Ilham baru saja keluar dari ruang rawat pasiennya. Habis mengecek kondisi perkembangan para pasien.
"Udah semua 'kan, Lan?" tanya Ilham pada suster yang terus mengikutinya.
Wulan mengecek buku catatannya, "sudah, Dok. Tiga hari lagi mengecek kondisinya Pak Mamat."
"Baiklah, saya mau balik ke ruangan dulu." Wulan mengangguk. Setelah itu Ilham pergi meninggalkannya.
Pria ini melepas stetoskop yang masih menggantung di lehernya. Ia simpan ke jas dokternya. Langkah Ilham terhenti saat berpapasan dengan wanita berhijab.
"Eh, kebetulan kita ketemu di sini," ucap wanita itu. Di tangannya ada kotak bekal.
Ilham tersenyum, "ada apa, Sa?"
Itu Marisa berusaha membuat Ilham terus terkesan padanya. Ia harus lebih memerhatikan lelaki itu agar ia bisa diperhatikan pula oleh Ilham.
"Saya bawa makan siang lagi." Marisa mengangkat kotak bekalnya, "ayo makan siang bersama!"
"Kamu masak banyak lagi?" tanya Ilham yang membuat Marisa tertawa canggung.
"Begitu deh, ayo kita makan di mana?"
"Hm, di ruangan saya aja. Kebetulan pengin ke sana. Saya harus menyimpan alat-alat ini." Ilham memperlihatkan alat-alat kedokteran yang dia bawa.
"Ya sudah, nggak masalah."
Mereka berjalan bersama. Sambil melangkahkan kaki Ilham memperhatikan Marisa. Melihat terus ke pakaian gadis itu.
Sedangkan di tempat lain. Fiza baru saja selesai memarkirkan mobilnya. Ia membawa makan siang juga untuk Ilham. Tadi ia sempat pulang dulu untuk mengisi rantang warna-warni ini dengan makanan.
Wanita ini sudah berubah pikiran. Dia mau belajar mencintai Ilham walau tidak akan secepat itu untuk jatuh cinta. Setidaknya ia telah berdamai dengan hatinya.
Senyum juga tidak luntur dari bibir Fiza selama berjalan menyusuri lorong rumah sakit.
Namun, saat berpapasan dengan Ilham dan Marisa senyuman itu seketika luntur.
"Fiza?" gumam Marisa yang membuat Ilham menoleh pada istrinya.
Mereka sama-sama berhenti di depan pintu ruangan Ilham. Mata Fiza tertuju pada kotak bekal yang Risa bawa.
"Fiza ada apa ke sini?" tanya Ilham membuat Fiza menatapnya.
"Saya bawa makan siang untuk A'a, tapi sepertinya sudah ada yang membawakan."
Dahi lelaki itu mengerut. Pandangannya tertuju pada makanan yang Marisa bawa. Ia berganti melihat rantang istrinya.
Marisa tertawa pelan, lalu berkata, "iya ini kebetulan saya mau ajak Ilham makan bersama. Karena ada kamu juga bagaimana kalau kita makan bertiga aja." Dokter itu mencoba beramah tamah pada Fiza.
Fiza mana bisa bersikap baik pada orang yang tidak dia suka. Ia tak bisa berpura-pura.
"Kalau begitu saya pulang aja." Fiza memutar tubuhnya. Rasanya sesak sekali dada gadis ini.
Fiza segera melangkah meninggalkan kedua Dokter itu. Bisa tidak tahu ini perasaan apa. Namun, ia tidak suka saja Marisa yang mengakui menyukai suaminya itu terus menempel di sebelah Ilham.
"Fiza tunggu!" teriak Ilham, lalu lekas mengejar istrinya.
Marisa jadi kesal melihat itu. Ia tidak suka dengan Ilham yang perhatian ke Fiza.
Pria ini berhasil menangkap sebelah tangan istrinya saat sampai di teras rumah sakit.
"Lepasin saya mau pulang!" Fiza memberontak.
"Kamu boleh pulang, tapi..." Ilham meraih rantang pembawaan gadis itu, "makanannya jangan dibawa pulang!"
Pria ini kembali melepaskan tangan Fiza setelah rantang itu beralih tangan. Tindakkan lelaki itu membuat gadis ini malah diam di tempatnya.
"Terima kasih, istriku. Nanti saya makan bekalnya." Ilham tersenyum.
Mendengar itu jantung Fiza berdebar dua kali lebih cepat, pipinya berasa panas, dan ia lekas membelakangi Ilham sambil menutupi kedua pipi yang memerah. Malu kalau sampai pria itu melihatnya.
"Kamu kenapa Fiza?"
Fiza menggeleng, "assalalmmualikum." Kemudian ia berlari menuju mobil yang ada di parkiran tanpa menoleh ke Ilham lagi.
"Waalaikumsalam," gumam Ilham melihat aneh pada istrinya.
Ilham kembali ke dalam rumah sakit. Ternyata Marisa masih menunggu di depan pintu ruangannya. Gadis itu lekas berdiri lagi saat melihat Ilham.
"Maaf Marisa, saya akan memakan pembawaan Fiza. Nggak apa 'kan?" Marisa terdiam, "kita tetap makan siang bersama. Bagaimana?"
Karena tidak enak hati Ilham tetap mengajak wanita ini untuk makan di ruangannya dengan memakan bekal masing-masing.
•••
Fiza sedang sibuk di meja kerjanya. Butik lumayan ramai hari ini. Alika saya sampai tidak berhenti melayani pengunjung. Tiba-tiba Teh Kalina datang dengan membawa segelas kopi hangat. Wanita itu duduk di kursi kebesarannya sambil menikmati kopi.
Sesekali Teh Kalina melihat Fiza yang tampak serius, "Teteh pikir tuh ya, Za. Kamu setelah menikah akan berhenti bekerja. Apa lagi suamimu dokter. Uangnya pasti nggak berseri."
Mendengar ucapan bosnya. Fiza menoleh, "kalau nggak berseri nggak laku dong Teh buat dibelanjain."
"Bukan begitu juga maksudnya." Fiza tertawa pelan, "uangnya Ilham pasti 'kan banyak. Kamu nggak kerja juga pasti masih mencukupi kebutuhan."
Fiza berhenti mengerjakan desain barunya. Ia menatap Teh Kalina dengan serius.
"Si A'a nggak pernah larang saya buat kerja. Lagian saya sangat mencintai pekerjaan ini. Dulu dapat pekerjaan ini susah. Saya nggak mau ngelepasnya begitu aja, Teh."
"Kalau tiba-tiba suamimu melarang bekerja bagaimana?"
"Saya tetap nggak mau berhenti. Kalau perlu saya akan ngamuk-ngamuk dan berguling di tanah."
Teh Kalina mencebikkan bibirnya, udah kayak bocah."
Fiza tertawa dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Namun, ribut-ribut yang ada di depan membuat perhatian Teh Kalina tertuju ke sana.
Teh Kalina meletakkan cangkir kopi dan berdiri dari duduknya. Fiza yang melihat bosnya ini akan pergi bertanya, "mau ke mana, Teh?"
"Itu kayaknya ada customer yang perotes. Sebentarnya," ucap Teh Kalina dengan mata terfokus keluar. Ibu satu anak itu lekas melangkahkan kakinya menuju ruangan depan.
Fiza jadi ikut penasaran. Ia menyimpan pensil dan menutup jurnalnya terlebih dulu sebelum menyusul Teh Kalina.
"Ada apa ini?" tanya Teh Kalina pada pengunjung yang sedang marah-marah pada Alika.
"Saya mau model yang lebih bagus dari ini. Kenapa sih model pakaian di sini norak-norak. Kayaknya desainermu kurang up to date."
"Dokter Marisa?" gumam Fiza yang memperhatikan dari jauh.
"Maaf nona, pakaian yang anda pegang adalah pakaian yang palung laris minggu ini. Semua orang seusia nona sangat menyukainya."
"Kecuali saya ya. Perlihatkan yang lain!" perintah wanita berhijab itu.
Fiza menggelengkan kepalanya. Ia merasa tidak bisa diam saja. Gadis itu lekas berjalan menghampiri.
"Ah jelek semua modelnya." Marisa masih tidak menyukai pakaian-pakaian yang sudah Alika bawa.
"Maaf, Dok. Barang-barang di butik ini adalah Barang-barang yang up to date. Nggak akan ketinggalan zaman," ucap Fiza berusaha ramah pada wanita menyebalkan itu.
Marisa menoleh dan tampak dari ekspresinya ia terkejut dengan adanya Fiza.
•••
18 mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Allah
SpiritualSemua di dunia ini sudah ada takdirnya termasuk jodoh. ~~~ Paras cantik, pendidikan tinggi, dan karir sukses sudah berhasil Fiza raih diusianya yang sekarang menginjak 27 tahun. Umur yang sangat matang untuk seorang gadis menikah. Bahkan kebanyakan...