15 - Kehidupan SMA

172 34 105
                                    

LIMA BELAS

"Langsung pulang?"

"Terserah!"

"Makan dulu ya?"

"Terserah!"

"Pizza mau?"

"Terserah!"

"Oke, kita makan pizza aja ya!" putus Mahesa sambil mengelus puncak kepalaku sekilas.

Aku menatap Mahesa dengan mata berbinar. "Lo kok nggak marah sih?" tanyaku heran. Pasalnya saat aku sedang PMS begini, biasanya Devano akan ikut mendiamiku, sampai aku mencak-mencak sendiri dan akhirnya menangis sambil meminta maaf pada Devano karena sudah berprilaku menyebalkan kepadanya.

"Lo daritadi udah nyebelin. Biasa kalau udah gitu cewek lagi kedatangan tamu bulanan. Gue sering banget lihat mami gue kesiksa karena itu, jadi gue sebisa mungkin bakal coba buat maklum apapun yang dilakukan cewek pada fase itu," jawabnya sambil menoleh sebentar padaku.

Aku menatapnya terharu. Mahesa benar-benar cowok softboy dengan attitude luar biasa keren. Tiap hari rasa-rasanya aku makin ngerasa jatuh cinta padanya. Tapi sepertinya yang kurasakan masih bertepuk sebelah tangan. Mahesa masihlah seseorang yang gagal move on, buktinya dia masih suka menceritakan mantannya kepadaku, seperti sekarang ini contohnya.

"Gue waktu sama Airin nggak pernah ngajak dia ke tempat ginian masa, benar-benar nggak banget emang gue," katanya, sesaat setelah kami sampai ke tempat tujuan kami.

"Eh eh baru sadar gue ngomongin mantan gue mulu sama lo, sorry yah. Lo kalau mau nostalgia mantan lo sama gue, gue juga siap kok jadi pendengar buat lo."

Aku menghela napas. Ekspresiku langsung berubah berpuluh-puluh lipat tak suka.

"Wah muka lo merah, sini-sini biar gue lapin pake tisu," kelehnya sembari mendekat padaku. Tentu saja hal itu membuat wajahku jadi makin memerah, apalagi dengan jarak begini di depan orang yang kutaksir pula. "Lho kok jadi makin merah sih! Jangan-jangan lo mikir yang aneh-aneh yah Git?" tebaknya sambil menempelkan tisu ke wajahku.

"Lo tuh yang mikir aneh-aneh, gue mah masih polos anaknya," ujarku sebal.

"Sorry salah, gue kira lo lagi mikir gue bakal cium lo tadi. Haha."

Wajahku makin memerah sekarang, saking tak tahannya menahan malu. Kurasa cowok ini punya sixsense atau sejenisnya, sampai dia bisa tahu apa tadi yang aku imajinasikan. Terlanjur malu aku akhirnya memilih langsung keluar dari mobil Mahesa. Cowok itu hanya terkekeh, dia sempat memanggil sekali, yang tidak kugubris sama sekali. Tak mendapat jawaban dariku membuatnya langsung keluar dari mobil, berlari pelan untuk mensejajarkan dirinya dengan langkahku. Kemudian ia menyampirkan hoddienya tepat di belakang rokku, membuatku mengernyit kebingungan.

"Lo masuk mobil lagi aja Git, biar gue pesen pizza, terus nanti kita makan di rumah lo aja," perintahnya.

"Lo apaan sih?"

"Udah-udah percaya aja sama gue," katanya sambil membawaku kembali memasuki mobilnya.

Setelah mengatakan itu dia langsung berlalu pergi. Aku menghela napas sambil melihat bayangannya yang menjauh. Setelah dia pergi aku langsung mengecek bagian belakangku.

"Astaga gue tembus!" ringisku.

Aku hampir saja mau menangis mengingat tingkah Mahesa yang super duper lengkap. Cowok itu bisa totalitas dalam segala hal, seperti halnya membuatku nyaman, membuatku kesal, membuatku kebingungan dengan segala tingkah ajaibnya yang kerap buat aku makin jatuh cinta sekaligus makin takut untuk berharap lebih.

***

"Heh lo kalau jalan matanya dipakek!!" teriak Rebeca saat adik kelas tak sengaja menyenggol sedikit tubuhnya.

"Maaf kak, maaf, gue nggak sengaja!" mohon adik kelas itu.

"Sayangnya gue lagi nggak mood buat dengar kata maaf, so guys gue serahin nih cewek sama kalian," balasnya santai sambil melihat ke arah teman-temannya.

"Bagus tangan gue juga udah gatal banget karena jarang dipake buat ginian," jawab salah satu dari teman Rebeca sambil terbahak.

"Ini udah kejadian ketiga dalam minggu ini, dan gue nggak mau dengar kalian larang-larang gue buat nggak kasih perhitungan sama si bule sesat itu lagi," kata Sabil yang sedari tadi mencoba menahan amarah sambil bangun dari duduknya.

Kami bertiga hanya bisa menghela napas, sambil mengikuti Sabil yang sekarang berjalan ke meja Rebeca. Perasaanku langsung was-was tak karuan. Karena itu aku memilih mengirim pesan untuk Mahesa, tentang skenario yang mungkin terjadi antara Sabil dan Rebeca. Sungguh di antara banyaknya hari yang ada, kenapa kejadian seperti ini terjadi saat pawangnya si Sabil, Mahesa dan Wira tidak ada di dekat kami.

"Udah dek lo masuk kelas aja, biar gue aja yang ngurus nih ketua osis," kata Sabil tepat di depan muka Rebeca.

Rebeca berdecak. "Gue nggak punya urusan sama lo yah kampret?! Atau lo mau jadi pahlawan kesiangan hah?"

Sabil menyeringai. "Gue tahu lo nggak bakal diem kalau gue nggak ngelakuin ini sama lo. Karena memang tujuan utama lo itu buat mancing gue keluar," ucap Sabil lantang.

"Gila juga tingkat kepedeannya nih orang yah," balas Rebeca yang sekarang juga ikutan bangun.

"Oh jadi bukan itu yah? Terus maksud lo apa buat motto queen is back, dan mulai ngelakuin hal biadab kayak gini lagi hah?" tanya Sabil yang sekarang mulai meninggikan intonasi suaranya.

"Bukan urusan lo."

"Meratapi masa jabatan yang bentar lagi mau diganti kah?"

Rebeca terbahak. "Buat apa diratapi, kalau selama gue hidup pemerintahan ala gue di sekolah ini tetap bakal berlanjut."

Memang yah nih orang pedenya kebangetan banget, hanya karena mamanya penyumbang donasi terbesar di sekolah ini. Definisi sultan mah bebas yang sesungguhnya ya ada di bule sarap ini.

"Kalau gue patahin pede lo yang ketinggian itu sekarang juga bisa nggak sih?" tantang Sabil sambil memainkan rambut pirang Rebeca.

Sepertinya aura princessnya Rebeca sudah berubah jadi aura ratu iblis sekarang, karena dirinya merasa dipermalukan oleh Sabil yang dengan seenaknya memegang rambut indahnya. Fyi, cewek ini sangat anti rambutnya dipegang orang entah kenapa, rumornya saja dia tidak mengganti petugas salon yang menangani rambutnya dari semenjak dia tahu kehidupan persalonan. Memang yah orang terlalu kaya itu aneh.

"Coba aja kalau lo bisa." Rebeca menumpahkan jus alpukat yang diberi temannya di seragam Sabil.

Sabil tentu saja hendak membalas. Dia meraih apapun yang ada di depannya. Kami juga langsung bersiap-siap, karena sebentar lagi teman-temannya si bule sarap ini pasti akan ikutan menyerang kami juga. Untungnya seseorang langsung menghentikan kegiatan Sabil juga kami semua. Pawangnya Sabil kemudian membisikkan sesuatu di telinga pacarnya. Hal itu membuat Sabil menghentikan rencananya seraya menghela napas panjang.

"Ayo yang bersihin seragam kamu dulu," ajak Angga sambil menarik tangan Sabil mengikutinya.

"Sebagai ketos lo malu-maluin banget Rebeca!" ujar Mahesa.

Rebeca terkekeh. "APA KALIAN BAKALAN NGEBELA DIA JUGA KALAU KALIAN TAHU IBUNYA SABIL ITU PELACUR HA?" teriaknya.

Sabil yang sudah berjalan langsung berbalik badan. Sekuat tenaga dia melepas genggaman tangan Angga, hingga dia bisa lepas dan berdiri dengan tegap di depan Rebeca.

"Lo boleh ngatain apapun buat gue, tapi jangan sesekali singgung ibu gue," katanya dingin.

Setelah perkataan itu berakhir perang resmi dimulai. Rebeca dan Sabil mulai saling jambak-jambakkan, untungnya Sabil tidak sampai kalaps dan membawa kemampuan taekwondonya saat bertarung dengan cewek macam Rebeca, jadi pertarungan ini terbilang seru untuk dijadikan tontonan saat sedang mumet. Kami juga mulai ikutan bertengkar dengan teman-teman Rebeca yang mulai duluan menyerang kami. Karena kami semua terlalu menghayati peran saat ini, para cowok-cowok jadi sangat kewalahan untuk memisahkan kami. Serius berantem model gini nyakitin banget sekaligus sangat seru sekali!!

Tbc









Yaya

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang