07. Menerima Perjodohan

247 14 0
                                    

Perlahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Ia dapat melihat orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya. Ismi menyentuh kepalanya yang terasa pusing.

“Saya di mana?” tanya Ismi dengan menahan rasa sakit di kepala.

“Kamu ada di ruang tamu saya, Teh,” balas Ratna lembut, “bagimana keadaan Teteh? Perlu ke rumah sakit?”

Wanita yang berbaring di atas sofa panjang ini menggelengkan kepala, “Tidak usah! Saya sudagh baik-baik aja.”

“Bunda, maafin Fiza.” Gadis yang ada di samping Ismi dan menggenggam sebelah tangannya itu terlihat murung. Jejak air mata juga ada di pipi putrinya ini.

“Fiza,” gumam Ismi, perlahan ia tersenyum. “Bunda sudah memaafkan kamu. Bunda hanya ingin kamu menikah dengan Ilham. Cuma itu keinginan Bunda sebelum nyawa ini lepas dari raganya.”

Air mata Fiza menetes kembali, “Bunda jangan bilang seperti itu!” Perlahan Fiza menoleh dan pandangannya dengan Ilham bertemu.

Fiza kembali menatap sang bunda. Air matanya tambah deras mengalir dengan susah payah gadis ini menelan liurnya dan menganggukkan kepala.

“Iya, Bunda. Fiza mau menikah dengan Ilham,” balasnya dengan sesegukan.

Ismi tersenyum, lalu mengusap pipi anak tunggalnya. “Terima kasih, sayang. Jangan menangis lagi!”



•••


Fiza terdiam menatap beberapa bunga dan pohon mangga di depannya. Ia memilih untuk menyendiri di mana orang-orang berkumpul di dalam rumah.

Namun, Ilham tidak memberinya semua itu. Laki-laki ini datang dengan membawa dua gelas di tangannya. Ia mengulurkan satu gelas ke depan Fiza.

Gadis itu melihat ke gelasnya dan mendongak menatap Ilham yang tersenyum padanya. “coklat hangat.”

Tanpa banyak bicara, Fiza menerimanya saja. Namun, tidak langsung diminumnya.”

“Coklat bisa mengembalikan mood yang buruk. Kamu harus mengabiskannya,” tutur Ilham yang duduk berjarak setengah meter dari Fiza.

Gadis ini menatap gelas berisi air coklat. Ia menoleh pada Ilham yang sedang menyeruput coklat di tangannya. Fiza mencoba meminum coklat hangat itu.

“Terkadang hidup memang nggak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Plan A bisa aja jadi plan Z dengan waktu yang begitu cepat. Inilah scenario kehidupan. Semua sebenarnya sudah diatur oleh sang pencipta.”

“Kamu mudah ngomong begitu. Karena di sini posisimu belum punya pacar. Beda dengan saya yang sudah punya pilihan sendiri, tapi nggak direstui sama Bunda.”

Ilham menoleh, “Bibi Ismi punya alasan kuat kenapa dia nggak memberimu restu. Sebenarnya semua keinginan ibu di dunia ini semuanya sama, hanya ingin melihat anak-anaknya hidup bahagia setelah mereka tiada.”

Fiza yang tadinya menatap lurus ke depan sekarang ikut menoleh membuat mata kembali bertemu dengan mata bulat milik Ilham. Namun, lelaki ini cepat memutuskan pandangannya.

“Tapi keputusan Bunda nggak sama sekali buat saya bahagia. Andai restu ini jatuh ke Aidan bukan kamu.”

Ilham tertegun. Ia merasa dirinya adalah penghalang bagi Fiza. Namun, beberapa detik kemudian lelaki itu mengangkat kepalanya lagi.

“Kalau memang ini sangat membebankanmu saya nggak masalah kalau perjodohan ini dibatalkan.” Ilham menatap Fiza sebentar, lalu ia berdiri dan berjalan ke dalam dengan membawa gelas coklat hangatnya.

“Bunda mana mau ini dibatalkan,” gerutu Fiza sambil meremas gelas yang ia pegang.

Menghabiskan waktu berjam-jam di rumah keluarga Rusdi sekarang Ismi dan Fiza sudah ada di jalan. Mereka ingin pulang ke rumah.

“Bagaimana sama Ilham? Anaknya baikkan? Sopan? Ganteng?” Ismi memberikan banyak pertanyaan hingga gadis yang sedang menyetir ini bingung akan menjawabnya.

“Biasa aja.”

“Biasa aja, tapi tadi Bunda lihat kalian udah ngobrol bareng.” Ismi masih mencoba menggoda putrinya.

Fiza bergeming. Gadis itu memilih untuk fokus pada jalanan.

“Bunda dan orang tua Ilham sudah memutuskan. Kalian taaruf sambil mempersiapkan pernikahan. Kamu mau pakai gaun rancangan kamu sendiri?”

Gadis ini tidak menjawabnya. Mood Fiza benar-benar buruk sekarang. Ismi paham dengan suasana hati anaknya itu. Ia berhenti bicara dan menatap keluar jendela.

Wanita berhijab ini tersenyum. Walau harus berbohong pura-pura sakit. Namun, rencananya untuk menjodohkan Fiza dan Ilham berhasil. Ini memang tindakan tidak baik, tetapi Ismi tidak ada pilihan lain untuk meluluhkan Fiza yang keras kepala.



•••



Aidan mengetuk-ngetuk meja bundar di depannya. Ia sedang menunggu kedatangan Fiza. Dari jendela besar pemuda itu dapat melihat mobil mini berwarna merah baru saja masuk ke parkiran kafe.

Tidak lama Fiza sudah ada di sebelah Aidan. Pemuda ini mendongak dan tersenyum pada gadis itu.

“Kita mau pesan makanan dulu?” tanya Aidan menatap Fiza yang sudah duduk berhadapan dengannya.

Gadis ini meletakkan tasnya di meja, kemudian menggelengkan kepala. “Nggak usah. Ada hal penting yang mau aku omongin ke kamu.”

“Apa itu? Kenapa nggak sambil makan aja ngomongnya?"

“Nggak bisa Aidan. Ini serius,” balas Fiza menaikan sebelah tangannya ke atas meja.

Aidan bersandar di kursinya, “Ya sudah ngomong aja!”

“Kamu jangan marah dulu ya.” Dahi Aidan berkerut, “Bunda menjodohkan aku sama anak sahabatnya.”

Pemuda ini lantas menegakkan tubuhnya. Kedua mata itu menatap tajam Fiza. “Terus kamu terima begitu aja?”

Fiza mengangguk pelan-pelan, “Maaf sayang, tapi Bunda tiba-tiba jatuh sakit. Aku nggak mau Bunda kenapa-napa. Jadi, aku terpaksa menerima perjodohan itu.”

“Pasti Bunda kamu cuma pura-pura sakit. Dia ‘kan memang nggak suka sama aku.”

Beberapa pengunjung kafe menoleh pada meja Aidan dan Fiza saat lelaki itu bicara dengan nada tinggi.

“Aidan tolong jaga omonganmu tentang Bunda! Bunda nggak mungkin begitu hanya untuk memaksaku menikah. Aku kenal siapa Bundaku itu.”

“Terus saja kamu bela Bundamu! Jelas-jelas kamu tahu kalau dia nggak pernah merestui kita. Kalau dia pengen kamu menikah kenapa nggak bersamaku aja?” Emosi pria berkemeja flanel biru ini mulai naik.

“Bukannya selama ini Bunda bertanya padamu? Tapi apa kamu nggak pernah nunjukin keseriusanmu pada Bunda. Soal investasi kamu nggak ada menunjukkan data-datanya padaku atau pun Bunda.”

Aidan duduk dengan tegak dan lebih condong ke depan Fiza. “sekarang kamu menyalahkan aku? Bukannya dari dulu kamu juga nggak mau kita membahas prrnikahan?”

Lelaki ini membanting sedikit punggung kepada sandaran kursi, lalu menyugar rambutnya.

Fiza terdiam dan menundukan kepala. Mereka sampai tidak memedulikan orang yang menjadikan mereka tontonan. Gadis itu menarik napas panjang.

“Maaf, mungkin selama ini memang salahku. Lebih baik kita putus, karena kita memang nggak mungkin bisa bersama-sama terus.” Fiza berdiri dan meraih tasnya. Ia berlari kecil keluar dari kafe dengan meneteskan air mata.

Sedangkan Aidan tidak bergerak di tempatnya. Pemuda ini membiarkan saja kekasihnya itu pergi.



•••



28 april 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang