34 - Penjelasan Yoyo

128 21 58
                                    

TIGA PULUH EMPAT

"Gue nggak nyangka lo gitu Yo," ucapku benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan adikku.

"Maaf." Sedari tadi Yoyo hanya berujar itu terus-terusan, membuatku yang sama sekali tak memprediksi ini akan terjadi hanya bisa menghela napas panjang.

"Apa lo udah nggak sayang sama diri lo sendiri? Apa lo nggak mikirin gimana kecewanya ayah sama bunda, kalau mereka tahu anak lelaki kesayangan mereka yang udah dari dulu diwanti-wanti untuk menjauhi rokok yang jadi penyebab meninggalnya kakek tapi dia malah ngelanggar?" tanyaku beruntun sambil menatap Yoyo yang sekarang wajahnya memucat.

"Gue cuma lagi nyari pelarian Gi," jawabnya.

"Harus banget gitu pelariannya ke rokok?"

Ia mengangguk. "Karena gue masih waras buat nggak ke bar terus mabuk-mabukkan."

Aku menatapnya prihatin. Jawabannya terdengar seperti lelucon di telingaku, sampai-sampai aku langsung naik pitam. "Gue bakal laporin bunda sama ayah tentang ini," tegasku tanpa mikir panjang.

Bukannya takut, dia justru terbahak, yang entah mengapa terdengar pilu di telingaku. "Emang bener yah, yang selalu ada buat lo itu cuma gue, sedangkan lo nggak pernah coba buat ngertiin gue."

Aku menghela napas panjang. Mendadak menyesal dengan perkataanku. Padahal jelas-jelas Yoyo selama ini selalu menyembunyikan apapun yang kusuruh sembunyikan padanya dari ayah dan bunda. "Ehm, sebelumnya gue minta maaf Yo. Gue tahu, gue bukan saudara yang baik baik buat lo, gue ini egois dan nggak pernah mau ngalah, gue juga selalu lakuin apapun semau gue sendiri. Pokoknya gue itu beda banget dari lo dari sisi manapun. Dah gue rasa hampir enam belas tahun kita bareng, lo udah bisa nerima semua sifat gue. Haha. Gue emang bodoh buat lo jadi nunjuin sisi yang selalu lo sembunyiin dari gue. Sekali kali gue minta maaf karena itu. Dan gue mau kita buka lembaran baru. Please ajarin gue jadi saudara yang baik buat lo." Sejujurnya ini uneg-uneg yang udah kutahan dari dulu untuk kukatakan pada Yoyo, karena aku dikalahkan oleh rasa gengsi.

Selama ini memang aku hanya sering mengeluh pada Yoyo, dan aku selalu lupa mengucap terimakasih yang tulus padanya, padahal dia selalu menjadi pemberi solusi dan pendengar yang baik untukku. Jadi ketimbang memojokkannya lebih baik aku mencoba masuk perlahan ke dalam pikirannya, agar aku bisa mengerti adikku.

"Telat Gi. Lo nggak tahu kan, kalau gue naksir sama Airin, setelah lakuin anjuran dari lo buat deketin dia? Eh, kayaknya meskipun lo tahu apa yang gue rasa, lo juga bakal nggak peduli, karena lo cuma mikirin diri lo sendiri," katanya membuatku yang daritadi berdiri langsung terduduk di atas kasur, saking lemasnya kakiku.

"Yo!" Aku memegang tangan Yoyo, namun dia langsung menepisnya.

"Lapor aja sama bunda dan ayah sekarang, tunggu apalagi," sambungnya lagi kali ini dengan membelakangiku.

"Yo, please. Maafin gue. Gue nggak tahu bakal gini."

"Lupain aja, karena nggak ada yang bisa lo lakuin juga kan buat gue," kekehnya sembari keluar dari kamar, meninggalkanku yang menangis makin kencang.

Sungguh aku tidak menduga kalau aku sejahat ini pada adikku. Dan jahatnya lagi aku melakukan ini bukan hanya untukku sendiri, tapi demi orang lain juga yang jelas-jelas bukan siapa-siapaku. Sialnya lagi aku ikutan mengorbankan perasaan adikku demi kepentingan orang lain. Kenapa aku sejahat ini pada kembaranku sendiri.

***

Agenda rapat anggota osis kali ini yaitu saling memperkenalkan diri. Setelah kami semua saling mengenal, agenda selanjutnya adalah pembagian divisi. Namun karena ini baru pertemuan awal mereka memutuskan untuk menunda hal itu, dan membuat agenda baru yaitu makan-makan bersama di luar. Aku sungguh senang dengan ide itu, namun berhubung aku sedang banyak pikiran, jadi aku memutuskan untuk tidak ikut serta, dengan alasan kurang enak badan, yang untungnya langsung mereka percayai setelah melihat wajahku yang memucat.

Sekarang aku sedang berjalan sendirian menuju ke parkiran dengan langkah kaki yang sangat tidak semangat. Sekolah sudah mulai sepi. Mengingat banyak ekskul yang sudah berakhir, dan anak osis juga masih diskusi tentang tempat yang mereka kunjungi. Namun kesunyian aku tidak bertahan lama, karena mendadak Mahesa berlari mengejarku, yang meski sudah aku akali dengan cara ikut berlari juga, tetap saja bisa dengan mudah cowok tinggi itu susuli.

"Lo ngapain ngikutin gue sih?" tanyaku yang berdiri sambil menatapnya tepat di manik matanya. Asli ini aku deg-gan banget, tapi aku harus memberanikan diriku kali ini. Supaya tidak ada lagi Mahesa yang terlalu over pede dan ngomong hal yang aneh kalau aku sedang sendirian begini.

"Gue juga mau pulang," jawabnya polos tanpa beban sama sekali, yang membuatku seketika langsung naik pitam.

"Nggak usah lawak Sa, mending lo balik ke ruang osis, ikut nentuin tempat sama yang lain," kataku yang sebenarnya pengen melempar tasku ke muka ganteng Mahesa, tapi sebisa mungkin aku tahan. Karena tidak mau menambah masalahku yang sudah teramat banyak ini.

"Nggak mau, gue juga mau pulang. Lagian gue juga nggak enak badan, nih pegang kalau nggak percaya," balasnya sambil menaruh tanganku di dahinya, yang tentu saja langsung aku tepis. "Panas kan. Lo aja sampai nggak sanggup tahan," lanjutnya membuatku mendengus sebal.

"Terserah lo deh!" timpalku yang malas memperpanjang masalah, sambil berlalu pergi.

Tapi lagi-lagi, Mahesa mengikutiku. "Kok lo masih ngikutin gue sih?"

"Ya kan arah kita sama-sama ke parkiran," jawabnya lagi-lagi membuatku terdiam.

Meskipun aku tahu bisa saja pemikiranku tentang Mahesa yang mengikutiku itu benar, tetap saja aku merasa malu banget. Mukaku nggak tahu mau dipasang di mana sekarang.

Karena itu aku langsung buru-buru ngacir ke tempat motorku diparkir. Sesudah aku berhasil mengeluarkan motorku, aku melirik Mahesa yang juga sudah berhasil mengeluarkan mobilnya. Namun karena lagi-lagi aku curiga aku akhirnya memutuskan untuk tidak menjalankan motorku. Dan benar seperti dugaanku, Mahesa juga tidak kunjung berjalan seperti sedang menungguku jalan duluan.

Dengan bukti sejelas itu, aku akhirnya turun dari motorku untuk menghampirinya kemudian mengetuk kaca mobilnya agak keras.

"Nah kan bener lo ikutin gue," tuduhku langsung.

Ia menggeleng. "Pintu keluar kita sama Git, lo lupa?"

"Ya udah, kalau gitu lo duluan aja," pungkasku cepat yang tidak mau tertipu lagi.

Ia menghela napas. "Maaf, gue emang berencana ikutin lo. Itu karena gue khawatir lo kenapa-napa kalau pulang sendirian dalam kondisi sakit," akunya kemudian.

Aku tertawa hambar mendengarnya. "Makasih sebelumnya Sa. Tapi maaf nggak perlu. Lo udah terlalu banyak buat gue dalam masalah," balasku yang tiba-tiba jadi kepikiran Yoyo.

"Maaf. Gue emang udah jahat banget sama lo."

Aku tidak menjawab, karena sejujurnya mau sebanyak apapun kata maaf yang diucapkan Mahesa tetap saja masalahku tidak akan kelar.

"Lo pasti mau tahu kenapa gue tahu lo lagi ada masalah sama Gio kan? Oke sekarang gue bakal jawab. Gue tahu karena gue diceritain Airin kalau Gio jadi berubah dan mulai ngejahuin dia. Karena itu gue mulai mikir, dan akhirnya gue sadar kalau semua yang terjadi sekarang, itu salah gue," katanya membuatku terdiam. "Dan Airin juga curhat, kalau dia udah nyaman banget sama Gio, tapi sayangnya Gio malah berubah sama dia. Dan lagi-lagi itu karena gue," lanjutnya.

Kemudian ia terkekeh. "Gue tahu lo nggak bakal percaya omongan gue. Tapi gue tetap bakal ngomong kalau gue janji bakal perbaikin ini semua," sambungnya. "Kalau gitu gue pergi duluan, daripada lo makin curiga sama gue. Lo hati-hati ya di jalan!" katanya lagi kemudian berlalu.

Tbc











Yaya

Mahesagita✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang