08. Tragedi Malam Itu

257 15 0
                                    

Fiza membuka kunci lemari kecilnya. Ketika pintu lemari itu terbuka hanya ada satu kotak kaleng di dalamnya. Lemari ini sudah bertahun-tahun tidak gadis itu utik-utik. Ia mengambil kotak kaleng bermotif micky dan minnie mouse ini.

Gadis yang berjongkok itu berdiri dan melangkah mendekati ranjangnya dengan membawa kotok kaleng. Ia menjatuhkan bokong ke atas kasur. Fiza membuka kotak kalengnya dan menampakkan selembar kertas yang sudah tersobek-sobek.

Fiza bergeser sedikit, menaburkan sobekan kertas di atas kasur dan menyusun kertas itu seperti puzzle. Ia tersenyum saat berhasil menyelesaikan susunan kertasnya. Terlihat gambar gaun pengantin di kertas putih itu. Gambar gaun yang nampak sederhana karena memang  Fiza membuatnya saat kelas 6 SD.

Gambar itu ia sendiri yang merobeknya. Bentuk kertas yang tersobek ini sama seperti hatinya waktu 14 tahun yang lalu. Impian pernikahan nuansa princess yang Fiza pikirkan saat ia kecil sirna dengan pertengkaran dari kedua orang tuanya.

“Kamu berani-beraninya membawa selingkuhanmu ke rumah kita?” tanya Ismi dengan nada tinggi.

Kilat menyambar hingga terdengar guntur besar menggelegar di langit. Perlahan bumi dibasahi oleh air yang berasal dari awan gelap.

“Memang apa salahnya? Ini rumah saya. Kamu nggak berhak mengatur-atur saya!” balas pria dengan kumis tipis yang menghiasi wajahnya dan tangan merangkul wanita cantik berpakaian seksi.

Saat itu Fiza kecil mengintip dari balik tembok. Wajahnya memucat karena ketakutan melihat orang tuanya bertengkar hebat.

“Saya sudah tahan selama ini kamu selalu bermain wanita, Kang. Kali ini saya nggak terima kalau kamu akan bermesraan di rumah ini. Bagaimana kalau Fiza melihat kelakuanmu itu?”

“Biar saja Fiza tahu dan kenal dengan Rosita. Dia akan menjadi ibu tirinya sebentar lagi,” jawab pria ini dengan begitu enteng.

Air mata Ismi sudah tumpah sedari tadi, “maksud kamu apa?”

“Memangnya ucapan saya ini kurang jelas? Dengar baik-baik wanita tua!” Pria bernama Agung itu menunjuk-nunjuk Ismi, “Rosita akan menjadi istri saya sebentar lagi.”

Tangis Ismi bertambah deras seiring lebatnya hujan malam itu. Ia menggelengkan kepala mendengar ucapan suaminya ini.

“Lalu...” ia berbicara sambil terisak, “saya mau kamu apa ‘kan, Kang? Saya ini istri kamu juga. Tolong kamu bertobat. Berubahlah demi anak kita, Kang.”

Agung memutar bola matanya jemu dengan perkataan Ismi yang dia anggap ceramah itu.

“Sudahlah kamu terima nasib saja! Kamu itu sudah tidak menarik, tua, dan selalu tidak mau saja ajak bermain keluar. Pemikiranmu terlalu kolot. Saya bosan di rumah saja seperti kamu.” Pria ini menyentuh dagu wanita bernama Rosita, “lihat Rosi! Dia masih muda, bersemangat, cantik, pintar menata dirinya di depan saya. Tidak seperti kamu, kusam!”

Padahal dilihat dari sisi mana pun Ismi masih terlihat muda sesuai dengan usianya. Ia juga terlihat cantik walau tidak bermake up. Rambut hitam panjang yang terkuncir itu membuatnya anggun. Sedangkan Rosita memang usianya jauh lebih muda dari Ismi maka itu kulitnya terlihat kencang dan berseri-seri.

“Kamu jahat Kang. Kamu jahat!” Ismi memukuli dada Agung sambil menangis, “Saya di rumah mengurus keperluanmu dan anak kita. kamu melarang saya berdandan karena kamu cemburuan. Sekarang kamu bilang saya tidak menarik karena nggak bisa merawat diri. Kamu egois! Memang kamu saja yang tukang selingkuh.”

“Apa-apaan ini.” Agung menepis tangan Ismi dengan kuat hingga istrinya itu terjatuh ke lantai.

Fiza yang masih melihat kejadian ini menangis. Ia ingin menolong bunda, tetapi ia takut dengan Ayahnya yang terlihat menyeramkan ketika itu.
Ismi merintih karena tangannya terasa sakit. Sedangkan suaminya itu seperti tidak peduli.

“Ingat Ismi surat perpisahan kita sedang di urus. Ketika kita resmi berpisah Fiza ikut dengan saya!” Agung dan Rosita berjalan lebih ke dalam rumah.

Fiza yang takut ketahuan sedang menguping dengan langkah kecilnya ia berlari masuk ke dalam kamar kembali.

“Saya nggak akan menyerahkan anak saya ke kamu! Fiza ikut sama saya!” teriak Ismi sekuat tenaganya yang tersisa.

Guntur saling bersautan. Hujan pun belum terlihat tanda-tanda ingin berhenti. Ismi menangis meratapi nasibnya yang begitu malang.

Fiza kecil mengunci kamarnya, berlari mendekati meja belajar, dan menangis sambil menatap gambar gaun pengantin yang baru saja ia buat. Dengan kesal gadis itu merobek gambar hasil karyanya. Menyimpan sobekan itu ke dalam kotak kaleng kosong dan meletakkan di lemari kecil, lalu menguncinya. Ia bertekat tidak akan membuka lemari itu.

Tanpa Fiza sadari saat ia mengingat kejadian itu air matanya menetes. Gadis ini cepat mengusap pipi yang basah.

Fiza mengambil selotip dari atas meja kerjanya. Kemudian kembali duduk di kasur. Ia lem satu-persatu kertas bak puzzle itu.

“Dulu Ayah yang mengancurkan semua impian Fiza tentang pernikahan yang harmonis. Fiza kira Ayah adalah contoh yang baik untuk dijadikan patokan saat Fiza akan menikah nanti, tapi Ayah merusak semuanya. Sampai Fiza nggak mau menikah.”

Air bening itu sesekali masih menetes dari mata Fiza. Gadis ini terus fokus pada pekerjaannya. Hingga gambar itu kembali utuh walau ada bekas yang tampak jelas.

Fiza menegakkan punggungnya, “robekan kertas ini memberi kita pelajaran. Bagaikan hati yang telah hancur. Walau disatukan dengan cara apapun bekasnya pasti masih nampak di permukaan. Begitu perasaan Bunda dan Fiza, Ayah."

Gadis itu mengusap kedua pipinya dengan kasar. Memangku kertas gambaranya di paha. Duduk lurus menghadap depan.

“Nggak ada lagi impian Fiza ingin memiliki suami seperti Ayah. Semoga pilihan Bunda lebih baik dari Ayah. Fiza pasrah akan pernikahan ini demi Bunda.”


•••



29 april 2020

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang