19. Ilham dan Teman Lamanya

227 13 0
                                    

Fiza sesekali curi-curi pandang pada Ilham yang sedang fokus menggoreng. Ia tidak menyangka dokter itu juga bisa memasak.

“A'a biasa masak ya?” Gadis itu memasukkan semua sayuran yang sudah dipotong ke dalam baskom kecil, lalu melangkah ke depan wastafel.

“Bisa dibilang begitu. Kenapa kamu heran lihat cowok masak?” Ilham bertanya balik dengan tidak menatap istrinya.

Fiza membasuh sayurannya pada air mengalir, “saya kira A'a yang dokter cuma bisa bedah-bedah orang.”

Ilham tertawa kecil. Ia memindahkan ikan yang telah matang ke piring. Setelah itu berganti mengoreng cabai yang telah dihaluskan Fiza.

“Dulu saya kuliah di Jogja. Karena tinggal sendiri alias ngekos dengan nekat demi mengirit uang bulanan saya memasak. Lumayan bisa dimakan 2 sampai 3 kali, lebih hemat. Dari situ saya terbiasa untuk masak. Kadang kalau di rumah ngebantu Umi juga.”

Fiza menganguk-angguk mengerti. Sedekit demi sedikit ia mulai mengenal Ilham lebih banyak. Ternyata suaminya ini orang yang mandiri.

Menghabiskan waktu sampai satu setengah jam lebih pasangan suami-istri ini sekarang sudah duduk di meja makan sambil menyantap masakan mereka tadi.

“Soal honeymoon, kamu mau pergi bersama saya?” tanya Ilham di sela-sela aktifitas makannya.

Fiza mendekatkan tubuhnya pada pinggiran meja, “jadi kita benaran mau pergi honeymoon?”

Pria ini mengangguk, “kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa. Nanti saya bilang sama Abi. Semoga Abi bisa mengerti.”

Gadis ini terdiam dan tidak menyendok makanannya lagi. Ia juga tidak enak pada Rusdi. Mana ayah mertuanya itu ada penyakit jantung.

“Saya mau, tapi kita cuma jalan-jalan aja ‘kan?”

Awalnya Ilham tidak percaya. Namun, saat Fiza menentukan kota mana menjadi tujuannya, lelaki ini mengiyakan.

“Assalammualikum.”

Terdengar suara salam dari depan rumah dan tidak lama decitan pintu menyusul.

“Waalaikumsalam,” jawab Ilham dan Fiza bersamaan, lalu ditambah teriakan Fiza. “Masuk aja Bunda nggak dikunci.”

Sampai di ruang makan Ismi terkejut dengan banyaknya makanan.

“Ayo Bun, sekalian makan!” ajak Ilham sopan.

Ismi menarik kursi dan meletakkan tas dan kotak kecil bawaannya, “ini siapa yang masak? Nggak mungkin Fiza ‘kan?” selidik wanita berhijab ini.

“Memang bukan Fiza, Bun. Fiza ‘kan nggak bisa masak. Semuanya A'a yang buat.”

“Terus kamu ngapain aja?”

“Bantu doa.”

Ismi mengerutkan bibirnya. Ia menggapai piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk.

“Kamu bisa masak juga ya, Ham?” Ismi menatap Ilham.

Lelaki itu tersenyum, “alhamdulillah sedikit-sedikit bisa, Bun.”

Ismi menganggukkan kepala. Wanita itu sedang menikmati makanannya.

“Enak ini, Ham.” Ismi melirik anaknya yang duduk bersebelahan dengan dirinya, “kalah kamu sama cowok.”

Fiza memasang ekspresi cemberut.



•••





Lampu ruang operasi kembali mati. Pertanda pekerjaan dokter di dalamnya selesai. Ilham keluar dari ruang operasinya. Lelaki ini berjalan ke arah ruangannya sambil memakai cincin pernikahan ke jari kembali. Namun, saat akan memasuki jari manis cincin perak itu terjatuh karena seseorang menabrak Ilham.

“Maaf, Dok. Saya nggak sengaja,” ujar seorang wanita yang memakai jas dokter pula.

Ilham tidak memperdulikannya. Lelaki yang setengah wajahnya masih ditutupi masker ini menunduk melihat ke lantai. Ia sibuk mencari cincinnya.

“Maaf, Dokter. Saya sungguh nggak enak hati.”

Pria ini menegakkan tubuhnya dan menarik turun masker yang menutupi mulut serta hidungnya.

“Iya, nggak apa-apa.”

Wanita dengan rambut disanggul rapi ini terkejut saat melihat Ilham.

“Ilham?” tanya wanita ini memastikan, “kamu masih ingat saya? Marisa, risa teman sekampus dulu.”

Lelaki ini mencoba mengingat-ingat, “oh iya, Risa yang sering main sama Puspa ‘kan? Ingat saya.”

“Iya benar. Kamu masih ingat aja saya sama Puspa itu sangat dekat.”

“Kalian ‘kan ke mana-mana selalu berdua. Apa kabar? Lagi apa di sini?” Ilham memiringkan sedikit kepalanya menelisik pakaian yang gadis itu gunakan, “kamu dokter di sini?”

“Saya baik.” Risa tersenyum, “iya, kebetulan ini hari pertama saya pindah tugas ke rumah sakit ini. Kamu juga kerja di sini?”

Ilham mengangguk, “iya, Sa. Saya sudah 3 tahun praktik di sini.”

Lelaki itu kembali melihat ke arah lantai. Mencari-cari cincinnya yang menggelinding entah ke mana.

“Kamu cari apa?”

“Tadi saat kamu tabrak saya. Cincin saya jatuh. Nggak tahu pergi ke mana ini,” jawab Ilham tanpa menatap Risa.

“Cincin?” Ilham mengangguk saja kali ini, “ya ampun, maafkan saya Ilham. Saya bantu cari.”

Mereka bersamaan memperhatikan lantai. Mencari di antara kursi-kursi yang berderet di koridor.

“Ini bukan cimcin kamu?” Risa mengulurkan tangannya dan memberikan cincin pernikahan milik Ilham.

Ilham tersenyum melihat ke arah cincin itu. Ia mengambilnya dan lantas memakai kembali.

“Terima kasih.”

“Nggak perlu terima kasih ‘kan saya tadi yang menghilangkan. Itu tanda tanggung jawab saya.”

“Bagaimanapun kamu sudah membantu. Saya wajib bilang terima kasih. Itu bentuk kesopanan manusia.”

“Ya sudah, sama-sama. Kamu sudah menikah?”

Ilham kembali melihat cincinnya lagi saat ditanya seperti itu, “iya, baru beberapa hari ini.”

“Oh, masih pengantin baru.” Godaan Risa memiliki arti lain. Garis wajahnya sangat berbeda sebelum ia mengetahui Ilham sudah memiliki istri.

“Begitulah.” Lelaki itu tersipu malu.

“Selamat ya. Beruntung wanita yang menjadi istrimu.” Ilham tersenyum tipis, “saya masih ada kerjaan. Lain kali kita ngobrol lagi.”

“Iya, baiklah. Saya juga masih ada urusan.”

“Permisi, assalamulaikum.” Risa sedikit menundukan kepalanya, lalu pergi setelah mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam.” Ilham memperhatikan kepergian teman lamanya.


•••





9 mei 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang