39 || Lelah

251 30 0
                                    

Sewaktu Revan tahu kalau Mama berniat mengajak Aliyah ke pesta ulang tahun Adiba, ia betul-betul menolak hal tersebut. Selain karena Revan sudah membulatkan tekad untuk mengenalkan Nada ke Mama, ia pikir rasanya kurang sopan jika membawa Aliyah karena cewek itu tidak masuk ke dalam daftar undangan— yang berarti Aliyah bukan bagian dari orang penting atau dekat untuk Adiba.

Namun titah Mama selalu sama untuk Revan. Dia bahkan tidak mampu mendebat lagi saat Mama hampir saja menangis karena merasa sakit hati atas bantahan Revan.

Jika dipikir-pikir lagi, mungkin Revan tumbuh menjadi laki-laki sepengecut ini karena ia terlalu menggantungkan segala keputusan pada Mama.

Entah soal sekolahnya, ekstrakurikuler-nya, makanan kesukaannya, hingga perihal pasangan sekalipun.

Apakah Revan mau dijadikan pemeran dalam segala keputusan Mama— yang sering tidak mengenakkan untuknya? Tentu tidak. Revan selalu mendambakkan kebebasan. Revan ingin tuas kendali kehidupannya dilepaskan oleh Mama.

Pernah suatu ketika, Revan benar-benar muak dan tidak bisa mengendalikan emosi serta kata-katanya lagi saat Mama berkata kalau Revan harus berhenti berteman dengan Gilang. Mama berpikir, Gilang hanya membuat Revan sering terlambat pulang dan jadi tidak punya waktu belajar.

Kejadiannya mungkin dua tahun lalu. Dan yang Revan dapat adalah air mata Mama. Lalu dengan begitu saja, malam itu menjadi terakhir kalinya Revan membantah Mama. Selain karena Mama akhirnya setuju Revan boleh berteman dengan Gilang, ia juga tidak suka melihat Mama menangis.

Alasan se-simple itu...

Yang kemudian membuat Revan kehilangan hal-hal yang ia suka.

Dan salah satunya Nada.

Revan mungkin akan menerima dengan lapang dada jika embel-embel brengsek dan pengecut di sematkan ke belakang namanya. Karena benar, Revan adalah laki-laki brengsek dan pengecut.

Bahkan ketika ia merasa kalau dirinya terbakar dan senyumnya hilang saat dengan jelas telinganya mendengar kalau Nada lebih memilih Deandra, ia malah berjalan mundur bak orang bodoh dan kabur dari pesta hanya untuk merenungi kegagalannya di depan taman rumah Nada.

Sungguh ironis. Berjam-jam Revan duduk di sana bagai orang paling menyedihkan sejagat raya. Ia bahkan sempat ketiduran dan bermimpi kalau Mama bersuka cita menyambut Nada dalam dekapan hangat.

Segalanya berjalan begitu lambat. Benar kata orang, ketika sedih waktu terasa lebih lama terlewati. Lalu dengan begitu saja akhirnya Revan memutuskan untuk pergi saat ia terbangun karena gangguan nyamuk dan udara yang makin dingin.

Kepalanya pusing, matanya berat dan dadanya masih sesak. Namun Revan tidak peduli dan tetap melaju dengan motor besar hitamnya.

Di persimpangan jalan setelah ia keluar dari perumahan, ia mulai merasa tak nyaman karena klakson kendaraan-kendaraan lain yang merasa kalau Revan membawa motor seperti kesetanan. Namun tetap, ia tidak merasa untuk cukup peduli.

Dan dalam waktu singkat, kecelakaan itu terjadi. Revan menabrak sebuah mobil yang berjalan di depannya, membuat ia terlempar ke kaca bagian belakang mobil itu hingga beberapa spot kacanya pecah— sebelum akhirnya ia mesti terlempar lagi ke tengah-tengah aspal dengan seluruh badan yang tergesek oleh permukaan jalan yang kasar.

Sebelum gelap menjemput, Revan mulai menyadari kalau kini : tuas kendali kehidupannya ada pada Nada.

Tuas yang saat ini sedang tergelincir dari tempat seharusnya hingga Revan tidak memiliki cukup kewarasan untuk membedakan mana yang benar dan salah.

Tapi satu yang pasti, untuk kali itu, ia benar-benar menginginkan Nada tetap ada di dalam kisahnya.

***

RANADA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang