06. Bertemu Calon Suami

257 19 1
                                    

Sinar mentari di pagi yang sejuk ini masuk dari sela-sela ventilasi jendela kamar Fiza. Sudah satu minggu dari kejadian tangannya yang cedera itu. Gadis ini bebas menggerakkan tangannya sekarang.

Ismi yang menyembulkan setengah tubuhnya ke dalam kamar anak tunggalnya itu menggeleng pelan. Padahal tadi malam sudah berpesan kalau disuruh siap-siap dari pagi. Namun, sampai sekarang masih tertidur pulas.

Wanita yang sudah rapi dengan gamis dan hijam kebanggannya ini berjalan masuk ke dalam kamar. Ismi berdiri di samping Fiza.

“Bangun, Za! Sudah jam 7 ini. Bunda ‘kan kemarin bilang sama kamu kalau kita akan pergi.”

Fiza bergerak sedikit saat tubuhnya Ismi guncang. Namun, matanya belum juga terbuka.

“Ayo, Za! Nanti kita kesiangan sampai di sana.”

“Sebentar lagi, Bun. Jarang-jarang bisa libur begini,” jawab Fiza dengan suara serak khas orang bangun tidur.

“Memangnya kamu kurang puas libur saat tanganmu itu sakit? Ayo, Za!” Ismi terus berusaha membangunkan anaknya.

Gadis ini masih dalam pendiriannya. Ia tetap saja menutup mata dan seolah tidak mendengar suara bunda. Ismi menghela napas, kemudian berjalan ke sisi jendela besar. Ia simbahkan gorden hingga seluruh cahaya matahari menerpa wajah Fiza.

“Bunda!” rengek Fiza lantas menutup wajahnya dengan guling. Ismi tertawa setelah apa yang ia perbuat, “ayo bangun! Bunda tunggu 15 menit di bawah.”

Wanita paruh baya itu berjalan keluar kamar. Fiza mendengus melihat bunda sudah menghilang di balik pintu.

Sudah 20 menit, tetapi Fiza belum juga turun dari kamarnya. Akhirnya toa permanen milik Ismi menggema lagi di dalam rumah.

“Fiza! Cepat, Nak!” teriak Ismi dari ruang tamu.

Dengan tergesa-gesa sambil memakai jam tangannya gadis yang dipanggil itu melangkah turun dan lekas menghampiri Ismi.

“Sebenarnya kita mau ke mana sih, Bun? Dari tadi malam Bunda nggak mau kasih tahu Fiza. Harus banget gitu Fiza ikut?”

Ismi yang duduk di atas sofa segera berdiri. Ia menatap Fiza yang masih merapikan rambutnya dengan jari-jari.

“Kamu nggak usah banyak tanya. Tugasmu antar Bunda saja ke mana pun yang Bunda mau.” Kemudian Ismi melangkah keluar dari rumah lebih dulu.

Kening Fiza berkerut. Tumben sekali ibunya itu main rahasia-rahasian. Gadis ini lekas menyusul Ismi. “Jadi Fiza diajak cuma untuk jadi sopir Bunda aja?”

Wanita itu tidak menjawabnya. Ia menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tawa.

“Habis ini belok kanan bukan?” tanya Fiza menoleh sekilas ke sampingnya.
Ismi memperhatikan jalan, “sebenarnya Bunda baru pertama kali ke sini. Kalau kata teman Bunda dari pertamina lurus aja sampai ketemu tugu terus belok kiri. Nanti masuk ke kompleks perumahan Bunga Asri.”

Oke, kalau kita nyasar ini salah Bunda.” Fiza masih fokus pada jalan dan kemudi mobilnya.

“Kok Bunda sih? Tapi Bunda yakin kita nggak nyasar.” Mobil kecil berwarna merah milik Fiza ini sudah masuk ke dalam kompleks perumahan, “itu nomor 34 rumah cat Abu-abu putih.”

Ismi begitu antusias berhasil menemukan rumah sahabatnya. Dia juga berhasil membawa Fiza untuk ikut tanpa gadis itu tahu kalau ia akan dikenalkan pada calon suaminya. Mobil mini bermuatan empat orang ini menepi dan berhenti di samping rumah yang dimaksud Ismi.

Wanita itu menolehkan tubuhnya ke belakang, lalu mengambil parsel yang sebelumnya mereka beli di jalan. Kalau tidak membawa buah tangan kurang sopan menurut Ismi.

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang