30. Liciknya Marisa

240 18 2
                                    

“Fiza?” Marisa menunjuk wanita di hadapannya, “kenapa kamu bisa di sini?”

Fiza tersenyum, “ini tempat kerja saja. Kebetulan baju-baju di sini saya yang desain, Dok”

“Oh jadi ini kamu yang desain?” Marisa seolah-olah baru mengetahui semuanya. Padahal Ilham sudah banyak bercerita tentang Fiza padanya, “kok pada norak ya?”

Teh Kalina menatap Fiza saat ucapan tidak menyenangkan hati itu dilontarkan oleh Dokter itu.

“Maksudnya apa ya? Baru Dokter yang bilang desain saya norak. Selama ini nggak ada customer yang protes soal model pakaiannya. Tolong jaga ucapan Teteh. Bukannya Teteh seorang dokter yang berpendidikkan tinggi. Jangan rusak citra orang berhijab!” Teh Kalina sudah memegang kedua lengan Fiza. Takut-takut gadis ini menyerang.
Marisa menghela napas, “saya cuma menyampaikan pendapat saya. Kamu jangan nyolot gitu dong!”

“Tapi pendapat Anda nggak masuk akal. Padahal modelnya bagus dibilang norak. Penilaian palsu dari Teteh bisa menjelekkan butik bos saya. Kalau punya dendam sama saya jangan bawa-bawa pekerjaan saya!”

Marisa terlihat sewot dan ia mengembalikan pakaian yang ada di tangannya.

“Saya nggak jadi belanja di sini.”

“Ya sudah pergi sana! Kami juga nggak mengharapkan pelanggan kayak Teteh.” Usir Fiza pada wanita itu.

“Nggak menyangka istrinya Ilham begini sifat yang sebenarnya. Ilham sudah salah memilih istri,” ujar Marisa sebelum berjalan keluar butik.

Tiasa nateh nyarios weh! Gelut weh ngen kadieu!” teriak Fiza yang tubuhnya masih ditahan-tahan Teh Kalina.

“Sabar, Fiza!”

Marisa tidak menjawab lagi. Ia terus berjalan keluar butik. Dia memang tidak ingin meneruskan perdebatan itu dan juga tak mengerti dengan perkataan Fiza.

“Habisnya itu katanya Dokter, tapi kelakuannya begitu. Bikin emosi aja.”

“Benar, Teh. Saya juga emosi ngelayanin dia,” timpal Alika yang memagang banyak baju di tangannya.

Teh Kalina melepas pelukannya dari Fiza. Sekarang gadis itu lebih stabil emosinya.

“Kamu ada masalah pribadi sama dia? Kayaknya emosimu bukan karena desainmu diejek dia aja,” tanya Teh Kalina hati-hati.

“Dia itu temannya suami saya, Teh. Dia suka sama A'a Ilham, tapi nggak mau ngaku.”

“Oh begitu, kalau begitu kamu harus lindungi suamimu. Kamu cinta ‘kan sama Ilham?”

Ditanya seperti itu oleh bosnya ini, Fiza merasa bingung sendiri. Perasaannya saja belum jelas. Cuma ia tidak suka saja kalau Marisa mendekati suaminya. Apa bisa itu disebut cinta?





•••




Fiza bersama Zahra sedang mengerjakan tugas kampus di teras rumah. Lebih tepatnya Fiza membantu adik iparnya ini.

Kebetulan sekali Zahra mengambil jurusan tata busana. Sejurusan saat ia duduk di bangku universitas dulu.
Zahra terlihat tambah akrab dengan Fiza. Dengan senang hati Fiza menunjukan data mana yang harus adiknya itu lampirkan ke makalah yang akan dibuat.

“Enak ternyata kalau punya Teteh yang satu jurusan kuliahnya sama Zahra. Makasih ya, Teh. Maaf, kalau selama ini Zahra selalu sinis sama Teteh,” ucap gadis berkerudung itu dengan disertai tawanya.

“Iya, sama-sama, Zah. Nggak apa-apa Teteh udah biasa disinisin orang. Teteh juga suka sinis sih.” Fiza ikut tertawa, “Kamu udah Teteh anggap kayak adik kandung Teteh. Jadi, kalau ada pelajaran yang kamu nggak bisa. Tanya Teteh aja.”

“Siap!” Zahra memberi hormat, lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.

Fiza menoleh saat mendengar suara mobil Ilham memasuki halaman rumah. Beberapa hari ini Ilham selalu pulang sore. Mungkin, pasiennya yang banyak.

Ilham keluar dari mobilnya. Lelaki itu berjalan mendekati Fiza dan Zahra yang ada di teras dengan membawa tas kerja. Pria itu tidak memakai jas dokternya lagi.

“Fiza saya mau ngomong sama kamu!”

Ucapan Ilham membuat gadis yang dipanggil itu mendongakkan kepalanya.

“Mau ngomong apa, A? Ngomong aja di sini! Saya masih membantu Zahra mengerjakan tugasnya.”

Pria berkemeja biru muda itu menoleh ke Zahra. Kebetulan adik perempuannya itu juga melihat padanya.

“Nggak bisa di sini. Saya ingin bicara empat mata sama kamu.” Ilham mengambil sebelah tangan Fiza, “ayo ikut saya!”

Lelaki itu menarik Fiza untuk memasuki rumah. Fiza sempat bersikeras tidak mau mengikuti ucapan Ilham. Namun, Ilham terus memaksa. Dari pada harus ribut dan terdengar oleh kedua mertuanya. Fiza pasrah di tarik menuju kamar.

Zahra penasaran dengan apa yang ingin kakaknya itu sampaikan. Soalnya yang ia lihat Ilham seperti marah. Ilham jarang sekali marah. Jika ia marah akan terlihat jelas perbedaannya. Gadis remaja itu lekas membereskan peralatannya yang ada di meja. Kemudian berlari kecil masuk ke rumah.

Sampai di dalam kamar Ilham mengunci pintunya. Ia meletakkan tasnya lebih dulu.

“Ada apa sih, A?” tanya Fiza yang penasaran. Ilham telah melepas genggaman di pergelangan istrinya itu.

“Saya mau bertanya. Kenapa kamu membentak-bentak Risa di butikmu? Risa ke sana hanya untuk berbelanja. Kamu nggak suka sama dia?”

Dahi Fiza berkerut. Ia berpikir Ilham pun dihasut wanita licik itu. Benar-benar keterlaluan. Zahra sambil memeluk laptop dan alat tulisnya menempelkan telinga ke pintu kamar kedua kakaknya.

“Dek, kamu lagi apa? Nguping ya kamu? Nggak baik tahu!” tegur Umi yang melihat aksi anak bungsunya.

A'a marahin Teh Fiza, Mi. Zahra penasaran aja, kenapa Teh Fiza bisa kena marah? Dia salah apa?” jelas Zahra dengan suara berbisik agar tidak terdegar orang yang ada di dalam.

“Benar kamu?” Zahra mengangguk saja dan meneruskan kegiatan mengupingnya, “Umi jadi penasaran.”

Ratna berdiri di sebelah Zahra. Ia ikut mendengarkan perdebatan suami-istri itu.

Fiza tertawa, “jadi dia udah ngadu sama A'a? A'a percaya?”

“Dia bilang seperti itu sambil menangis di depan saya. Mana mungkin dia berbohong.”

Gadis ini tambah tertawa sambil memegang perutnya sekarang. Sakit sekali perut Fiza tertawa terus karena mendengar ucapan suaminya. Dahi Ilham menjadi berkerut.

“Saya nggak lagi ya! Kamu bisa serius nggak?” sekarang Ilham berusaha tegas dengan Fiza.

Gadis yang rambutnya dicepol itu mulai berhenti tertawa, “sabar-sabar! A'a kalau mendengar cerita itu jangan dari salah satu pihak aja. Coba dengar penjelasan saya dulu.”

“Silakan, kamu jelasin!” Ilham mulai menurunkan volume suaranya lagi.

“Jadi tadi siang Teh Marisa datang ke butik untuk belanja, tapi ia bilang model di butik tempat saya kerja itu pada norak. Kemudian dia menjelekkan desain yang saya buat. Terus bilang kalau saya nggak benar. A'a sudah salah pilih istri. Sebenarnya dia yang ngajak berantem. Kalau A'a nggak percaya bisa tanya Teh Kalina atau Alika. Di butik juga ada CCTV. Kita bisa lihat kejadian tadi siang.”

“Nggak usah, saya percaya sama kamu.” Ilham mengalihkan pandangannya, “kenapa Marisa bisa memutar balikan fakta begini?”

Ilham menatap gadis yang lebih rendah darinya ini, “Dia datang ke saya dengan menangis dan menceritakan omong kosong itu. Maaf saya sempat berbicara dengan nada tinggi ke kamu.”

Fiza tersenyum tipis, “nggak apa, A'. Kalau menurut saya dia itu suka sama A'a. Dia benci dengan pernikahan kita.”

Ilham jadi teringat saat Marisa menyatakan perasaannya. Ia kira gadis itu telah melupakan rasa cintanya dan menganggap Ilham hanya sebagai teman.

“Saya kamu benar.” Ilham mengulurkan satu tangannya ke arah wajah Fiza. Gadis itu mendadak tegang dan gugup. Namun, belum sampai tangan besar itu menyentuh pipi Fiza. Suara dari pintu kamar mereka membuat perhatian dua orang itu teralihkan.

“Umi, jangan geser-geser terus dong. Zahra nggak bisa dengarnya ini,” protes gadis itu dengan suara dikecilkan.

“Umi juga nggak kedengaran ini.”
Pintu pun Ilham tarik ke dalam. Zahra dan Ratna yang asyik menguping itu terkejut.

“Umi sama Zahra lagi apa?” tanya Ilham yang juga terkejut dengan adanya dua orang itu di depan kamar.

“Coba cari di sana, Za! Kayaknya bros Umi jatuhnya di sekitar sini.

“Bentar, Mi. Ini Zahra lagi cari.”

Bukannya menjawab pertanyaan Ilham. Ratna dan Zahra berpura-pura mencari barang. Ulah mereka membuat Fiza tertawa kecil.



•••



Note:

*Tiasa nateh nyarios weh! Gelut weh ngen kadieu! : bisanya ngomong aja! Sini gelut aja kita!





Terima kasih sudah membaca cerita ini 🙏🏻❤





18 mei 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang