28 - Bertemu Airin

124 20 66
                                    

DUA PULUH DELAPAN

Aku menghela napas panjang sambil meluruskan kaki-kakiku. Aku benar-benar sangat bersyukur penyampaian visi misi kami di depan umum tadi berlangsung sangat lancar, bahkan di luar ekspektasiku. Melihat euforia yang aku dan Mahesa hasilkan, rasa-rasanya jalan untuk kami menang lumayan besar. Terlebih Rebeca memilih tidak menampakkan dirinya sama sekali, karena malu setelah perlakuannya padaku dibongkar Mahesa di depan banyak orang. Hal itu berarti tidak ada campur tangan Rebeca di dalam pemilihan osis yang sekarang. Artinya pemenang kali ini benar-benar dipilih secara sportif, berdasarkan kualitas yang terlihat.

"Ngapain di sini Git? Kenapa lo nggak ikut lihat perhitungan suara?" Mahesa yang baru datang ke tempatku berada sekarang, langsung duduk di sampingku.

"Di sana rame banget, gue pusing lihat orang sebanyak itu," jawabku, bohong tentunya.

Faktanya aku memilih pergi sendirian ke taman sekolah yang terbilang tidak ramai ini, ketimbang menonton perhitungan suara, karena aku ingin menenangkan diri dan menjernihkan pikiranku, dari memikirkan kelanjutan hubunganku dan Mahesa.

"Iya sih, di sini adem, di sana panas, buat gue pengen nyanyi haredang aja," tambahnya seraya terkekeh, mungkin karena teringat video tik tok yang kubagikan kepadanya tiga hari yang lalu.

Aku hanya diam sambil tersenyum simpul.

"Lo tadi pas debat hebat banget lho Git, jangankan orang biasa gue aja yang nggak gampang terkesan sama orang benar-benar kagum sama lo," katanya lagi, setelah lumayan lama kami saling terdiam.

Aku terkekeh. "Spontanitas aja sih karena pas debat anak buah Rebeca ngomongnya nggak selow banget. Rasanya darah gue mendidih pas dengar omongannya."

"Emang nggak salah gue pilih lo Git," sambung Mahesa membuatku mengangguk canggung.

"Ehm soal Airin," kata Mahesa lagi membuatku meneguk salivaku berkali-kali.

Belum sempat dia melanjutkan pembicaraannya tentang Airin, handphonenya keburu berbunyi.

"Hah apa? Lo serius?" serunya heboh sesaat setelah ia mengangkat telepon.

"Git demi apa Git, kita menang!!" Cowok itu berdiri dari duduknya, menarikku untuk ikutan berdiri, kemudian memelukku erat. "Makasih banget lo udah mau berusaha semaksimal ini buat kita Git," sambungnya yang entah mengapa membuat mataku berkaca-kaca, yang untungnya masih bisa kutahan agar tak jatuh.

Aku menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya pelan. "Kita berhasil menang, jadi gue bakal tepatin janji gue sama lo. So, mulai sekarang kita nggak usah terlalu dekat lagi, lo nggak usah anterin gue pulang lagi. Hubungan kita sekarang cuma sebatas ketua dan wakil yang hanya ngomong saat diskusi di ruang rapat," ujarku sambil melepas pelukanku dari Mahesa.

"Tapi Gi."

"Tenang aja, tekat gue buat lupain lo benar-benar udah bulat kok. Dan itu gue rasa mulai berhasil. Apalagi setelah lo nggak terlalu banyak berinteraksi sama gue lagi, pasti tingkat keberhasilan gue buat lupain lo bakal langsung jadi seratus persen. Karena itu lo nggak usah merasa nggak enakan lagi sama gue." Aku menepuk bahunya. "Gue duluan ke tempat pemungutan suara, lo nyusul bentar lagi aja." Setelah mengatakan itu aku langsung pergi dari hadapan Mahesa.

Sungguh dadaku sesak tak terkira karena aku harus mengatakan itu. Sakitnya lagi aku harus bersikap semuanya seolah baik-baik saja, padahal tidak.

***

Galau lagi.

Lagi-lagi galau.

Rasa-rasanya hidup remajaku begitu miris, karena aku galau melulu-mulu.

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang