32. Pasmina Merah

247 14 0
                                    

Mobil hitam milik Ilham masuk ke perkarangan rumah. Disusul dengan mobil mini milik Fiza. Mereka sama-sama turun dari mobilnya.

Fiza terpesona melihat rumah di depannya. Rumah bergaya mini malis ini tidak terlalu besar. Namun, memiliki halaman besar dengan pohon jambu di depannya.

“Wah, rumahnya bagus!” seru Zahra mengomentari, “boleh masuk nggak A'?”

“Silakan, ayo sini!” Ilham jalan lebih dulu mendekati pintu rumah itu.

Fiza dan Ismi bergandengan untuk ikut melihat ke dalam juga. Pintu pun terbuka, Rusdi, Ratna dan Zahra masuk lebih dulu. Kemudian Ismi dan Fiza menyusulnya.

Di dalam sudah lengkap dengan perabotannya. Ilham benar-benar sangat mempersiapkan semuanya sebelum pindah.

“Sini A', Fiza bantu.” Gadis yang telah tidak bersama Ismi lagi itu mendekati Ilham saat suaminya ini keberatan untuk mengangkat barang dari mobil.

“Sudah nggak usah. Ini berat, lebih baik kamu lihat-lihat rumah ini aja sama yang lainnya.”

“Nggak mau. Fiza mau bantu suaminya Fiza. Fiza angkat kardus yang ada di mobil aja deh.” Gadis itu berlari ke depan dan Ilham hanya bisa melihat kepergiannya sambil menggelengkan kepala.

Fiza berjalan tergopoh-gopoh menuju kamarnya. Rumah itu hanya satu tingkat dengan tiga kamar, dua kamar mandi, ruang tamu, ruang tengah, dan dapurnya.

Oh iya jangan lupakan taman belakang yang sedang Zahra kunjungin. Tamannya rapi dengan rumput yang baru dipangkas dan ada gazebo ukuran kecil untuk bersantai.

Kardus yang berisi barang-barang ia sendiri, Fiza letakkan di dekat lemari. Ilham sedang merapikan baju ke dalam lemari.

A’ biar Fiza aja nanti yang beresin,” ujar Fiza menawarkan diri.

“Saya bisa membereskannya sendiri. Kamu lebih baik mengerjakan yang lain.”

“Fiza nggak enak A'. Ini ‘kan kerjaan istri.”

“Bagi saya nggak ada kerjaan istri atau suami. Kalau saya bisa mengerjakannya saya akan kerjakan. Kamu nggak perlu merasa nggak enak seperti itu.”

Fiza yang berdiri tidak jauh dari Ilham itu bersuara lagi, “kalau dipikir-pikir Fiza rasanya harus banyak bersyukur pada Allah. Karena sudah diberi suami yang kayak A' Ilham.”

Pria ini tertawa pelan mendengar ucapan istrinya itu.

“Fiza juga harus berterima kasih sama Bunda udah mengenalkan dan memaksa Fiza untuk menikah dengan A'a.”

Ilham mengeluarkan satu kotak berukuran sedang dari dalam kopernya. Ia yang sempat berjongkok itu lantas berdiri.

“Saya juga bersyukur Allah memberi saya istri sepertimu. Saya juga mau berterima kasih pada Bunda sudah melahirkan wanita sepertimu,” ucapan Ilham membuat Fiza tertunduk malu. Wajahnya seketika memerah. Ia tidak berani menatap pria di depannya ini.

“Fiza tunggu!”

Ketika gadis itu akan meninggalkan kamar Ilham malah manggilnya lagi. Fiza menggigit bibir bawahnya dan berbalik menatap Ilham.

“Ada apa A'?”

Ilham mengulurkan kotak yang ia pegang. Melihat itu kemerah-merahan yang ada dipipi Fiza mulai memudar.

“Ini apa?” tunjuk Fiza.

“Buka saja!” Ilham masih mengulurkan tangannya, “ini untuk kamu.”

Wanita itu menerimanya. Ia beringsut duduk di tepi ranjang. Ilham pun mengikutinya.

“Jadi nggak enak Fiza dapat hadiah terus.” Senyumnya malu-malu.

“Saya baru sekali bukan kasih kamu sesuatu.”

Fiza mengangguk, “sebenarnya rumah ini aja sudah cukup A'.”

“Ya sudah buka dulu itu! Nggak baik menolak rezeki.”

Gadis itu mengulas senyum. Kemudian perlahan melepas pita merah yang mengikat kotaknya, lalu membuka penutup kotak itu. Dahi Fiza berkerut melihat isi kotak itu hanya kain merah.

Ia mengeluarkan kain itu dari kotaknya, lalu melebarkan agar lebih jelas bentuknya.

“Pasmina?” Fiza menoleh ke Ilham.
Ilham tersenyum sambil mengangguk, “saat saya melihat Marisa berhijab. Saya jadi kepikiran denganmu. Kamu pasti jauh lebih cantik kalau menutup aurat.”

Fiza merasa hatinya bergetar menatap sepasang mata teduh milik pria di hadapannya itu.

“Saya nggak memaksamu untuk cepat berubah. Perlahan aja, saya akan sabar mengikuti prosesnya.” Ilham mengubah posisi duduknya, menghadap ke sang istri,  “kamu tahu ‘kan wanita muslim diwajibkan untuk menutupi auratnya yang boleh terlihat hanya wajah, telapak tagan dan telapak kaki.”

Fiza memutar pasmina merah itu ke belakang, lalu menutupi kepalanya.

“Bagaimana Fiza cocok pakai hijab?” tanya Fiza yang merasa kurang PD dengan penampilannya, “kayaknya nggak pantes deh A', jelek.”

“Semua wanita kalau berhijab itu tambah cantik nggak ada yang jelek. Itu kamu belum terbiasa.”

“Ilham!” terdengar suara Ratna berteriak memanggil anak sulungnya.

“Umi memanggil, saya tinggal dulu ya.” Ilham bergegas keluar dari kamar, “Iya, Mi!”

Perkataan Ilham terus terngiang-ngiang oleh Fiza. Gadis ini berdiri dan jalan mendekati kaca besar yang tertempel di lemari.

Ia menata pasmina merahnya agar lebih rapi. Kemeja tangan panjang dan celana bahan yang sedang Fiza pakai terasa serasi dengan hijabnya. Gadis ini tersenyum melihat pantulan dirinya di kaca. Sesekali Fiza berputar. Benar yang Ilham bilang, ia terlihat lebih cantik.

“Kamarnya besar juga.” Suara wanita mengejutkan Fiza.

“Bunda!” Fiza memegangi dadanya, “bikin kaget aja.”

Ismi yang menyembulkan kepalanya ke dalam kamar itu tertawa kecil. Kemudian ia menyadari ada yang berbeda dari anak perempuannya. Ibu satu anak itu berjalan masuk tanpa permisi dulu.

“Kamu mau pakai hijab sekarang seperti Bunda?”

“Ini pasminanya dari A'a, Bun. Fiza cocok nggak Bun pakai ini?”

Ismi memeriksa pasmina yang anaknya pakai, “oh dari Ilham. Cocok kok, kamu tambah cantik. Bagus pasminanya. Ilham pintar juga memilih.”

“Kalau begitu Fiza mau memperbaiki diri. Fiza mau berhijab dan lebih dalam belajar agama. Ajarin Fiza ya, Bun.”

Ismi tersenyum. Rasanya untuk seorang ibu melihat anaknya lebih baik itu sangat membanggakan melebih dari apa pun.

“Siap, nanti kamu ikut Bunda pengajian ya!”

“Yaah, banyak ibu-ibu dong.”

“Kamu ‘kan juga nanti akan jadi ibu.”



•••





Terima kasih sudah membaca cerita ini. 🙏🏻❤





20 mei 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang