Fiza mengentakan kakinya dan menutup pintu rumah dengan sedikit dibanting. Ia bergegas berlari menuju anak tangga, kemudian menaikinya satu-persatu.
Gadis itu membuka pintu kamar Ismi dan masuk. Wanita yang sedang berbaring santai di atas kasurnya ini lantas bangun dan menurunkan kaki ke lantai.
“Sudah pulang laki-laki itu?” tanya Ismi sedikit ketus.
Fiza melangkah mendekati sang ibu. Dia mengangguk saja atas pertanyaan bundanya.
“Bunda kenapa sih selalu begitu sikapnya sama Aidan?” Kali ini Fiza balik bertanya.
“Bunda hanya ingin kamu mendapatkan laki-laki yang baik. Kalau bisa menikah itu hanya sekali seumur hidup, Fiza.”
“Aidan kurang baik apa, Bun? Selama ini Aidan baik ‘kan sama Fiza dan Bunda?”
“Aidan baik.” Ismi tersenyum sekilas pada Fiza, “tapi dia selalu merepotkanmu bukan? Bilangnya investasi yang hasilnya besar. Beli bensin untuk mobilnya aja kamu yang bayar. Dia itu pengangguran Fiza.”
Fiza terdiam, memang benar semua yang bunda bicarakan. Gadis itu sendiri bingung mengapa setiap kali jalan selalu ada saja alasan Aidan untuk meminta Fiza yang membayarinya. Padahal lelaki itu bilang ia bekerja.
“Aidan jarang kok minta Fiza yang beliin bensinnya. Apa salahnya juga kalau Fiza membantu Aidan? Dia ‘kan pacar Fiza yang nantinya jadi suami Fiza.”
Ismi berdiri dan berjalan mendekati Fiza. Memegang kedua bahu anaknya. Menatap gadis yang tingginya mengalahi dirinya sendiri.
“Nggak salah. Membantu orang itu nggak ada salahnya. Cuma Bunda ingin kamu punya pendamping yang baik. Jangan sampai nantinya kamu dikecewakan oleh laki-laki itu."
“Fiza juga belum mau menikah, Bun. Jadi, nggak usah terlalu jauh memikirkan hubungan Fiza dengan Aidan.”
Ismi menurunkan kedua tangannya, “Kamu mau pacaran terus? Ingat umurmu itu bertambah setiap tahunnya Fiza. Bunda seumuranmu sudah punya kamu.”
“Ah, sudah. Fiza nggak mau membahas pernikahan.” Gadis itu memutar tubuhnya. Melangkah keluar dari kamar sang bunda.
•••
Ismi berlari-lari kecil menyusuri koridor rumah sakit. Wajahnya tampak cemas hingga sampai di depan pintu tujuannya, wanita ini merapikan dulu penampilannya.
Ia mendorong pintu ke dalam, “ Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab orang-orang yang ada di dalam kamar rawat itu.
Ismi perlahan masuk dan menutup pintunya lagi. Ia melihat seorang pria kira-kira lebih tua sedikit darinya terbaring lemas dengan selang infus yang tertancap di tangan sebelah kanan dan selang oksigen di lubang hidungnya. Wanita ini berdiri di samping brankar itu.
“Yaampun Kang Rusdi, saya turut prihatin,” tutur Ismi ikut bersimpati apa yang terjadi pada lelaki itu.
“Ma-makasih, Ismi.” Rusdi menjawabnya dengan terbata-bata.
“Kamu ke sini sendirin aja, Teh?” tanya wanita yang menggunakan khimar syar'i berwarna hitam.
Wanita berhijab putih dan berbaju gamis senada ini, menganggukkan kepalanya, “iya sendiri, Ratna. Beginilah nasib ibu kalau anaknya itu sudah dewasa. Anak Teteh sibuk ngurus kerjaannya.”
“Siapa nama anakmu, Mi? Zaza? Hm, saya lupa. Waktu ketemu masih 2 tahun. Sekarang dia kerja apa?”
“Fiza, dia sekarang desainer, Na. Kerjanya di butik. Gajinya lumayanlah bisa mengidupi saya dan dia.” Ismi tersenyum pada Ratna, “perasaan anakmu ada dua ‘kan, Na? Ini anakmu?” Ismi menunjuk gadis muda yang dari tadi menyimak pembicaraan mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/221148595-288-k106465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Allah
SpiritüelSemua di dunia ini sudah ada takdirnya termasuk jodoh. ~~~ Paras cantik, pendidikan tinggi, dan karir sukses sudah berhasil Fiza raih diusianya yang sekarang menginjak 27 tahun. Umur yang sangat matang untuk seorang gadis menikah. Bahkan kebanyakan...