21. Semuanya Palsu?

23 4 0
                                    

Aku duduk di bangkuku sambil memainkan bolpoin di tanganku. Ani menghampiriku sambil menyodorkan tempe tepung goreng.

"Dimakan! Katanya laper?"

Aku tersenyum, "Meli mana?" tanyaku.

"Lagi ngobrol sama seseorang."

"Siapa?"

"Ntar Mak juga tau sendiri,"

Aku tak peduli, aku sibuk dengan tempe tepung goreng di mulutku.

"Mak!" aku menoleh ke sumber suara.

"Ngapain di situ?" tanyaku pada Meli.

"Sini, ada yang mau bicara sama kamu!"

Dengan malas aku bangkit dari dudukku karena melihat wajah Meli yang serius. Sepenting itukah?  Aku menghampirinya di ambang pintu.

"Kenap--" pertanyaanku terhenti saat melihat Yoga di belakang Meli.

"Ra," aku hanya berdehem menjawab panggilan Yoga.  Meli menepuk pundakku lalu berjalan meninggalkanku.

"Aku Yoga yang asli. Langsung ke intinya aja ya, aku denger ada dua nomor yang ngaku jadi aku. Tolong jangan percaya, aku enggak pernah ngirim kamu pesan sama sekali,"

Hah? Dua nomor? Semuanya bukan Yoga. Terus siapa?

Aku diam karena teman-teman Yoga yang terus menatapku tajam seolah aku adalah orang yang pantas dibenci. Aku memberanikan diri untuk menatap Yoga.

"Enggak usah khawatir, Kak! Siapapun itu, sekarang bukan urusan Kakak. Aku enggak akan nyuruh Meli lagi buat nanya soal itu ke rumah Kakak. Mulai sekarang anggep aja kejadian ini enggak pernah terjadi. Aku bakal berusaha lupain Kakak. Soal perasaan aku, biar aku pendem sendiri. Makasih dan selamat tinggal. Anggep aja kita enggak pernah kenal."

Yoga terkejut, tapi aku tak peduli. Aku langsung masuk ke dalam kelas sambil berharap bahwa air mataku tak akan jatuh. Tapi nyatanya aku tak sekuat itu. Air mataku jatuh tepat saat Yoga pergi bersama teman-temannya. Ani dan Meli memelukku, tapi tidak bertanya apa yang terjadi. Mungkin mereka sudah tahu.

#

'Aku bodoh? Mungkin. Aku lemah? Iya soal perasaan aku tak sekuat kalian.'

My Beloved Brother |tamat|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang