28. Dari Perut Naik ke Hati

228 12 0
                                    

Ratna membukakan pintu untuk anak sulungnya yang baru datang. Sudah pukul 10 malam dan Ilham baru sampai di rumah.

“Kamu dari mana aja?” tanya Ratna saat punggung tangannya di cium Ilham.

“Maaf Umi, Ilham lupa mengabari. Handphone juga lowbat. Hari ini Dokter Darwis ulang tahun. Jadi, Ilham dan Dokter lainnya diundang. Ilham nggak enak kalau nggak datang. Mana Kang Darwisnya sendiri yang mengundang Ilham.”

“Oh seperti itu, ya sudah nggak apa-apa.” Ratna kembali menutup pintu setelah Ilham bergeser, “tapi kasihan sama Fiza.”

Baru akan berjalan pergi. Lelaki itu menoleh kembali ke Ratna.

“Memangnya Fiza kenapa Umi?”

“Dia masak buat kamu dari tadi sore, tapi sampai makan malam dimulai kamu juga nggak datang. Dia sudah nungguin kamu dari tadi.”

Ilham menjadi tak enak hati, “sekarang Fiza di mana?”

“Masih ada di dapur tuh. Nungguin di meja makan.”

Setelah mengetahui semua yang dilakukan istrinya. Ilham buru-buru berjalan ke dapur tanpa meletakkan tas atau mengganti bajunya dulu.

Sampai di ruang makan Ilham melihat Fiza sudah tertidur di meja. Raut wajahnya tampak lelah. Mata laki-laki ini teralihkan dengan makanan yang sudah siap di meja. Ia melihat makanan kesukaannya dimasakkan Fiza.

Tidak disadari Ilham sudah menarik kedua sudut bibirnya. Ia lekas menggeser kursi perlahan dan duduk. Tanpa membangunkan Fiza pria itu menyendok nasi serta lauk-pauknya ke piring. Ilham makan lagi, walau sebenarnya sudah makan di tempat acara.

Dari jauh Ratna mengintip. Wanita yang sudah tak muda ini lagi, tersenyum senang melihat kedua anaknya itu bisa saling menghargai. Ini perkembangan bagus untuk mereka. Ia tidak mau mengganggu. Ratna bergegas pergi untuk memasuki kamarnya. Ia ingin menceritakan ini pada suaminya.

“Masakan kamu enak sekali,” ucap Ilham dengan suara dikecilkan, “padahal baru pertama memasak ‘kan?”

Ilham memandangi wajah polos Fiza ketika tidur, “kamu tahu, perut saya sudah terasa penuh, tapi seperti ingin menambah lagi.”

Pria ini tertawa pelan. Walau Fiza tidak meresponnya Ilham tetap saja menceritakan betapa enak masakan gadis itu.

Selesai memakan dan membereskan meja. Ilham membopong tubuh Fiza ke kamar. Sambil berjalan ia memperhatikan wajah istrinya ini. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang lagi seperti saat honeymoon. Ia cepat mengalihkan pandangan.

Setelah berhenti di samping ranjangnya. Perlahan pria ini membaringkan Fiza. Menyelimutinya agar tidak kedinganan atau tergigit nyamuk.





•••






Fiza mengeliat kecil dan mengejab-ngerjabkan matanya. Ia melihat sekelilingnya. Dahinya berkerut, ia jadi bertanya-tanya siapa yang memindahkan dirinya ke tempat tidur? Kemudian ia kepikiran Ilham.
Namun, saat menoleh ke sofa pria itu tidak ada di sana. Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Fiza dengan cepat menoleh ke pintu itu. Ilham baru saja keluar daru sana dengan lengan baju dan celana yang digulung. Sudah Fiza pastikan suaminya itu habis berwudu. Karena azan subuh sedang berkumandang.

“Heh, kamu sudah bangun. Cepat ambil wudu kita salat subuh berjamaah.” Ilham seperti tidak menyimpan dendam pada Fiza selalu ramah dan hangat.

Fiza merubah posisinya menjadi duduk.

“A’a ya yang pindahin saya ke sini?” pertanyaan Fiza mendapat anggukan Ilham.

Lelaki yang sedang membenarkan lengan baju serta gulungan celana kembali itu, menjawab, “iya, kamu ketiduran di meja makan.”

Fiza mengangguk-anggukan kepala. Namun, ia berpikir lagi. Ia ada digendongan Ilham? Digendong laki-laki itu? Andai ia sadar saat itu pasti seperti adegan di drama-drama korea. Saat Fiza sedang menunduk dan berkutik pada pikirannya sambil mesem-mesem, Ilham bicara kembali.

“Masakan kamu enak juga ya. Kata Umi, kamu sengaja masak untuk saya. Terima kasih banyak.”

Fiza mengangkat kepalanya lagi, “sama-sama A'. Itu enak karena dibantu Umi juga. Saya sih cuma ikutin intruksi Umi. Omong-omong A'a kok pulangnya terlambat?”

“Oh itu, ada acara di rumah teman yang juga berprofesi sama seperti saya. Dia ulang tahun. Karena nggak enak sudah diundang langsung oleh si pemilik acara. Jadi saya datang. Malah pulang ke malaman. Maaf bikin kamu menunggu,” jelas Ilham sambil memakai kain sarungnya.

“Perempuan atau laki-laki temannya?”

Dahi Ilham berkerut, “kenapa kamu bertanya begitu?”

“Nggak apa-apa. Memangnya nggak boleh? Salah istrinya bertanya begitu?”

Ilham jadi tertawa dibuatnya. Kemudian ia menggelengkan kepala.

“Nggak, tapi tumben kamu sepeduli itu sama saya.”

Fiza memanyunkan bibirnya ke depan. Ia menyingkirkan selimut, lalu lekas turun kasur.

“Kalau nggak mau jawab juga nggak masalah. Nggak penting buat saya!” balasnya saat melintas di depan Ilham.

Namun, langkah Fiza terpaksa berhenti ketika tangannya ditangkap Ilham. Gadis ini menoleh ke belakang.

“Teman saya laki-laki, usia 37 tahun, dia seorang duda yang belum dikarunai anak, dan dia berprofesi sebagai Dokter spesialis organ dalam.” Fiza sampai terbengong mendengarkan penjelasan yang begitu lengkap, “bagaimana? Kamu nggak cemburu lagi?”

Pertanyaan yang Ilham lontarkan membuat Fiza menarik tangannya cepat. Ia merubah ekspresi menjadi tidak suka.

“Dih, saha yang cemburu? Aing teh nanya aja. Takutnya kalau A'a jalan sama perempuan lain jadi omongan tetangga.” Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada.

“Kamu yakin?” Ilham mendekatkan wajahnya sambil melempar senyum misterius.

Fiza menurunkan tangannya lagi, “ih A'a teh apaan pertanyaannya. Iya yakin, atuh. Sudahlah, saya mau wudu dulu nanti subuhnya habis.”

Fiza tergesa-gesa memasuki kamar mandi. Ulahnya membuat Ilham tertawa geli.


•••






17 mei 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang