"Mak! Aku pulang dulu, ya!"
Aku mengangguk dan membalas lambaian tangan Ani. Aku merapikan buku, sekilas melihat kolong meja apakah ada yang tertinggal atau tidak.
"Mak, aku pulang. Udah sepi nih, kamu jangan lama-lama di kelas," ucap Meli.
Aku melihat sekeliling. Ah! Dasar kelasku, ketika bel pulang sekolah berdering mereka pasti langsung keluar kelas tanpa basa-basi. Kecuali kalau memang masih ada guru di dalan kelas.
"Hati-hati, ya!"
Meli mulai menjauh. Sedangkan aku membuka ponsel. Menatap deretan pesan yang sejak hari minggu lalu tak pernah aku balas.
Kak Yoga
Ra!
Kamu marah?
Kamu nggak papa kan?
Ra?
Dira!
Maafin kakak
Kakak ngga ada maksud buat nyakitin kamu.
Ra?Ra? Kok nggak berangkat?
Kata meli kamu sakit.
Iyakah?
Sakit apa?
Ra?Ra!
Hari ini juga nggak berangkat ya?
Sakitnya belum sembuh?'Ya iyalah! Namanya juga sakit hati! Butuh waktu lama buat sembuh' batinku.
Ra?
Besok berangkat kah?Ra! Kakak udah ada di kursi putih.
Pesan terakhir Yoga masuk ke ponselku sekitar tiga menit yang lalu. Oh, ayolah! Aku tidak ingin bertemu dengannya.
Aku duduk di kursiku sambil menatap jam dinding. Aku harus diam di sini sampai Yoga menyerah dan memutuskan untuk pulang. Lagian untuk apalagi dia ingin bertemu denganku setelah mengatakan alasan kenapa dia membuatku baper.
Aku menyenderkan kepalaku di tembok. Duduk diam sambil menatap sekeliling. Seketika aku ingat ucapan, Dea--teman satu kelasku, "kelas kita berhantu. Aku pernah telat pulang karena memang hari itu adalah jadwalku piket. Tapi kalian tahu apa yang aku liat? Percaya atau tidak, aku melihat kuntil**ak di pojok tempat menyimpan sapu. Matanya bewarna merah, dan dia punya bekas luka di wajahnya yang masih dialiri darah,"
Bulu kudukku meremang. Seketika aku bangkit dan berlari meninggalkan kelas tanpa berani menoleh ke belakang lagi. Ah sial! Kenapa aku penakut sekali?
Aku mengintip kursi putih taman sekolah dari balik pohon belimbing di depan ruang komputer. Kosong! Syukurlah, Yoga pasti sudah pulang karena menungguku lama.
Aku berjalan dengan santai menuju ke parkiran yang hanya tinggal beberapa sepeda motor di sana.
"Dira!"
Aku menghentikan langkah. Seketika, aku merasakan langkah kaki mendekat. Suara itu milik Yoga. Aku menggerakan bola mataku ke arah kanan, tampak di sudut parkiran aku melihat motor Yoga masih ada di sana. Ah, sial! Dia belum pulang ternyata.
"Kakak pikir kamu udah pulang. Kakak nungguin kamu lama akhirnya Kakak pindah ke kantin. Ayo, kita bicara di kantin."
"Ehh, he-he i-iya, Kak!"
Bodoh, kenapa aku menjawab itu? Ah, dasar bodoh aku!
#
'Akhirnya, aku ikut dengannya ke kantin hari itu.'
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Brother |tamat|
Teen FictionDi saat otak sudah mulai menyerah, tapi hati belum bisa diajak untuk berkompromi. Ps: "Ini bukan kisah kakak beradik kandung yang saling mencintai." Ps: Dalam Masa Revisi Baca terlebih dahulu baru berkomentar 😊 Bijaklah dalam membaca.