Nada tidak terbiasa duduk berhadap-hadapan dengan ayah juga bunda dengan suasana tegang seperti ini.
Sekalipun ayah jarang di rumah dan lebih sering pergi ke Surabaya karena rumah sakit utama tempatnya bekerja ada di sana, Nada tidak pernah membayangkan kalau sekali mereka bertemu, akan jadi seperti ini.
Ayah duduk di sofa seberang bersama seorang wanita, sedangkan Nada duduk berdampingan bersama bunda dan Ravi.
Pagi itu Nada menolak pergi ke sekolah ketika tahu ayah akan datang— meski yang Nada harapkan tidak seperti ini, datang dengan seorang wanita asing.
Nada bersikeras ingin duduk di sana, meskipun ayah sudah menyuruhnya untuk menunggu di kamar. Namun bunda mengizinkan, Nada harus ada di sana agar bisa memahami semuanya sekarang.
"Keluargaku gak bisa nerima, Hen. Maaf,"
Nada tetap diam ketika suara lembut bunda memecah keheningan. Di seberang sana, ayah terlihat sama kacaunya.
"Tapi aku gak bisa tinggalin Fitri dan Dion."
Wanita dengan paras manis di sebelah ayah menunduk. Nada memandang wanita itu lekat-lekat, tidak bisa menemukan dimana sisi jahatnya— padahal dia tau kalau wanita itu yang membuat ayah dan bunda jadi begini.
Nada ingin menyalahkan seseorang untuk renggangnya keluarga mereka. Tapi dia tidak bisa, Nada tidak bisa jadi sejahat itu untuk menghakimi siapapun.
"Jangan tinggalin Dion, Hen. Dia masih bayi, Dion butuh ayahnya." Suara bunda bergetar, Nada sampai sulit untuk menoleh.
Di tempatnya, Ravi juga hanya diam dengan pandangan kosong ke depan. Tidak ada raut kesal yang biasanya dia tunjukkan jika ada ayah, kini hanya ada wajah tenang.
"Jadi biarin aku yang ninggalin kamu. Kita harus pisah karena keluargaku gak terima kamu poligami."
Bunda.. Jangan. Nada menelan ludahnya, membatin. Tangannya terkepal kuat di atas pangkuan, Nada butuh udara yang banyak. Dadanya sesak sekali.
"Via.. Jangan begitu."
"Aku ikhlas lahir batin Hen. Aku gak marah sama kamu, atau sama Fitri sekalipun. Aku gak akan marah sama siapa-siapa." Bunda menggeleng kecil, air matanya tumpah.
"Ravi sama Nada sudah besar, aku yakin mereka akan paham kenapa kamu harus lebih milih Dion dan Fitri."
Nada mengangkat wajahnya yang sempat menunduk. "Kenapa ayah harus milih mereka?" tanya Nada dengan suara kecil.
Semua orang menoleh, kecuali Ravi.
Via membelai lembut rambut Nada sambil tersenyum. Senyuman menahan tangis yang entah kenapa jadi sangat Nada benci akhir-akhir ini.
"Karena tante Fitri dan Dion lebih butuh ayah, Nada."
Hendra dan Fitri menunduk, tidak sanggup ketika melihat segelintir air turun dari mata Nada dan Via.
"Sekarang ayah juga punya Dion. Ingat kan foto adek bayi yang pipinya tembam waktu itu?"
Nada mengangguk kecil.
"Dion masih kecil, butuh ayahnya."
Nada juga masih kecil bunda. Nada butuh ayah.
Via menarik Nada ke dalam pelukannya, membelai penuh kasih sayang rambut panjang Nada yang digerai bebas.
"Tante Fitri sakit. Ayah gak bisa ninggalin mereka sendiri, dan bunda gak bisa egois dengan menyuruh ayah tetap disini. Maafin bunda," bisik Via pelan.
Bisa saja dia mengatakan itu tanpa berbisik, namun Via tidak mau Fitri mendengarnya, dia tidak mau Fitri tersinggung— meskipun itu memang benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANADA ☑️
Teen FictionTentang mereka yang ingin bebas namun takut kehilangan. Orang-orang egois yang terus saling menyakiti hanya karena memikirkan perasaan sendiri. Nada dan Revan sudah melewati banyak waktu bersama-sama. Tidak pernah Nada bayangkan kalau mereka akan b...