kak Elang.

Lihatlah pacar Inez, padahal ia sedang marah, tapi anehnya ia masih bisa sempat-sempatnya menaruh kekhawatiran yang teramat tinggi pada pacarnya.

"Ya udah gue nyusul Inez dulu ya, dah kak Elang," putusku seraya berlari mengejar Inez yang sudah mulai jauh.

"Gue harus gimana Git? Gimana kalau kak Elang nggak mau maafin gue?" kata Inez setelah aku berhasil mensejajarkan langkah dengannya, dengan mata berkaca-kaca.

"Gue yakin kak Elang pasti bakal maafin lo, buktinya dia masih mau netapin janjinya buat ketemuan sama lo," ujarku menyemangati.

Dia mengangguk. "Makasih Git. Lo emang terbaik. Ya udah gue ke toilet dulu ya, lo tunggu di sini aja," ujar Inez ketika ia melihat bangku tunggu tak jauh dari toilet berada.

Aku mengangguk. Setelah Inez berlalu aku langsung duduk.

"Itu Airin sama--" Aku langsung membekap mulutku ketika melihat seseorang yang sangat tidak asing berada tak jauh di depanku.

"Sialan banget si Mahesa, katanya nggak jadian sama Airin. Tapi malah jalan berdua. Nyesel gue sempat nggak bisa tidur karena mikirin omongan dia. Dasar fuckboy sialan!!!" umpatku sebal, pelan tentunya.

Aku jadi teringat kejadian dua hari yang lalu, saat Mahesa ke sekolah dalam keadaan sakit, lalu ia membicarakan tentang Airin kemudian tertidur pulas di pundakku, sebelum pembahasannya tentang Airin habis. Karena tidak sanggup untuk sekedar melek, akhirnya cowok itu dibawa ke UKS. Keesokannya ia libur sekolah lagi, jadi kami sama sekali tidak sempat membahas lanjutan ucapannya. Tapi untung juga sih aku tidak mendengar banyak darinya, karena dengan itu aku jadi penasaran, dan rasa penasaran itulah yang membuatku mulai berpikir hal yang tidak-tidak. Dan itu kukira positif karena dengan itu aku memutuskan untuk mulai membuka diri pada yang lain, nggak mau nge-stuck di Mahesa aja.

"Habis lihat siapa lo Git?" Inez yang baru kembali dari toilet membuatku kembali tertarik ke dunia nyata.

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, untungnya Mahesa dan Airin sudah tidak ada dalam jangkauanku, jadi aku tidak perlu berkata jujur pada Inez.

"Gue lihat anak sekolahan yang seragamnya sama kayak kita di sini tadi." Aku yang sangat tidak mau memperpanjang pembahasan tentang Mahesa, memilih membohongi Inez.

"Oh, lo kenal?"

"Nggak, gue nggak kenal!" jawabku dengan nada yang kubuat seacuh mungkin.

***

Semenjak aku dan Mahesa membuat jarak, Yoyo juga jadi ikutan aneh, dan tiap hari keanehannya makin bertambah. Karena perasaanku tidak enak, aku akhirnya memutuskan untuk bertanya secara langsung padanya. Tapi karena cowok itu belum pulang sekolah dan aku tidak mau menunda lagi perihal ini, jadinya aku harus menunggunya di kamar.

Tidak tahu harus melakukan apa di kamar ini, aku memutuskan untuk berkeliling di kamar Yoyo. Melihat bagaimana keadaan kamar Yoyo yang sekarang aku bernapas gusar. Padahal dahulu kamar adikku ini sangat rapi, meski masih rapian kamar Mahesa sih. Baunya juga wangi. Tapi lihatlah sekarang. Bajunya ditaruh sembarangan, baunya juga aneh. Kurasa bunda akan pingsan jika bunda melakukan sidak ke kamar anak laki-laki kesayangannya ini.

Hmm. Sebagai kakak yang baik, sudah sepatutnya aku merapikan kamar adikku. Karena itu aku mulai menaruh barangnya sesuai tempat. Menyemprot wangi-wangian. Sampai kamar ini terlihat seperti kamar adikku yang dulu.

Setelah mengerjakan semua, aku mulai rebahan di kasurnya yang empuk. Baru juga ingin tidur, tapi pintu kamar Yoyo keburu berdecit. Hal itu membuatku langsung melek.

"Lo ngapain di kamar gue?" tanya Yoyo yang sudah berdiri di sampingku.

"Ngepet," jawabku ngasal.

Dia berdecak sebal. "Udah kan ngepetnya? Kalau gitu keluar dari kamar gue sekarang juga!!"

Aku langsung berdiri tepat di sampingnya. Lalu memelototinya tajam. Harusnya ia berterimakasih padaku karena aku sudah membersihkan kamarnya, bukan malah mengusirku seperti ini.

"Lo benar-benar udah kelewatan sama gue Yo!" seruku kesal.

Yoyo hanya menatapku acuh. Membuatku makin naik tengsin saja.

"Lo ada masalah apa sih Yo? Kenapa lo berubah seratus delapan puluh derajat ha?" tanyaku to the point.

Dia membuang pandangannya ke arah lain. "Lo nggak bakalan ngerti walaupun gue cerita," jawabnya, yang terdengar pilu di telingaku.

"Gue ini kembaran lo, gue bisa ikut ngerasa apa yang lo rasa. Jadi stop ngomong gitu," bantahku berusaha meyakinkan.

Dia terkekeh, tapi entah mengapa makin ke sini terdengar makin pilu di telingaku. "Kita emang kembar, tapi yang coba buat ngertiin satu sama lain itu cuma gue. Sedangkan lo nggak pernah bisa ngertiin gue," balas Yoyo dengan napas memburu.

"Yo.." Mataku mulai berkaca-kaca.

"Udah lah, gue mau mandi dulu. Omongan gue yang tadi nggak usah lo pikirin," kata Yoyo yang justru membuatku makin merasa tidak enak hati.

Tbc














Yaya

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang