Aku duduk di sofa depan TV. Menonton TV sambil memakan cemilan yang ada.
"Itu bel bunyi dari tadi kamu enggak denger?"
Aku menoleh menatap Mama yang tiba-tiba saja berada di belakangku. Aku menajamkan pendengaranku. Ah, benar! Bel rumah berbunyi.
"Yaudah, aku aja yang ke depan!"
"Iya, sana!"
Aku berjalan menuju pintu, "Iya sebentar," ucapku lalu membuka pintu perlahan.
"Cari siapa?" tanyaku.
Aku terkejut. Yoga ada di depanku bersama dengan Meli.
"Ra! Asli dia nyebelin banget. Dia ngintilin aku mulu, Ra! Tolong ngertiin ya!"
"O-oh, yaudah masuk aja dulu,"
Aku mengijinkan mereka masuk meski perasaanku semakin sesak saat melihat Yoga. Entah kenapa, pernyataan Yoga masih berputar di kepalaku.
'Semuanya itu cuma....'
Sudah! Aku tidak ingin membahasnya!
Aku menuntun mereka menuju sofa di ruang tamu.
"Kenapa, ya? Apa ada yang perlu dibicarakan lagi?" tanyaku.
"Siap--ohh Meli sama nak Yoga. Sebentar, tante buatin minum dulu."
"Enggak usah tante, kita sebentar doang kok," jawab Meli.
"Oh, yasudah kalau begitu."
Mama berjalan pergi. Tentunya ia menatapku dengan khawatir, tapi aku mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja.
"Kamu belum jawab pertanyaan Kakak, Ra!"
"Hah?"
Aku bingung sendiri melihat raut wajah Yoga yang serius.
"Pertanyaan kakak waktu di kantin sekolah!"
Aku mengalihkan pandanganku, "ah, itu! Bukannya udah jelas, Kak?" tanyaku.
Meli hanya diam sambil memainkan ponselnya dan memasang earphod di telingannya.
"Kakak bakal lupain Rakhma kalau itu bisa bikin kamu mau jadi pacar kakak!"
Aku merasakan jantungku berdetak cepat. Mendengar ucapan dan raut wajah Yoga yang sangat serius membuatku salah tingkah sendiri.
"A-aku tau kok, kakak enggak bakalan bisa lupain Kak Rakhma! Enggak usah dipaksain. Udah pernah aku bilang juga kan? Kalo aku enggak bakal permasalahin semua ini lagi."
"Kali ini kakak serius, Ra!"
Aku menatap Yoga, "aku butuh waktu, Kak!"
"Kakak gapunya banyak waktu! Kakak butuh jawaban malem ini, Ra!"
Aku bingung harus menjawab apa. Antara iya atau tidak. Sungguh aku benar-benar bingung.
"Kakak cuma pengen nyelesain apa yang kakak mulai,"
Aku diam. Mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Kakak mohon, Ra! Kakak enggak maksa apa-apa. Cuma jawab mau atau enggak. Setelah itu udah,"
Aku masih diam. Masih berpikir keras. Jawaban otak dan hati masih berbeda. Mereka tak mau berkompromi di saat seperti ini.
"Kakak mohon," ucap Yoga lagi.
"Yaudah kak! Iya, Aku mau!"
"YES!!"
Aku melotot, pasalnya Yoga berteriak kencang sekali. Meli pun langsung melepas earphod di telinga kanannya.
"Kenapa sih?" tanyannya.
"Enggak! Yuk, kita pulang!"
"Eh?"
"Udah, ayo! Kamu di sini aja, Ra! Enggak usah nganter ke depan! Kasian kaki kamu," ucap Yoga.
"Enggak papa, kok! Lagian cuma ke depan doang," jawabku.
"Enggak boleh! Kamu itu enggak boleh kecapean! Dadah!"
Setelah itu Yoga berjalan sambil menyeret Meli yang masih kebingungan. Aku tetsenyum simpul. Antara otak dan hati, aku memutuskan menuruti hati. Semoga saja keputusanku benar kali ini
#
'Bodoh! Aku memang bodoh!'
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Brother |tamat|
Teen FictionDi saat otak sudah mulai menyerah, tapi hati belum bisa diajak untuk berkompromi. Ps: "Ini bukan kisah kakak beradik kandung yang saling mencintai." Ps: Dalam Masa Revisi Baca terlebih dahulu baru berkomentar 😊 Bijaklah dalam membaca.