10. Mempengaruhi Bunda

227 12 0
                                    

Ilham berjalan pelan menyusuri koridor rumah sakit. Fiza sudah pulang dari 15 menit yang lalu. Sekarang pria ini melangkahkan kakinya yang terasa berat. Sesekali ini mengusap perut buncit. Dia terlalu kenyang dan merasa ingin muntah.

Lelaki ini menjatuhkan bokongnya ke kursi tunggu. Mengatur napas dengan kepala mendongak dan mata terpejam. Ilham terpaksa menghabiskan semua makanan yang Fiza bawa. Ia tidak ingin mengecewakan gadis itu.

Seorang suster mengenali Ilham dan menghampirinya, "Dokter Ilham, anda nggak apa-apa?"

Sang empunya nama terkejut hingga menegakkan tubuh dan membuka matanya. Ilham menggeleng cepat.

"Saya nggak apa-apa, Sus." Pria ini tersenyum, lalu seperkian detik wajahnya berubah masam. "Cuma saya kekenyangan."

Suster itu menutup mulutnya dan berusaha menahan tawa. "Saya kira tadi Dokter perlu bantuan tenaga medis. Syukurlah, Dokter sehat aja."

"Tenang aja, saya nggak apa-apa." Ilham mencoba bersikap biasa saja.
"Kalau begitu saya permisi, Dok." Ilham hanya mengangguk saja, lalu Suster itu pergi dari hadapannya.

Ilham mengehela napas legah. Akhirnya dia bisa sedikit merenggangkan urat-uratnya di kursi itu. Kebetulan koridor tempat Ilham istirahat sepi.

Di jalan menuju rumahnya, Fiza masih menyetir mobil kesayangan sambil sesekali menoleh pada rantang yang ia letakkan di jok sebelahnya.

"Nggak nyangka saya, kamu bisa ngabisin makanan buatan Bunda. Padahal udah makan siang." Fiza tertawa pelan, "apa sekarang perutnya sudah meletus?"

Sepanjang jalan Fiza hanya memikirkan Ilham. Resiko-resiko yang akan Dokter itu alami membuat gadis ini tertawa sendiri. Hingga tindakan seseorang membuatnya mengerem mendadak.

"Astagfirullah!" Mata Fiza sampai seperti ingin melompat keluar karena kelakuan Aidan yang tiba-tiba saja menghadang mobil Fiza yang akan masuk ke halaman rumah. Ia membuka jendela mobil, lalu mengeluarkan kepalanya. "Kamu apa-apaan sih? Kalau ketabrak bagaimana?"

"Yang penting aku nggak ketabrak 'kan?" Aidan berjalan mendekati mobil gadis itu, "aku mau ngomong sesuatu ke kamu. Keluar dulu!"

Fiza menarik kepalanya masuk kembali. Menghela napas, lalu membuka pintu mobilnya. Aidan bergeser sedikit saat Fiza perlahan keluar.

"Mau ngomong apa sih?" Fiza melihat ke arah pintu rumahnya, "cepat sebelum Bunda liat kamu ada di sini!"

Aidan ikut melihat ke arah pintu, "Biarin aja, memangnya kenapa?"

"Nanti Bunda bisa marah sama kamu dan aku. Bunda itu tahunya kita sudah putus, tapi kita 'kan memang udah putus. Kamu mau apa lagi?"

"Sepertinya kamu nggak ada sedih-sedihnya kita berpisah. Kamu senang 'kan dijodohkan sama laki-laki itu?" tanya Aidan menatap garang ke arah Fiza.

"Aku nggak senang! Yang aku mau itu kamu, tapi kamu nggak bisa meluluhkan hati Bunda hingga dia memintaku untuk menikah dengan pria yang lain. Dan kamu masih mau menyalahkan aku?" Fiza menunjuk-nunjuk dadanya.

"Terus kenapa kamu nggak mencoba bilang ke bunda agar perjodohan itu batal?" tanya Aidan volume suaranya mulai menurun.

Fiza menyugar rambutnya dengan kedua tangan. Ia bingung harus bagaimana lagi menyikapi Aidan.

"Kamu coba yang usaha! Aku udah selalu menolak perjodohan ini yang ada Bunda jadi sakit. Coba kamu tunjukan keseriusanmu itu pada keluargaku!" Gadis itu menunjuk rumahnya sambil berbicara dengan wajah yang agak memerah.

Aidan mengembuskan napas berat. Melangkah lebih dekat ke depan Fiza, "besok aku akan datang lagi ke sini. Aku akan melamarmu!"

Emosi Fiza yang memuncak mulai mereda. Ia menghela napas lega. Bibirnya menunjukan seulas senyuman.

Lelaki usia 25 tahun ini menangkup pipi Fiza, "tapi kita nggak putus 'kan?" Gadis itu mengangguk sambil tersenyum lebar.

•••


Fiza melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas coklat hangat. Entah mengapa sejak Ilham memberikan ia minum itu rasanya ingin merasakannya ulang. Walau Fiza mengakui buatan Ilham lebih enak dari miliknya ini.

Ismi sedang melipat baju sambil menonton sinetron kesayangannya. Fiza ikut bergabung di sana.

"Bagaimana Za tadi bertemu Ilham? Dia suka nggak masakan Bunda?" Ismi merubah posisi duduknya menghadap sang putri.

Fiza yang duduk bersila di atas sofa sambil sesekali menyeruput minumannya, menggelengkan kepala.

"Nggak, Bun. Katanya biasa aja. Enakan makanan Uminya." Gadis ini sengaja berbohong agar nama Ilham di mata Ismi buruk. Padahal aslinya Ilham terus-terusan memuji masakan itu disaat menyantapnya.

Ismi cemberut. Wanita itu sedikit kecewa saat mendapatkan jawaban yang kurang enak. Fiza yang berhasil mengelabui ibunya tersenyum sambil menyesap coklat hangat.

Untung saja saat itu Ismi sedang tidur ketika Fiza sampai di rumah. Hingga wanita itu tidak melihat isi rantang yang kosong dan tidak mengetahui kedatangan Aidan. Semua berjalan lancar.

"Saran Fiza, Bunda nggak usah deh masak dan kirim makanan lagi buat Dokter itu!"

"Dia makan masakan Bunda?"

"Makan, tapi cuma sedikit. Terus dia tutup lagi." Fiza terus berusaha membuat Ismi tidak terima atas tindakan Ilham.

"Mungkin itu bukan makanan favorit dia. Kamu tahu makanan kesukaannya?"

Fiza mengedikkan kedua bahunya, "Mana Fiza tahu. Fiza nggak pernah nanya. Ketemu aja baru beberapa kali."

"Coba kamu telepon, SMS, atau Chatting!" suruh Ismi menyelesaikan lipatan terakhir pakaiannya.

"Fiza nggak ada nomornya, Bun." Fiza bersandar di sofa dengan mata melihat ke televisi.

"Minta dong! Kamu ini bagaimana colon istri, tapi nggak punya nomor handphone calon suaminya."

Mendengar calon suami saja Fiza sudah mual dibuatnya. Ismi melihat anaknya itu menjulurkan lidah.

"Eh Fiza! Kamu kenapa begitu? Kamu durhaka ya sama Bunda?"

Fiza menoleh, lalu meletakkan gelasnya ke atas meja. "Maaf Bunda, Fiza nggak bermaksud. Cuma Fiza nggak suka dijodohkan."

"Bukannya kamu sudah setuju?" Tanya Ismi lagi.

Fiza mengangguk saja. Sebenarnya dia belum menerima sepenuh hati. Namun, mau bagaimana lagi? Fiza tidak ingin menjadi batu seperti malin kundang, karena durhaka kepada ibunya.

"Begitu, nurut aja sama orang tua. Besok kamu harus punya nomor Ilham bagaimanapun caranya!" Wanita paruh baya ini perlah berdiri dan mengambil pakaian yang sudah ada di dalam keranjang.

"Bunda!"

Ismi yang ingin beranjak pergi menoleh, "Ada apa?"

"Besok bunda ada waktu 'kan?"
Dahi Ismi berkerut, "Memangnya kamu mau ajak Bunda ke mana?"

"Nggak mau ngajak ke mana-mana sih, Bun. Ada yang mau datang ketemu sama Bunda besok siang. Bunda bisa 'kan?" Fiza takut-takut bicara pada Ismi.

"Siapa yang mau datang?"

"A-Aidan."

Tidak menjawab apapun wanita yang memegang keranjang pakaian ini pergi ke arah dapur. Ingin meletakkan pakaian itu di ruang setrika.




•••








1 mei 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang