30. The Truth.

26 4 0
                                    

"Jadi, awalnya semua ini cuma rekayasa belaka aja. Aku deketin kamu bukan karena aku suka sama kamu tapi karena aku menuruti permintaan Rakhma. Kamu pasti udah tau tentang Rakhma. Meli tau seberapa sukanya aku sama Rakhma. Apapun bakal aku lakuin buat dia. Dia enggak mau jadi pacar aku kecuali aku nyakitin seseorang dulu."

Hatiku menahan sesak yang amat sangat di dalam sana. Rasanya ada orang yang melempar beribu batu. Sakit. Perih. Semuanya aku tahan. Air mataku menggenang. Meli berpindah duduk menjadi di sampingku. Dia menenangkanku. Tapi bukannya tenang aku malah semakin menangis di pelukan Meli.

"Ra,"

Aku mengembuskan napas lalu mengusap air mataku. Kenapa aku harus menangis di hadapan Yoga? Kenapa?!

"Kenapa harus aku, Kak?"

"Masalah itu bukan aku yang nentuin. Rakhma yang nentuin siapa yang bakal aku sakitin. Awalnya aku percaya. Karena kalau aku berhasil, Rakhma bakal jadi milik aku. Tapi nyatanya enggak. Meskipun aku udah nyakitin kamu berkali-kali tetep aja Rakhma enggak mau sama aku. Dia malah jadian sama orang lain."

Aku mencoba bertahan dengan susah payah. Menahan segala sesak yang ada. Menahan segala sakit. Ternyata aku begitu jatuh dalam perangkapnya. Sakit sekali rasanya mengetahui bahwa ini semua hanya permainannya. Kenapa aku tak menyadari ini dari awal?

"Tapi sekarang aku sadar udah ngelakuin kesalahan besar. Aku mau minta maaf, Ra! Aku tahu susah banget buat kamu maafin aku. Tapi semua orang punya kesalahan, Ra! Maafin aku!"

Aku menatap mata Yoga. Mencari kebohongan di sana. Tapi nihil. Dia serius dengan segala ucapannya yang membuatku sakit.

"Kasih aku waktu, Kak! Makasih udah mau jujur. Sekarang kalian boleh pergi."

Aku berdiri lalu berlari ke dalam kamar. Aku menangis. Aku rapuh. Rasanya sakit sekali. Yoga. Kenapa? Kenapa harus aku? Aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku menyangkal segala pikiran buruk tentangmu tapi? Kenapa? Kenapa ini yang kau lakukkan. Kenapa Yoga? Jawab aku!

'Ceklek'

"Kenapa kamu nangis sayang?"

Suara Mama terdengar. Aku menatapnya sendu. Dia langsung berhambur memelukku. Menepuk-nepuk pundakku lembut.

"Maa,"

Mama tak menjawab apapun. Dia memelukku erat. Mengelus pucak kepalaku dengan penuh kasih sayang.

#

'Waktu itu aku sangat terpukul hingga tak keluar kamar sampai tiga hari lamanya. Sekolah pun tidak!'

My Beloved Brother |tamat|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang