31

7.5K 571 34
                                    

Mungkin ini chapter terakhir yang di-up, sebelum hiatus dulu sesaat.

***

Suasana canggung seketika menyelimuti dua orang yang kini sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sebenarnya bukan sibuk. Lebih tepatnya, berusaha menyibukkan diri mereka masing-masing. Farhan sebenarnya adalah orang yang paling kentara jika ia sedang berusaha menyibukkan dirinya. Bagaimana tidak, ia yang selama ini tidak pernah membaca buku pelajaran, kini tampak serius membaca buku catatannya sendiri. Terkadang, ia mengobrak-abrik isi tas sekolahnya, meniup-niup ujung jarinya, sampai bersenandung.

Berbeda dengan Sena yang terlihat tenang duduk dikursi belajarnya sembari mencatat sesuatu. Padahal, ia sebenarnya sadar kecanggungan diantara mereka. Ia ingin membuka obrolan, tetapi rasanya sulit mencari topik obrolan.

Begitupun juga dengan Farhan. Ia rasanya ingin menghilangkan suasana awkward menjengkelkan ini, tetapi dengan cara apa?

"Sen---"

"Lo---"

Akhirnya, ketika salah satunya ingin membuka obrolan, malah keduanya serentak ingin memulai.

"Kenapa?" Tanya Sena datar. Ia melirik Farhan sebentar, lalu kembali mencatat.

"Gue udah bisa balik ke rumah besok," jawab Farhan. Antara senang atau sedih, Farhan tidak bisa mengekspresikan kalimatnya. Disatu sisi, ia sudah betah dan nyaman berada didekat Sena seperti ini, namun, disisi lainnya, ia tidak mungkin selalu tinggal disini. Selain merepotkan Sena, ia tidak mau orang-orang berpikiran negatif. Orang tuanya juga mungkin tidak mengizinkannya.

"Oh, bagus deh. Pagi, sore, atau malam?" Tanya Sena acuh.

"Terserah sih."

"Mending sekarang lo beresin barang-barang lo, besok, pulang sekolah, lo balik ke rumah lo langsung. Nggak usah balik ke sini lagi," kata Sena menjelaskan, dan tanpa sadar perkataannya itu membuat pundak Farhan merosot.

"Lo udah nggak nyaman gue ada disini ya, Sen?" Tanya Farhan lirih.

Sena memutar pandangannya, menghadap Farhan ketika ia sadar kalau suasana hati cowok itu berubah. "Bukan nggak nyaman, gue cuma ngasih tahu baiknya gimana. Apa bedanya emang lo balik pagi, siang atau malam? Mending sekalian aja 'kan? Seperti yang gue bilang."

Farhan mengangguk paham, mencoba menyemangati dirinya sendiri. "Sorry and... Thanks for everything. Gue nggak tahu lagi, Sen, harus bilang apa ke lo karena udah baik banget sama gue. Gue minta maaf karena selama ini banyak banget kesalahan gue yang gue nggak tahu mau nebusnya dengan cara apa. Jujur, gue bersyukur banget Bokap gue ngasih hukuman begini. Kalau tidak, mungkin gue bakal jadi orang yang jahat banget karena selalu ngusik hidup lo." Farhan menegakkan badannya. Sekarang ia tampak serius dengan kata-katanya.

"Makasih ya, Sen, lo udah ngajarin gue gimana hidup yang sebenarnya. Dan sekali lagi, maaf," ucap Farhan. Ada kesedihan yang bisa Sena tangkap dari sorot mata Farhan sekarang. Ada penyesalan juga.

"No problem. Selama ini, gangguan yang lo kasih ke gue, cuma gue anggap angin lalu kok, nggak gue masukin hati. Kecuali waktu lo nuduh gue sembarangan itu. Tapi tenang aja, udah gue maafin semuanya. Dan... Gue nggak pernah ngajarin lo tentang kehidupan. Gue hanya menjalani kehidupan gue seperti biasa, dan lo sendiri yang petik kesimpulannya. Bagus deh kalo lo anggap hidup gue sebagai pelajaran---"

"Juga... mungkin sekarang lo udah tahu gimana kehidupan gue sebenarnya. Meskipun belum semuanya lo tahu. Dan gue minta, lo tutup rapat-rapat tentang ini ke semua orang, apalagi sama orang-orang sekolahan. Dan... jalanin aja hidup kita masing-masing seperti biasa. Lo, dan juga gue, yang tidak saling kenal," ucap Sena. Ia tersenyum tipis sebelum akhirnya memalingkan wajahnya dan kembali meraih pulpennya.

I Am Not A Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang