09 - Alvan VS Zain

104 38 0
                                    


Bu May sudah meninggalkan kelas 11 Ipa1 sejak dua menit yang lalu karena katanya ada rapat bulanan dengan semua dewan guru dan staff. Sekarang sudah memasuki jam pelajaran ke-11 dan artinya tidak kurang dari satu jam lagi bel pulang sekolah akan berbunyi.

"Kenapa soalnya harus kanan kiri sih? Jadinya kan gue nggak bisa nyontek lo," ucap Kate kesal mengingat ulangan kimia beberapa menit yang lalu.

Kate bersedekap dengan napas tidak teratur. Emosi, tentu saja. Dia sedang kesal dengan Bu May. Sepertinya guru bertahi lalat di dagu tersebut sudah tau siasat murid-muridnya ketika ulangan. Guru itu merubah strategi ketika ulangan untuk mempersulit muridnya nyontek ke teman. Di tambah Bu May selalu keliling dan menajamkan tatapannya untuk mengawasi muridnya, tidak aneh ketika ulangan pelajaran Bu May suasana kelas berubah menjadi mencekam.

"Hasilnya lillahita'ala, tergantung amal ibadah," ucap Kate memilih tidak peduli, lalu mengeluarkan ponselnya dari laci.

"Amal ibadah lo baik nggak?" Tanya Elin.

"Baik dong, sholat gue nggak pernah bolong, lagian Allah pasti berpihak sama orang yang tidak salah yaitu gue, karena apa? Karena Bu May yang salah tidak memberitahu murid-muridnya kalau hari ini ada ulangan."

Elin hanya menggeleng, gadis itu sudah hafal diluar kepala dengan sikap Kate yang selalu menyalahkan guru ketika ulangan. Padahal jelas-jelas Kate sendiri yang tidak belajar, mangnya belajar berlaku jika akan ada ulangan saja?

Mungkin bagi Elin belajar itu suatu keharusan yang harus dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Tetapi tidak bagi murid lain yang justru menganggap belajar itu adalah kegiatan membosankan dan tidak harus dilakukan ketika tidak ulangan. Ya, mereka akan belajar jika akan ada ulangan saja.

"Woy bro and sist! Nanti pulang sekolah jangan pada pulang dulu!" Teriak cowok dari belakang. Lalu teman sekelas Elin yang diketahui bernama Putra itu berjalan ke depan kelas dan berdiri di depan papan tulis.

Hal itu membuat semua perhatian semua teman sekelasnya terarah kepada cowok yang mempunyai tinggi 180cm itu.

"Lo mau traktir kita? Makan-makan? Hmm, yummy," ucap Dimo—cowok yang mempunyai postur tubuh agak gempal dengan mata sipit, seperti orang china.

Dimo tersenyum sendiri membayangkan bagaimana lezatnya makanan traktiran Putra, membuat cowok itu mengelus perutnya yang sudah keroncongan.

"Yeah, I got that yummy-yum. That yummy-yummy that yummy-yummy. Yeah, I got—"

"Diem lo ndut," ucap Putra memotong nyanyian Dimo. Apaan banget Dimo malah nyanyiin lagu milik kembaran Putra—Justin Bieber.

Putra merotasikan bola mata malas, setahu dia selain dipikiran Dimo isinya rumus matematika, rupanya juga didalam otak cowok itu selalu ada makanan. Makan, makan, dan makan yang selalu ada di pikiran Dimo. Pantas saja pertumbuhan cowok itu kesamping, tidak ke atas.

"Dengerin gue dulu ya, Dimo!" Putra berucap kesal.

"Ada apa sih nanti pulsek? Kepo gue," Ninda si mulut ceriwis menyahut dari tempat duduknya.

"Makanya dengerin gue ngomong!" Putra menyahut sewot.

"Lah apa? Lo nya aja belum ngomong," sahut Ninda tidak kalah sewot. Gadis itu kalau sudah menyangkut masalah adu mulut memang jagoannya.

Putra mengabaikan Ninda, lalu cowok itu menatap ponsel yang ada di genggamannya.

"Nanti pulang sekolah ada duel basket satu lawan satu, pokoknya kalian semua harus nonton!" Ucap Putra penuh semangat.

"Siapa lawan siapa?" Fahri menyahut santai.

"Zain sama Alvan," jawab Putra. Lalu cowok itu berjalan kembali ke bangkunya, "pokoknya harus nonton! Pasti seru!" Ucap Putra menggebu-gebu.

MiddlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang