Gue... gak pernah menikmati apa yang terjadi di hari ini.
Sebagai gantinya gue hanya fokus memikirkan apa yang akan terjadi besok, lusa, dan seterusnya. Sama seperti ketika pertama kalinya gue bernyanyi di hari ulang tahun Bunda.. Atau ketika akhirnya gue memutuskan untuk fokus pada musik ketika masuk SMA.
Kata orang seni itu indah.
Gue tahu itu... tapi nggak pernah bisa menikmatinya. Sebab di kepala gue hanya usaha yang keras agar besok bisa jadi lebih baik lagi.
Semuanya hampir terjadi sama persis. Ketika hari paling bahagia kami sekeluarga sekalipun... ketika Ayah mengajak kami pergi ke puncak. Hari itu gue bahagia, namun dengan perasaan yang secukupnya.
Sebab gue pikir.... masih akan ada besok untuk kami. Masih akan panjang kebahagiaan kami. Masih akan panjang masa gue bermusik. Dan masih akan panjang hal lainnya yang harus gue usahakan agar bisa lebih baik, alih-alih menikmatinya.
Sampai akhirnya pada detik ini.... gue merasa dihianati oleh usaha gue sendiri.
"Kita pulang, ya?"
Deandra betulan datang menghampiri gue. Dengan stelan celana jeans, hoodie hitam, serta sepatu converse putih kesayangannya yang warnanya sudah mulai kusam karena keseringan dia pakai.
Gak ada koper, atau tas sekalipun. Dean hanya datang dengan headset putih kesukaannya-- meskipun sekarang orang-orang sudah beralih ke airpods, serta ponsel dan dompet.
"Dean..."
Kami masih berada di pelantaran bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan. Gak ada Putri atau Angel yang biasanya menemani gue, atau bahkan teman-teman yang lain. Sore ini gue pergi sendirian untuk menyambut Dean setelah mendapat kabar kalau laki-laki itu betulan terbang dari Jakarta keesokan harinya setelah gue memanggil namanya.
"Kenapa?"
"Balikpapan... punya sesuatu yang aku senangi."
Gue teringat apa kata Putri.
"Apa?"
"Menikmati apa yang terjadi hari ini."
Perjalanan singkat ini... membuat gue paham kalau mungkin aja.. selama ini gue memang se-sombong itu sama waktu. Semua rasa sepi kemarin... semua rasa kecewa kemarin... semua rasa sedih kemarin... gue memendamnya hingga mereka menjadi sebuah batu besar yang sulit gue pecahkan.
Gue sampai gak bisa mengingat kapan kebahagiaan pernah datang di hidup gue.
Padahal nggak... karena sebetulnya gue yang gak pernah mengingat mereka. Gue yang gak pernah menghargai dan menikmati semua hari-hari baik itu.
Dunia itu adil selama kamu yakin kalau kamu punya Tuhan, Nad
Gue teringat apa kata Angel.
Kalimat singkat yang membuat gue tertampar.... sebab selama ini gue gak pernah mencoba untuk bersyukur atas hari-hari baik yang pernah terjadi.
Kamu cuma gak bisa mengingat kapan kamu pernah bahagia. Padahal se-kecil apapun momen itu.... itu penting.
Ayah selalu jadi orang pertama yang akan panik ketika tahu gue sakit. Ayah juga akan selalu jadi orang pertama yang memanggil gue dengan panggilan-panggilan penuh kasih sayang. Ayah..... dia cinta pertama gue.
Tapi gue melupakan semua itu saat tahu ia memilih pergi dari rumah demi seorang bayi dan ibunya-- yang ternyata bisu. Iya, tante Fitri bisu. Itu kenapa setiap bertemu, dia selalu diam di sebelah Ayah.
Lalu ketika bicara mengenai Bunda.... gue hanya akan mendeskripsikannya dengan air mata. Entah air mata sedih atau bahagia... yang jelas Bunda adalah sosok yang tidak akan pernah bisa gue uraikan dengan kata-kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANADA ☑️
Teen FictionTentang mereka yang ingin bebas namun takut kehilangan. Orang-orang egois yang terus saling menyakiti hanya karena memikirkan perasaan sendiri. Nada dan Revan sudah melewati banyak waktu bersama-sama. Tidak pernah Nada bayangkan kalau mereka akan b...