Perasaan Elin terus mengutarakan kalau Zain itu sebenarnya sedang mengamatinya, tetapi dia juga merasa kalau dia itu kePDan sendiri. Malu dong seandainya dia menoleh ke Zain tapi ternyata cowok itu masih menutup mata."Kak Zain tidur beneran enggak sih?" Tanya Elin sambil memiringkan kepalanya menatap Zain terpejam tenang.
Zain menahan untuk tidak tersenyum, walau sebenarnya bibir cowok itu tidak bisa menahan untuk berkedut.
Elin memilih tidak peduli, dia mengeluarkan headset case pensil dan menyambungkannya ke ponsel. Memasangkan headset berwarna putih itu dikedua kupingnya, menikmati alunan lagu favorit dan lanjut berkutat dengan soal-soal yang belum terselesaikan.
Zain diam-diam kembali membuka matanya untuk mengamati Elin dari samping. Senyum yang dari tadi dia tahan kini akhirnya terlepas, dia benar-benar tersenyum karena Elin.
.
.Siang ininkantin sedang ramai-ramainya. Jam istirahat kedua memang waktu dimana para siswa-siswi sedang lapar-laparnya. Dentingan antara garpu, sendok, dan piring terdengar bersahut-sahutan membaur dengan suara grasak-grusuk siswa-siswi. Diantara siswa-siswi tersebut, Alvan bersama kedua sahabatnya memilih duduk di depan stand penjual siomay.
"Al, jadi kapan lo mau ngomong lagi sama Zain buat gabung di club basket?" Tanya Galang memecah keheningan diantara dia dan dua temannya.
Alvan memainkan garpu yang dia pegang, "kapan ya?"
Fano menggeser piringnya karena sudah selesai makan, "sekarang aja lah nggak usah kelamaan."
Alvan menoleh untuk menatap Fano, "serius? Tapi gue ogah ya mohon-mohon buat masuk ke club basket sini."
Galang mendesah pelan, "ayolah Al, kali ini lo harus kesampingin dulu gengsi lo itu."
Alvan menatap Galang malas, "ogah banget. Seorang Alvano Saugi Kusumahendra harus mohon-mohon," ucapnya. Gestur cowok itu terlihat malas, lalu meletakkan dengan kasar sendok logam diatas piring yang hanya tersisa sambal.
Fano mendengus kesal mendengar ucapan Alvan, cowok itu menjitak kepala Alvan cukup keras hingga membuat Alvan sedikit meringis, menatap Fano kesal.
"Lo mikir gak Al? Di sini lo bukan siapa-siapa, bukan kayak di SMA lo dulu. Dimana disana lo itu adalah prince charming yang selalu dipuja-puja," ucap Fano kesal.
Ucapan Fano itu memang seratus persen benar adanya. Alvan disini bukan siapa-siapa, tidak seperti dirinya ketika sekolah lamanya. Dia disini hanya sebagai siswa biasa yang mungkin keberadaannya tidak disadari oleh siswa-siswa lainnya.
"Maka dari itu Al, lo kayaknya harus perlihatkan kejagoan lo dalam bermain basket deh," ucap Galang yang langsung diangguki Fano
"Caranya?" Tanya Alvan.
"Ajak si Zain duel!" Ucap Fano antusias.
Galang dan Alvan kompak membulatkan matanya, "duel?"
Fano mengangguk, "yoi duel."
"Duel, maksud lo?" Alvan menatap Fano penasaran.
Fano menatap Alvan gemas, "tanding, Al tanding. Lo sama Zain, adu skill."
Alvan menopang dagunya dengan tangan kanan, "gue yang nantangin dia gitu?"
Fano dan Galang saling tatap, lantas sama-sama mengangguk sebagai jawaban.
"Oke," ucap Alvan.
Cowok itu langsung berdiri dari duduknya, menyisir poni rambutnya kebelakang menggunakan jari-jari tangan. Lalu melenggang pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Middleman
Teen Fiction❝Sahabat atau kekasih?❞ Kalau dua-duanya bisa kenapa tidak? ❝Bertahan dengan yang sudah lama atau membuka hati untuk yang baru datang?❞ Jika mempertahankan hati milik yang sudah lama tetapi tidak kunjung diberi kepastian buat apa? Jangan jadi orang...