15. Pengaruh Ilham

229 16 1
                                    

Tidak begitu lama Fiza turun kembali dari kamarnya. Ia sudah rapi dan cantik. Gadis ini berjalan mendekati Ilham yang masih terlihat berbincang-bincang dengan keluarganya.

“Ayo, A' kita pergi dari sini. Lama-lama di sini gerah.” Gadis itu mengibaskan tangannya ke leher.

“Fiza nggak boleh ngomong seperti itu!” tegur Ismi tegas.

“Kamu nggak mau ngobrol-ngobrol dulu dengan ayah, Fiza? Ayah rindu sama kamu,” ujar Agung menatap anaknya yang berdiri di belakang sofa.

“Ayah nggak dengar tadi yang diomongin Bunda? Fiza itu hari ini sibuk. Banyak yang harus diurus untuk pernikahan yang mendadak ini. Jadi, kalau mau ngobrol lain kali aja.” Fiza beralih melihat Ilham, “A’ ayo pergi!”

Ilham segera berdiri, “permisi, Bi, Mang, saya izin pamit. Harus pergi dulu untuk ngurus katering.”

Agung tersenyum dan mengangguk, “iya, Nak. Hati-hati! Tolong dijagaain putri, Ayah!”

“Iya, Mang. Saya pasti jaga Fiza.”

“Udah ayo cepat A'! Nggak usah kebanyakan basa-basinya.” Fiza berjalan mendekati Bunda, lalu mencium punggung tangannya, “Fiza pergi dulu, Bun.”

Ismi mengangguk, “hati-hati!”

Agung sudah bersiap akan disalami sang putri. Namun, Fiza lewat begitu saja tanpa menoleh lagi ke dirinya. Sedangkan Ilham-lah yang menyalami semua anggota keluarga. Setelah itu, pemuda ini menyusul Fiza.

Di dalam mobil yang sedang dikendarai Ilham. Fiza hanya diam menatap jalanan di depannya.

“Jadi Mamang sama Bibi itu sudah lama bercerai?” tanya Ilham mengikis kesunyian antara mereka.

“Sudah 14 tahun, dari saya SD lebih tepatnya. Ayah memilih istrinya yang sekarang buat dijadikan pelabuhan terakhir.”

Ilham mengangguk-angguk sambil memperhatikan Fiza sesekali. Gadis itu masih fokus menatap ke depan.
“Walau dia bukan suami Bi Ismi lagi, tapi kamu masih anaknya. Sepantasnya kamu menghormati dia nggak seperti tadi.”

Fiza menoleh, “kamu nggak tahu masa lalunya seperti apa. Kalau diingat-ingat lagi apa yang saya lakukan nggak setimpal dengan perlakuannya dulu sama Bunda.”

“Sepertinya kamu sangat membenci, Mang Agung.” Ilham tersenyum lembut, “kalau boleh saya kasih saran. Cepat hapus rasa bencimu. Walau sikap buruknya mengalahi tingginya gunung dan luasnya lautan. Cuma takut nanti kamu menyesal setelah beliau tiada.”

Gadis itu memperhatikan Ilham yang sedang menyetir. Ia masih menyimak apa yang lelaki itu ucapkan.

“Lihat Bi Ismi, sepertinya beliau sudah sangat ikhlas dengan apa yang terjadi di masa lalu. Dia bisa tersenyum dan seramah itu dengan Mamang dan Ibu tirimu.”

Fiza hanya bergeming. Menyandarkan punggungnya pada jok dan menatap keluar, memperhatikan jalanan kota Bandung yang cukup ramai.

“Mang Agung pernah langsung minta maaf padamu?”

Fiza mengangguk, “pernah saat 2 tahun setelah ia menikah dengan Tante Rosi. Ayah juga minta maaf ke Bunda. Saat itu Bunda nggak langsung memaafkan, tapi setelah ikut pengajian selama 1 tahun. Entah kesambet apa, Bunda bicara ke Ayah. Kalau dia sudah memaafkan Ayah.”

Ilham mengerem mobilnya. Berhenti sementara saat lampu lalu lintas sedang merah. Pria itu tertawa mendengar ucapan gadis di sampingnya itu.

“Bi Ismi bukan kesambet, tapi mendapat hidayah. Mungkin dipengajian Bi Ismi diberitahu kalau ada seseorang yang meminta maaf. Kita harus memaafkannya.”

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang