25. Fiza Tidak Datang

220 10 0
                                    

“Ilham! Ilham tunggu!” panggilan dari Marisa membuat sang empunya nama berhenti, lalu menoleh ke belakang.

Baru saja Ilham dan Suster yang berdiri di sebelahnya akan memasuki ruang rawat pasien. Sekarang waktunya Dokter tulang itu mengecek kondisi pasiennya.

Namun, karena ke datangan Marisa, ia urungkan. Ilham menatap gadis itu dengan lekat seakan bertanya untuk apa memanggilnya.

Marisa melirik suster di sebelah Ilham, “Maaf Dokter Ilham.” Ia mengoreksi kalimatnya. “Saya ingin berbicara sebentar.

“Mau ngomong apa? Silakan!” ujar Ilham yang siap mendengarkan.

“Bisa ikut saya ke sebelah sana?” Marisa menunjuk tempat yang dia inginkan, “berdua saja.”

Ilham melihat Wulan yang ada di sampingnya, “tunggu sebentar di sini ya, Wulan!”

“Baik, Dok.” Wulan patuh saja.

Ilham melangkah menjauh dengan Marisa. Sekarang mereka berada di tempat yang gadis itu tunjuk. Sedikit jauh jaraknya dari tempat Wulan berdiri. Tidak bisa suster itu untuk menguping.

“Saya mau minta maaf atas kejadian kemarin. Maafkan saya, Ilham.”

Beberapa detik Ilham bergeming. Mencoba mencerna kalimat temannya ini.

“Harusnya kamu nggak mengucapkan itu! Itu nggak sopan. Saya dan Fiza saling mencintai atau nggak itu bukan urusanmu,” jawab Ilham tegas.

“Saya cuma nggak pengen kamu berusaha mencintai dia, tapi bagi dia pernikahan kalian hanya beban,” ujar Marisa dengan suara dikecilkan hingga jadi tertekan.

Ilham diam lagi. Dia memang tidak terpikir sampai sana. Lelaki ini sadar kalau Fiza memang menerima perjodohannya terpaksa, tetapi ia lupa apa Fiza akan berubah mencintainya. Seperti ia yang sedang berusaha meyakinkan hati untuk istrinya itu.

“Ini bukan ranah kamu lagi, Sa. Kamu sudah terlewat batas. Pembahasanmu itu rumah tangga saya. Cukup saya dan Fiza yang memikirkannya. Kamu nggak usah ikut campur.”

“Saya begini karena saya cinta kamu, Ham.”

Pernyataan Marisa membuat Ilham terkejut. Pria itu jadi teringat ucapan Fiza kemarin sesudah Dokter perempuan itu pergi dari rumah mereka.

Dia itu suka sama A'a. Walau dia bilang nggak suka lagi karena A'a sudah menikah, itu semua bohong. Saya bisa lihat dari kedua matanya.”

Marisa menunduk malu, “maaf saya jadi harus berterus terang.”

“Hapus perasaanmu!” ucapan Ilham membuat Risa kembali mendongak, “nggak pantas menyukai seseorang yang sudah memiliki istri.”

Setelah itu tanpa pamit Ilham kembali ke sisi Wulan. Kemudian kedua orang itu menghilang di balik pintu ruangan pasien.

Marisa meratapi perginya Ilham. Ia menggepalkan sebelah tangannya, kesal dengan perasaannya sendiri yang tidak bisa ia kendalikan.

“Aku sudah coba hapus rasa itu, Ham. Perasaan itu sudah hilang sejak beberapa tahun lalu. Ketika bertemu dan tatap muka lagi sama kamu. Cinta itu balik lagi,” gumam Marisa di dalam kesendiriannya.


•••


Ilham membuka pintu ruangannya. Tersenyum ramah pada pasien terakhir yang ia periksa.

“Rutin terus minum obatnya ya, Pak! Jangan lupa makan yang banyak mengandung protein, makan sayuran dan buah juga agar pemulihan tulangnya cepat stabil. Sementara kurangi konsumsi garam dan kopi. Kalau bapak merokok. Itu sementara juga hindari!” Ilham berpesan pada pasiennya.

“Iya, Dok. Hatur nuhun.” Bapak sekitar 50 tahunan itu perlahan keluar dari ruangan bersama seorang wanita yang menemaninya.

Setelah pasiennya benar-benar pergi. Ilham kembali menutup pintu. Ia membereskan meja kerja yang sedikit kacau. Kemudian mengambil handphone yang ada di atas meja.






Ilham
Pulang dari Butik kamu bisa menemui saya? Saya tunggu di restoran kencana. Saya ingin mengajakmu makan malam berdua.



Selesai mengetikan beberapa potong kalimat lelaki ini mengirimnya pada sang istri. Tiba-tiba saja ide agar bisa lebih dekat dan saling mengenal itu terlintas di otaknya. Semoga Fiza yang sudah putus dengan Aidan bisa perlahan membuka hatinya untuk Ilham. Itu harapan Dokter ini.

Ilham menyimpan ponselnya ke dalam tas. Kemudian melepas jas putih yang ia pakai. Lantas setelahnya pemuda itu segera pergi meninggalkan rumah sakit.

Ilham sudah menunggu satu jam. Namun, batang hidung gadis itu belum juga terlihat. Padahal Fiza keluar dari butik pukul empat sore.
Pria ini melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan. Ia terus mencoba berpikir positif tentang istrinya itu.

“Mungkin dia terjebak macet. Ini ‘kan jam-jam orang pulang kerja.”

Ia mencoba menunggu lagi. Hingga tidak terasa azan magrib telah berkumandang. Fiza juga tidak datang. Ilham menghela napasnya panjang. Pria itu membayar minuman yang telah ia pesan. Kemudian pergi dari sana.

Sebelum pulang Ilham pamir ke masjid untuk salat terlebih dulu. Sekarang mobil hitam miliknya sudah masuk ke halaman rumah. Ada sedikit rasa kecewa dan kesal dari raut wajahnya.

“Assalammulaikum.”

“Waaalaikumsalam.” Ratna membukakan pintu untuk anak sulungnya itu, “kok tumben pulangnya malam? Pasiennya lebih banyak?”

Ilham mencium punggung tangan ibunya, “nggak, Mi. Tadi Ilham pergi dulu sebentar. Fiza mana?”

Ratna menoleh ke belakang, lalu menatap Ilham lagi.

“Setahu Umi ada di kamarnya. Mau Umi panggil buat makan malam eh kamu udah gedor-gedor pintu aja. Jadi, Umi bukakan untukmu dulu.”

“Oh begitu, biar Ilham aja yang beritahu.”

Ratna mengangguk. Ilham kemudian melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Ibu dua anak ini kembali menutup pintu rumah.

Ketika memasuki kamarnya Ilham melihat Fiza sedang memainkan handphone. Ia meletakkan jas dan tas ke meja kerja.

“Kamu nggak terima pesan dari saya?” tanya Ilham tanpa menatap Fiza.

“Terima, udah dibaca juga.” Mendengar itu pria ini menoleh pada istrinya.

“Kenapa nggak datang? Kamu tahu saya sudah menunggu lama.”

Fiza menurunkan ponsel dari depan wajahnya. Ia menatap ke arah Ilham.

“Untuk apa? Agar kita lebih dekat? Saya dari awal nggak mau dekat dengan A'a. Saya masih kesal dengan Aidan, perjodohan ini, dan semua tentang A'a.”

“Kamu tahu, saya juga nggak suka tiba-tiba dijodohkan sama orang yang nggak saya kenal. Namun, saya mencoba menerimanya. Mencoba mencintai kamu. Saya sisihkan waktu untuk mengenalmu lebih dalam. Ternyata kamu menolak. Kalau Abi nggak punya penyakit jantung saya sudah akhiri aja semua ini.”

Fiza bergeming. Ilham menggulung lengan kemeja dan berjalan mendekati lemari.

“Kamu disuruh Umi untuk makan. Cepat temui Umi biar dia nggak curiga!”

Gadis yang duduk di kasur ini menatap punggung suaminya. Ilham berbicara dengan memunggungi Fiza. Setelah mengambil pakaian lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi.

Sekarang Fiza merasa bersalah. Di kepalanya berputar banyak pertanyaan. Apa ucapannya berlebihan? Apa dia sudah menyakiti hati Ilham? Ia takut laki-laki yang mempunyai senyum manis itu tidak mau lagi tersenyum padanya.

Fiza sedikit membanting handphone-nya ke kasur. Kemudian bangkit dan keluar dari kamar. Wanita ini benar-benar menghampiri Ratna dan keluarga di meja makan.




•••






Terima kasih sudah membaca cerita ini 🙏🏻❤





14 mei 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang