12. Aidan Melamar

210 18 0
                                    

Fiza melihat Ilham mengantarkan pasiennya sampai di depan pintu ruang periksa. Sebelum pintu tertutup lagi gadis ini berlari, lalu menahan pintu yang ada Dokter itu tutup.

“Tunggu!”

“Fiza?” gumam Ilham dan membuka pintu ruangannya lagi, “ada apa kamu ke sini?”

“Ayo ikut!” Fiza menarik paksa tangan Ilham.

Pria itu terkejut dan memegang gagang pintu untuk menahan tubuhnya agar tak terbawa saat Fiza menarik tangannya.

“Mau ke mana? Saya masih ada jam praktik.”

Gadis itu menghempaskan saja tangan Ilham. Kemudian menatap dengan wajah kesal.

“Tunda dulu praktiknya. Pak Dokter mau nikah sama saya nggak sih?”

“I-iya mau, memangnya kita mau ke KUA sekarang?” Fiza menepuk dahinya saat pertanyaan polos terlontar dari bibir lelaki berjas putih khusus dokter itu.

“Kalau itu nanti aja. Kita harus ke butik tempat saya kerja. Pak Dokter harus pilih dan ukur baju pernikahan dulu.”

“Nanti saja selesai saya praktik.” Seorang pasien menghampiri Ilham yang berbincang bersama Fiza, “itu saya harus periksa orang lagi.”

“Tapi?” Ilham tidak menghiraukan Fiza, lelaki itu berbicara ramah pada pasiennya, lalu pintu ruang praktik itu tertutup. “Pak Dokter!” ucap Fiza dengan suara kecil hampir tak terdengar.

Fiza menghela napas. Kemudian beringsut duduk di kursi ruang tunggu. Ia melihat suster yang mendata daftar pasien yang akan memeriksa diri pada Ilham. Gadis itu lantas bangkit kembali dan mendekati sang suster.

“Sus, boleh nanya?” tanya Fiza dengan sopan.

Suster itu menatap Fiza, lalu tersenyum ramah. “Mau tanya apa, Teh? Sok wae.”

“Pak Dokter Ilham kerjanya masih lama ya?” Fiza menunjukan ekspresi bosannya.

“Masih, Teh. Sampai makan siang. Terus lanjut lagi sampai jam tiga sore.”

Gadis yang rambutnya di kuncir kuda itu mengangguk, tanda ia paham sekarang. “kerjanya tiap hari ya?”

Henteu, Teh. Selasa, Jum'at, dan minggu Dokter Ilham libur praktik. Teteh ini siapanya, Dokter Ilham? Saya lihat sering cari-cari Pak Dokter.”

Fiza bergeming. Dia kepikiran ternyata orang-orang di rumah sakit ini belum tahu statusnya dengan Ilham. Gadis itu mendengus kenapa Ilham tidak memberitahu kalau mereka akan menikah. Tak lama ia menggeleng, pikirannya sudah terlalu jauh. Biarkan saja kalau memang hubungan ini tidak diketahui orang itu lebih baik.

“Teh?” panggilan Suster itu membuyarkan lamunan Fiza.
Gadis ini menatap sang Suster, “saya tunggu aja deh.”

Tanpa menjawab pertanyaan suster, gadis itu melangkah kembali ke kursinya. Dengan sabar menunggu Ilham menyelesaikan pekerjaannya. Sampai-sampai sudah habis sebungkus snack dan sebotol minuman.

Fiza menoleh ke kiri dan kanannya sudah tidak ada pasien yang menunggu untuk diperiksa. Namun, Ilham belum juga keluar dari ruangannya. Ketika Fiza berharap Ilham keluar nyatanya pasien terakhir yang check up muncul dari balik pintu. Sempat tersenyum pada gadis itu sebelum benar-benar pergi dari ruangan ini.

Ilham juga belum keluar dari ruangannya. Azan pun terdengar berkumandang dari luar rumah sakit. Barulah tak lama lelaki yang sudah berjam-jam Fiza tunggu keluar tanpa jas putihnya.

“Kamu masih di sini?” tunjuk Ilham yang tidak menyangka.

“Ya, iyalah. Saya ‘kan nungguin Pak Dokter. Sampai udah habis jajanan saya Pak Dokter belum juga keluar.” Fiza berdiri dan menarik tangan Ilham, “ayo kita ke butik!”

Dengan lemah-lembut Ilham melepas genggaman tangan gadis tinggi dengan kulit putih itu dari pergelangan tangannya.

“Saya mau salat zuhur dulu.”

“Habis itu kita ke butik!”

“Nggak bisa, saya masih ada kerjaan. Masih ada pasien yang udah membuat janji dengan saya.”

Fiza menghela napas. Karena tidak ada jawaban dari gadis itu Ilham berlalu pergi meninggalkannya. Gadis ini menekuk wajahnya, lalu mengambil sampah makanan yang ada di kursi. Kemudian pergi ke arah luar rumah sakit.



•••



“Mana ini Aidan? Katanya mau ke rumah,” gerutu Ismi di depan cermin riasnya.

Wanita paruh baya itu sedang bersiap-siap akan pergi. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di pergelangan.

Tidak lama terdengar bunyi suara bel rumah yang dipencet seseorang. Ismi buru-buru menyelesaikan memasang hijabnya. Dengan membawa tasnya ia lekas berjalan turun ke lantai dasar.

“Tunggu sebentar!” teriak Ismi yang berada di ujung anak tangga.

Bel terus berbunyi hingga pintu dibukakan wanita itu. Ismi geram dibuatnya.

“Kamu dengar saya udah teriak-teriak nggak sih?” tanya Ismi dengan ketusnya.

“Maaf, Bunda. Saya nggak dengar.” Aidan mengulurkan sebelah tangannya, “salim dulu biar berkah, Bun.”

Ismi memberikan tangannya. Baru Aidan membenturkan dahinya ke jari wanita itu, ia lekas menarik tangannya kembali. Seperti malas menerima kedatangan pemuda ini.

“Langsung aja, apa maksud kamu ke sini? Kalau cari Fiza, orangnya nggak ada.”

“Saya memang nggak cari Fiza, Bun. Saya ke sini mau membicarakan lamaran untuk Fiza,” jelas Aidan dengan tutur kata yang sopan.

“Memangnya kamu sudah punya kerjaan? Jangan bilang investasi itu lagi!”

Dahi Aidan mengernyit, “memang kerjaan saya itu, Bun. Saya janji Fiza akan bahagia dengan saya.”

“Ayahnya Fiza juga bilangnya begitu ke saya. Nyatanya? Omong kosong.”

“Jangan samain kali, Bun. Saya sama mantan suami Bunda jelas berbeda.” Aidan terus bisa membantah ucapan Ismi.

Ismi merubah posisi berdirinya. Ia sama sekali tidak mempersilakan mantan pacar anaknya itu untuk masuk terlebih dulu.

“Kamu tahu tidak kalau Fiza udah dilamar orang? Yang berarti nggak bisa dilamar orang lain lagi. Lebih baik kamu pulang!”

“Kata Fiza, bunda hanya ingin melihat kesungguhan saya. Ini saya sungguh-sungguh untuk anak Bunda.” Aidan membuka map yang dari tadi ia bawa, “saya bawa data investasi yang selama ini saya bilang.”

Baru saja pemuda ini akan menunjukan data-data yang dia punya. Ismi sudah menolak untuk melihat semua itu.

“Sudah sana pulang! Saya mau pergi pengajian. Saya menolak lamaranmu. Anak saya sudah punya calon suami.”

Setelah berkata seperti itu Ismi lekas mengunci pintu rumahnya. Wanita ini tidak menghiraukan Aidan lagi. Ia melangkah pergi begitu saja.

“Bunda!”

Panggilan dari Aidan pun tidak ia tanggapi. Lelaki ini menutup map-nya. Kemudian melangkah dengan kesal balik ke mobilnya.
Sebelum menyalakan mesin mobil kembali. Aidan mengirim pesan pada Fiza.


Aidan
Aku sudah ke rumahmu dan apa yang aku dapat? Penolakan dari Bunda. Bundamu itu memang tidak suka dengan aku. Ini bukan salahku lagi. Mungkin kita memang harus putus.


Aidan menekan tombol send dan terkirimlah pesan itu ke handphone Fiza. Lelaki ini menyalakan mesin mobil, lalu pergi meninggalkan halaman rumah Fiza.




•••


Note:

*Henteu: tidak





03 mei 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang