TIGA PULUH TUJUH
Hari ini tanggal merah. Haris mengajakku untuk kencan. Mengingat kami sudah pacaran beberapa hari, tapi tidak pernah bisa menghabiskan waktu berdua, sebab ia sibuk dengan latihan basketnya, juga teman-temanku yang selalu datang mengacaukanku kalau aku punya waktu untuk menemui Haris. Karena itu hari ini dengan semangat empat lima kuiyakan saja ajakannya, tanpa memberitahu teman-temanku, yang pasti akan langsung menggagalkan rencanaku, kalau sampai mereka tahu hal ini.
Setelah memeriksa penampilanku aku bergegas turun ke lantai satu. Omong-omong aku juga tidak memberitahu orang tuaku terlebih dahulu. Aku hanya memberitahu Yoyo, dan memintanya mengantarku untuk menemui Haris. Otakku yang nggak pintar-pintar amat ini, hanya mampu berpikir cara itu, agar bunda mengizinkanku pergi, jika melihatku dalam keadaan rapi bersama anak kesayangannya pula.
"Lho kata Mahesa dia mau kasih kamu surprise, tapi kok kamu udah rapi gini sih?" Bunda terkejut bukan main saat kami berpapasan di anak tangga.
Aku mengernyit. "Hah? Mahesa mau kasih surprise?" tanyaku heran.
Bunda tiba-tiba malah tersenyum lebar. "Nggak salah lagi nih, kalian pasti jodoh." Bunda mendadak heboh sendiri, kemudian menggandengku turun mengikutinya ke ruang keluarga, yang saat ini dihuni oleh ayah dan Mahesa.
Apa? Mahesa?? Demi?!
Mataku langsung melotot sempurna. Melihat siapa yang sedang bercengkrama dengan ayahku.
"Eh kok cepet banget Gigi siap-siapnya." Mahesa dan ayah tak kalah terkejut melihat kedatanganku.
"Ikatan batin yah," timpal bunda heboh.
Cucoklogi apa lagi ini ya ampun? Terus kenapa juga Mahesa tiba-tiba ada di rumahku bertepatan dengan aku yang mau pergi menemui Haris? Fix, mau nangis ajalah.
"Ya udah kalian pergi aja." Bunda tersenyum makin lebar. "Mahesa ingat, sore nanti kalian udah harus ada di rumah ya!" cerocos bunda lagi membuatku kian melotot.
Aku tentu saja hendak protes, namun Mahesa keburu menarikku mendekat dengannya. Melihat ketampanannya yang entah mengapa semakin bertambah, saat dilihat dari jarak sedekat ini, aku seketika diam tak berkutik.
Orang ganteng itu memang berbahaya.
"Eca sama Gigi pamit ya bunda, ayah!" katanya sopan, seraya menarikku yang masih mematung.
***
Setelah mendapat telpon dari Haris yang mendadak membatalkan janjinya denganku, barulah aku tersadar dan tertarik ke kenyataan, kalau aku sekarang sedang berada di samping Mahesa. Sungguh ini benar-benar gila, dan gilanya lagi ini nyata.
"Siapa?" Dia yang sedang menyetir menoleh sebentar ke arahku.
"Ini pasti gara-gara lo kan? Pasti lo ngancem Haris supaya dia batalin janjinya sama gue kan?" Keburu badmood karena tiba-tiba Haris membatalkan janjinya secara sepihak denganku, membuatku menuduh Mahesa dengan apapun yang terlintas di pikiranku.
Mahesa menghela napas. "Sumpah gue nggak tahu lo udah janjian sama Haris Git."
"Nggak percaya gue. Pasti lo selama ini nguntit gue kan? Atau jangan-jangan lo rekrut orang dalam di rumah gue? Astaga, jangan bilang Yoyo?" Aku menutup mulutku dramatis, membuat Mahesa menggeleng tidak percaya.
"Git gue nggak mungkin gitu," tegas Mahesa.
"Bo--!"
Belum sempat aku kembali membantah omongan Mahesa, handphoneku keburu berbunyi lagi. Melihat nama yang muncul di sana, aku langsung mengangkatnya malas.
"Pasti lo--"
"Kenapa lo ngedor-ngedor pintu kamar gue dari pagi, kalau pas gue udah siap gini, lo malah pergi bareng Mahesa woy?!"
Aku kontan menjauhkan handphone dari telingaku, saat mendengar teriakan Yoyo di seberang sana.
"Gila lo?! Sekarang gue mau ke mana hah? Malah masih pagi lagi, teman-teman gue belum ada yang bangun."
"Maaf! Gimana kalau lo ajak si Airin ngedate aja," saranku takut-takut. Bisa gawat kalau aku bertanya tentang Mahesa yang menyuruhnya jadi mata-mata pada Yoyo yang saat ini sedang marah-marah.
"Senin ulangan, dia mau belajar! Ah udah ah. Males gue sama lo. Mending gue gedor-gedor pintu rumah si Haikal aja," katanya final, sambil memutuskan sambungan teleponku secara sepihak.
"Kenapa?" tanya Mahesa kemudian.
"Gara-gara lo nih!"
"Kok gue lagi sih?"
"Ah udah ah. Serah lo mau bawa gue ke mana. Gue pusing mau tidur!!" Daripada aku mempunyai keriput kalau aku terus marah-marah dan terus menuduh Mahesa, mendingan aku tidur aja kan?
***
Aku benar-benar tidak menyangka, kalau aku akan menemukan Haris dengan seorang cewek sedang suap-suapan kayak adegan film India, di taman yang kebetulan aku dan Mahesa kunjungi.
"Git!" Mahesa juga ikutan tersentak kaget, saat ia tak sengaja mengikuti arah pandangku.
"Lo di sini aja. Kali ini gue bakal nyelesaian sendiri. Gue nggak mau kejadian kaya yang gue alamin sama Devano keulang lagi." Aku melangkah mendekati Haris. Cowok itu langsung tersedak makanannya saat melihatku tiba-tiba berada di depannya.
"Sagita!"
"Kita putus," kataku tenang.
"Tapi Git, ini nggak kayak yang kamu pikirin." Haris memegang tanganku.
"Gue nggak mau tahu ada hubungan apa lo sama dia. Yang jelas kita udah putus!" ketusku seraya menepis tangannya.
Setelah itu aku pergi meninggalkan dua insan yang masih terpaku pada kedatanganku. Sejujurnya aku mau sekali menumpahkan makanan yang sedang dimakan Haris tepat ke wajahnya. Tapi setelah mengingat citraku akan hancur kalau aku melakukan itu, aku memilih bersikap elegan seperti sekarang saja. Nyesek emang tetap ada. Tapi aku mencoba tangguh, lagian aku sudah tahu kalau dia buaya, dan yang namanya buaya pasti akan terus seperti itu, makanya aku mencoba menguatkan diri sedari awal, karena hal seperti ini sudah ada dalam prediksiku.
"Lo keren Git," kata Mahesa begitu aku sampai di depannya.
Aku tersenyum. "Di sini nggak enak, ayo cari tempat lain." Tidak mau melanjutkan pembicaraan lebih lanjut tentang Haris, aku memilih terus berjalan ke luar taman, menuju ke tempat mobil Mahesa diparkir.
"Jadi kita mau ke mana?" tanya Mahesa setelah kami berdua berada di dalam mobilnya.
"Ke tempat yang bisa buat gue lupain muka Haris." Sesaat setelah memasuki mobil Mahesa, kata-kata gombalan Haris mulai menyeruak di kepalaku, hal itu membuatku menggigit bibir, bahkan mulai terisak pelan. Meski aku sudah mencoba kuat, tetap saja aku tak bisa menjauhi pikiran tentang harga diriku sebagai cewek yang telah diinjak-injak begitu saja oleh cowok nggak tahu diri sekelas Haris.
"Gita?"
"Gue malu Sa."
Mahesa menghela napas. Dia kemudian mengelus punggungku yang mulai terisak pelan.
"Kenapa malu?"
"Gue merasa nggak ada harga diri lagi sebagai cewek!! Dua kali berturut-turut gue diselingkuhin. Yah meskipun yang ini emang karena kebodohon gue sendiri sih. Tapi tetap aja ini sakit banget!! Emang semua cowok tuh sama aja. Kecuali ayah gue."
Mahesa menghela napas. Ia kemudian mendekat padaku, napasku sempat berhenti beberapa detik. Wajah kami sangat dekat. Untungnya ia hanya memasangkan selt belt padaku, jadi aku bisa secepatnya bernapas lega.
"Gue beda."
"Lo malah lebih nggak jelas dari mantan-mantam gue."
"Oh ya? Kok lo tahu? Emang pernah pacaran sama gue?"
"Eh?"
"Kalau kita udah pacaran, lo baru boleh nilai gue. Jadi, supaya lo bisa nilai gue ayo kita pacaran!"
Tbc
Yaya
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahesagita✔️
FanfictionKalau kamu baca kisahku. Maka kamu akan: -Ngakak ngelihat betapa kocaknya seluruh anggota keluargaku, atau mungkin kamu bakal jatuh cinta sama tingkah bunda. -Jungkir balik, melayang secara estetik sama kisah aku dan Mahesa yang berasa sport jantu...