14. Ayah Berkunjung

221 15 0
                                    

Fiza menarik kursi, lalu duduk di depan meja makan. Ismi masih memasak di depan kompornya. Tidak lama wanita satu anak itu menuangkan telur mata sapi ke dalam piring.

“Za, hari ini kamu sama Ilham pergi untuk urus katering ya! Tadi malam Bibir Ratna telepon Bunda. Nanti Ilham jemput kamu ke rumah.”

Ismi berjalan mendekati meja makan dengan membawa masakannya. Ia meletakkan piring itu di atas meja. Segera Fiza mengambil telur yang baru matang ini.

“Tapi Fiza ‘kan hari ini kerja, Bun. Masa izin terus?”

Wanita paruh baya ini menarik kursi untuknya duduk. Ia mengisi piring kosong di depannya dengan makanan yang telah terhidang.

“Mau bagaimana lagi? Sisa waktunya sedikit lagi. Mending kamu ambil cuti aja deh, Za!”

Fiza meremas rambutnya, “serius deh, Bun. Kepala Fiza mau pecah ngurus pernikahan yang serba mepet ini. Belum undangan, foto prawedding, makanan, dekor? Erggh!”

Gadis itu mengacak rambutnya. Ia frustrasi dengan semua serba harus cepat itu.

“Kamu tenang saja. Undangan sudah diurus Bibi Ratna. Dekorasi juga sudah bunda pesan.”

“Memang bunda tahu Fiza maunya gimana?”

Ismi menelan dulu makanan yang ada di dalam mulutnya. “Kamu tenang aja. Bunda tahu kesukaanmu itu bagaimana. Pernikahanmu pasti akan bagus.” Bunda tersenyum-senyum, “jadi nggak sabar.”

Fiza menghela napasnya. Dia sudah tidak peduli lagi dengan semua pernikahan yang selama ini jadi mimpinya. Bairkan saja orang tuanya dan orang tua Ilham yang mengurus itu. Gadis itu mengabiskan makanannya.

Selasai menyantap sarapannya Fiza lantas menghubungi Teh Kalina untuk meminta cuti selama ia mengurus pernikahan dan sah menjadi istri seorang dokter. Gadis ini kembali turun dari kamarnya setelah mandi. Handuk masih melingkar di lehernya. Kakinya yang cekatan itu berlari kecil menuruni anak tangga. Sedari tadi bel rumah berbunyi. Sedangkan Ismi sedang mandi.

Fiza kira yang datang adalah Ilham ternyata itu Agung bersama istri mudanya, Rosita.

“Assalammulaikum.”

Fiza mundur beberapa langkah, “waalaikumsalam.”

“Fiza!” Agung mengulurkan sebelah tangannya, “sudah lama sekali ayah nggak bertemu kamu.”

Fiza hanya diam. Ia tidak menyambut tangan sang ayah. Akhirnya Agung menarik tangannya kembali. Ini bukan pertama kalinya gadis itu bertemu ayahnya lagi. Setelah berdamai dengan mantan istrinya sejak 5 tahun yang lalu, empat atau lima kali dalam setahun Agung pasti main ke rumah. Terkadang bersama sang istri atau membawa anak-anaknya. Ia datang sekedar bersilatuhrahmi dan menengok putrinya.

Namun, sampai saat ini Fiza belum bisa memaafkan sang ayah dengan apa yang diperbuatnya dulu. Terlalu membekas di ingatannya.

“Siapa yang datang, Za?” pertanyaan Ismi membuat lamunan Fiza buyar.

“Eh, Kang Agung!” seru Ismi tersenyum dan menghampiri tamunya, “apa kabar Kang, Ros?”

Fiza tidak mengerti bagaimana bunda bisa bersikap begitu ramah pada kedua orang yang pernah menghianatinya.

“Baik, Mi. Kami ke sini karena mau tanya. Katamu anak kita mau menikah. Benar?” tanya Agung mengulang info yang ia dapat.

Ismi mengangguk, “iya, Kang. Fiza udah dapat jodohnya. Kemungkinan minggu depan sudah jadi istri.”

“Selamat Fiza! Ibu turut senang,” ucap Rosita dengan senyum mengembang.
Fiza tersenyum canggung pada Agung dan Rosita.

“Ayo-ayo, masuk dulu!” Ismi berjalan lebih dulu ke dalam rumahnya, “nggak baik ngobrol sambil berdiri.”

Fiza menghela napas. Ia melepas handuk yang ada di leher. Baru saja akan menyusul masuk tiba-tiba salam dari seorang laki-laki membuat langkah gadis itu terhenti. Ia menoleh ke belakang.

“Assalammuaikum.”

“Waalaikumsalam.” Fiza mendekati Ilham yang ada di depan pintu rumahnya, “masuk A' !”

Ilham membuka sepatunya. Ia melihat banyak orang di dalam, “lagi ada tamu?”

“Itu ayah saya sama istri mudanya. Udah nggak apa-apa. Cuekin aja!”

“Kok ngomongnya begitu?” Ilham terlihat bingung dengan sikap Fiza. Ia bilang itu ayahnya, tapi ia bersikap tak sopan.

“Eh Ilham!” sapaan Ismi membuat perhatian lelaki yang menatap Fiza itu tertuju pada wanita itu sekarang, “ini calon menantu saya, Kang.”

Semua orang yang ada di ruang tamu menoleh pada Ilham. Dengan senyum manis lelaki ini menyapa orang tua Fiza.

“Fiza ajak Ilham kemari!” suruh Ismi.
Fiza dan Ilham saling berpandangan sebelum gadis itu melangkah lebih dulu. Pria ini membuntuti Fiza.

“Sini Ilham duduk dulu!” setelah di persilakan Ismi barulah lelaki itu menjatuhkan bokongnya ke sofa, “saya bikin minum dulu ya.”

“Nggak usah repot-repot Ismi!” teriak Agung dari ruang tamu.

“Nggak repot, Kang!” balas wanita itu yang sudah berada di dapur.

Fiza duduk di sofa yang lainnya. Memperhatikan ayahnya yang bertanya pada Ilham.

“Kamu calon suami anak saya?” tanya Agung.

“Insyaallah begitu, Mang. Mamang ayah Fiza? Maaf saya baru lihat soalnya.”

“Iya, saya ayahnya Fiza. Wajar kalau kamu baru lihat. Sejak bercerai dengan Bundanya Fiza, saya jarang kemarin. Banyak pekerjaan dan mengurus keluarga baru saya.” Agung menunjuk Rosita yang duduk di sebelahnya, “ini ibu tiri Fiza.”

Fiza mencebikkan bibirnya. Ia tidak pernah menganggap Rosita sebagai ibunya. Ia lebih mencap wanita itu sebagai perebut kebahagian dirinya dan bunda.

Ilham mengangguk-anggukan kepala tanda ia mulai paham dengan silsilah keluarga calon istrinya itu.

“Kamu kerja apa? Oh maaf, siapa tadi namanya?” tanya Agung lagi.

“Wah, sudah akrab aja.” Ismi datang kembali dengan membawa minuman di nampan. Ia menyusun gelas di atas meja, “mangga di minum!”

“Nuhun, Teh.” Rosita tersenyum pada Ismi.

“Nama saya Ilham, Mang. Saya berprofesi sebagai dokter spesialis tulang di Rumah Sakit Rajawali,” jawab Ilham dengan begitu sopan.

“Pintar kamu cari suami, Fiza. Kalau sama Ilham ayah setuju saja.”

Fiza yang memainkan ujung handuknya itu bersuara, “Fiza nggak nyari, ini dijodohkan bunda.”

Ismi tertawa canggung. Ia jadi tidak enak pada Ilham. Ketahuan sekali kalau Fiza terpaksa melakukan ini.

“Kebetulan, Kang. Ilham ini orang tuanya teman lama saya. Jadi, kami sepakat untuk menjodohkan mereka,” jelas Ismi pada mantan suaminya.

“Oh begitu, nggak masalah. Yang penting suami Fiza harus bertanggung jawab, setia, dan soleh. Itu terutama.”

“Nggak kayak yang ngomong,” gumam Fiza, tapi tertanggap oleh pendengaran Ismi dan Ilham.

Ismi memukul paha anaknya itu sedikit kuat. “Jangan ngomong seperti itu. Sana siap-siap! Katanya kamu dan Ilham mau mengurus katering hari ini.”

Gadis ini tidak membantah. Ia lekas bangkit dari duduknya. Kemudian pergi meninggalkan ruang tamu tanpa berkata apa pun.

“Tunggu sebentar ya, Ilham.”

Ilham tersenyum, “iya, nggak apa-apa, Bi.”



•••

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang