17 || Perantara untuk Luka

360 37 12
                                    

Nada

"Bunda, nanti Nada mau punya banyak mimpi, punya banyak harapan juga."

"Kenapa?"

"Kata ayah, harapan itu semangat hidup. Lagian, misalnya kalau mimpi Nada yang satu gak terwujud, Nada masih punya mimpi yang lain."

Dulu gue cuma anak kecil yang selalu bertanya-tanya, kenapa Bang Ravi, kakak laki-laki gue itu, bawaannya selalu kesel kalau lihat ayah.

Semenjak jabatan ayah naik, ketika ia selalu pergi cepat, pulang terlambat, dan kadang hadirnya saat akhir pekan sangat jarang, bang Ravi selalu menjauhi apapun yang berkaitan dengan ayah.

Waktu itu gue cuma anak kecil yang dengan gamblangnya bilang, "Abang jahat, kenapa abang musuhin ayah?"

"Ayah berubah, Nada. Dulu ayah gak begini."

Bertahun-tahun gue gak pernah mengerti apa yang bang Ravi bilang. Setiap mengingat sikap dingin bang Ravi ke ayah, gue selalu mengira kalau bang Ravi cuma egois.

Dia cuma memikirkan bagaimana weekendnya yang semakin lama semakin jarang bersama ayah, atau ulang tahunnya yang semakin lama terbiasa tanpa adanya ayah.

Dari kecil bang Ravi tumbuh dengan segala perhatian dan kasih sayang ayah. Dia terbiasa dengan hadirnya sosok Mahendra didalam hari-harinya.

Berbeda dari gue yang sejak mengerti mana merah atau biru, sosok ayah memang sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya. Sampai akhirnya gue terbiasa untuk berakhir memahami, kalau ayah memang sibuk dan itu demi keluarganya.

"Nada..."

Gue tetap memejamkan mata, disaat sebetulnya gue tau pasti kalau ada ayah yang baru aja membuka pintu kamar gue dengan pelan.

Wangi khasnya yang semakin tercium membuat gue yakin kalau dia ada didekat gue.

"Nada tidur?"

Gue pengen peluk ayah.

Tapi gue gak bisa. Badan gue seakan-akan udah diatur untuk tetap diam, berpura-pura tidur.

"Nada baik-baik ya, nak." Setelah mengatakan itu, ada sebuah kecupan hangat mendarat di dahi gue. Lalu setelahnya, pintu kamar gue terbuka dan ditutup kembali bersamaan dengan suara samar dari luar.

"Bawa semua kemejamu. Takutnya gak cukup, soalnya jadwalmu kadang gak tentu."

Itu suara bunda.

"Gak usah, Bun. Ini cuma sementara waktu aku tinggal bareng Fitri dan Dion."

Semenjak pulang dan berakhir berdiam diri dikamar karena kepala dan badan gue yang sakitnya minta ampun, gue gak keluar dari kamar meski gue tau ayah datang.

Ah, syukur gue gak keluar. Karena ternyata, datangnya ayah hanya untuk pergi lagi.

"Bunda, nanti Nada mau punya banyak mimpi, punya banyak harapan juga."

"Kenapa?"

"Kata ayah, harapan itu semangat hidup. Lagian, misalnya kalau mimpi Nada yang satu gak terwujud, Nada masih punya mimpi yang lain."

Perlahan, satu persatu mimpi dan harapan gue gugur.

Gak ada satupun yang terwujud, semuanya ingkar.

Meski begitu, gue akan kembali membuat permohonan, semoga malam ini bunda tidak menangis lagi.

***

RANADA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang