16. Pernikahan

260 16 0
                                    

“Bagaimana persiapan pernikahannya?”

Fiza yang sedang menyantap makan malamnya seketika menatap sang ibu yang duduk di sampingnya.

“Beres, Bun. Besok foto prawedding. Terus nggak tahu deh ngurus apa lagi.” Gadis ini mengedikkan bahunya, lalu melanjutkan menyantap makanan yang ada di piring.

“Oh iya.” Ismi meraih ponsel yang ada di dekatnya, “Bunda mau liatin contoh undangan. Udah nanyain Bi Ratna juga. Dia suka yang merah jambu ini, tapi karena kamu pengantinnya. Bunda harus tanya kamu juga.” Wanita itu menunjukkan handphone ke depan Fiza.

Gadis ini memanjangkan lehernya untuk melihat ke layar ponsel, “pink itu aja deh, Bun. Fiza ‘kan nggak niat-niat amat mau nikah sama Pak Dokter. Terserah kalian aja deh.”

“Kamu kok begitu?” Ismi menarik ponselnya kembali, “sebentar semangat sebentar nggak.”

“Habisnya pernikahan ini terkesan terburu-buru.” Fiza menggapai gelas, lalu mendeguk isinya, “lagian nggak nikah sama Aidan ini.”

“Harusnya kamu bersyukur bisa nikah dengan Ilham. Bunda kalau masih muda mau gantiin posisimu.” Ismi menyimpan benda pipih miliknya. Kemudian melanjutkan untuk menghabiskan makanan.

Fiza bergeming. Ia berpikir, sosok Ilham memang perfect untuk dijadikan suami. Namun, heran aja lelaki tampan kayak dia tidak bisa cari colon istri sendiri dan tidak membantah dijodohkan.

“Satu lagi, tolong ya di depan ayahmu jangan bersikap seperti itu. Bunda ‘kan nggak pernah ngajarin untuk melawan ayahmu. Itu nggak sopan tahu, dosa kamu.”

Bukannya mengiyakan perkataan ibunya Fiza bertanya balik, “Bunda kenapa sih mudah banget maafin ayah?”

Ismi menghentikan pergerakkan tangannya yang akan menyendok nasi.

“Padahal ayah udah dalam melukai hati, Bunda. Fiza yang ditinggal ayah demi Tante Rosi aja sangat marah,” lanjut Fiza membuat dirinya ditatap Ismi.

“Bunda nggak segampang itu memaafkan ayahmu. Banyak pergulatan batin yang Bunda rasakan sebelum semuanya menjadi biasa-biasa lagi.” Ismi menundukkan kepala, “rasa dendam membuat Bunda tidak tenang.”

Ismi kembali mengangkat kepalanya. Menatap sang anak dengan tajam. “Ceramah dari ustazah Hanifa yang menyadarkan Bunda kalau menyimpan dendam itu nggak baik. Perlahan Bunda mencoba untuk mengikhlaskan kepergian ayahmu. Sampai akhirnya Bunda sanggup berbicang kembali dengan mereka.”

Dengan serius Fiza menyimak perkataan yang terlontar dari mulut Ismi. Wanita itu meraih sebalah tangan anaknya. Menggenggam begitu hangat.

“Bunda harap kamu juga bisa seperti itu. Ikhlaskan semuanya, maafkan ayahmu. Ini sudah jalannya kita sayang. Bagaimanapun ketika acara pernikahanmu dia yang akan menikahkanmu.”

Tiba-tiba ucapan Ilham berputar di kepala Fiza. Tergeraklah kepala gadis itu mengangguk untuk mengiyakan semua perkataan Ismi. Bunda tersenyum, goretan kesedihan di wajahnya seketika menghilang.

“Sesakali kamu harus ikut Bunda pengajian!” Ismi menarik tangannya lagi dan Fiza melanjutkan makannya.

“Nggak mau! Isinya ibu-ibu semua.”

“Memangnya kenapa? Kamu juga setelah menikah akan menjadi ibu.”

“Lain kali aja kalau udah jadi ibu beneran.” Fiza memasukan makanan ke dalam mulutnya.

“Padahal anak Bu Rt aja yang usianya kecil dari kamu, suka ikut.”



•••




Tidak terasa hari cepat berlalu sekarang tibalah di hari yang sudah ditunggu-tunggu. Rumah Fiza ramai dengan sanak saudara yang berdatangan untuk menghadiri pernikahan gadis itu.

Fiza terdiam menatap cermin di depannya. Wajahnya sudah dimake up dan telah memakai kebaya putih untuk acara akad. Gadis itu merasa gugup dan tegang. Sebentar lagi ia akan menjadi istri dari seorang Dokter.

Seketika rasa takut menghantui Fiza. Ia jadi tidak ingin menikah. Apa lagi bayang-bayang masa lalu muncul melintas di pikirannya.

Fiza bangkit dari duduknya. Ketika berbalik akan keluar kamar Ismi datang dan masuk. Wanita itu melihat wajah anaknya yang tegang.

“Kamu mau ke mana?” tanya Ismi.

Fiza melirik ke kiri dan ke kanan. Mencari jawaban atas pertanyaan ibunya. Tiba-tiba ia melangkah ingin keluar dari kamarnya.

“Awas, Bun. Fiza mau pergi!” Dahi Ismi berkerut. Wanita itu masih menghalangi pintu, “Fiza nggak jadi nikah.”

Ismi merentangkan tangannya, “apa-apaan kamu itu? Bagaimana ceritanya nggak jadi nikah?” ia menahan Fiza yang memberontak memaksa keluar kamar.

Fiza terdiam, “Fiza takut, Bun.”

Ismi menghela napas. Ia memeluk putrinya. Dia mengerti maksud dari ketakutan Fiza. Pasti trauma masa kecilnya kembali.

“Kamu yang tenang.” Ismi mengusap-usap punggung sang anak, “Ilham berbeda jauh dari ayahmu. Bunda sangat mengenal keluar Ilham. Mereka mendidik anaknya pasti dengan benar. Kamu sendiri lihat ‘kan perlakuan Ilham padamu? Ilham anak yang baik sayang. Kamu tidak usah khawatir.”

Fiza menekuk mukanya. Kedua tangan gadis itu melingkar di tubuh Ismi. Sekarang rasanya ia mulai yakin kembali pada pernikahan ini. Bagaimanapun ia memang harus menikah.

Sesudah meyakinkan putrinya. Ismi dan keluarga besar pergi ke tempat acara. Mereka akan menikah di gedung hotel. Perjalanan hanya memakan waktu setengah jam dan Fiza serta keluarga sampai di tempat tujuan.

Acara dimulai dengan menjalankan beberapa tradisi. Mulai dari siraman, sungkem, akad nikah dan resepsi. Pengantin dituntun untuk meminta maaf pada kedua orang tua mereka.

Fiza duduk melipat lututnya di depan Agung. Matanya terasa panas saat menatap Agung yang duduk di kursi. Ia memegang kedua tangan ayahnya dan menenggelamkan wajah di tangan pria itu.

“Ayah, maafkan Fiza. Fiza terlalu banyak salah sama ayah.” Air mata sudah tidak bisa gadis itu bendung lagi, “maaf selama ini Fiza sangat membenci ayah. Restui pernikahan Fiza, ayah!”

Lelaki yang mengusap kepala Fiza itu mengusap sudut matanya. Ia juga tak tahan menahan rasa haru ini.

“Ayah telah memaafkan Fiza sebelum Fiza meminta maaf. Fiza nggak salah, ini semua salah ayah, Nak. Maafkan ayah juga sayang.” Fiza mengangguk dengan wajah masih ia sembunyikan, “ayah merestui pernikahanmu.”

Semua tamu ikut terharu menyasikkan proses sungkeman itu. Setelah meminta restu pada sang ayah. Mempelai wanita dipersilakan untuk meminta restu pada ibunda.

Acara berlanjut ke akad. Ilham melafalkan ijab kabul dengan begitu lancar. Ia hanya perlu sekali ucap dan semuanya sah. Pesta berjalan hikmat hingga resepsi. Fiza berdiri di pelaminan menggunakan gaun yang ia desain sendiri. Ia dan Ilham terlihat serasi. Satu-persatu tamu mendekati mereka dan memberi restu. Fiza tersenyum menyambut para tamu.

“Terlihat kamu bahagia Fiza sama cowok itu?” lelaki yang memegang gelas di tangannya menatap ke arah pengantin, “katanya nggak suka, tapi apa? Terlalu munafik.”





•••






6 mei 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang