11 - Care

93 36 0
                                    


Langit hari ini terlihat cerah, bahkan sang mentaripun sudah menampakkan diri dengan sinar yang seolah siap menemani aktivitas makhluk bumi.

Pagi ini Alvan sudah siap dengan balutan seragam SMA. Rambutnya di berikan sedikit sentuhan pomade yang membuatnya terlihat lebih rapi dari biasanya. Wajahnya berseri-seri, entah mengapa mendapatkan nomor WA Elin saja mampu membuat cowok itu senang bukan main, seperti anak Tk mendapatkan lotre mobil tamia.

Pesan-pesan yang Alvan kirimkan kepada Elin sebenarnya tidak ada yang dijawab satupun, entah kenapa hal itu malah membuat Alvan khawatir dengan gadis yang sedang dia jaga selama ini. Mengingat hal itu membuat senyum diwajah Alvan meredup. Menjaga Elin bukan berarti dia akan mendapatkan hatinya, gadis itu bukan untuknya. Perlu diingat disini bahwa Alvan hanya bertugas menjadi perantara untuk menjaga Elin.

Alvan turun dari motornya, dia sepagi ini sudah berada di depan rumah Elin. Pagar rumah tertutup rapat.

Tangan Alvan terulur menekan bel rumah yang berada di samping pagar. Cowok itu menekannya berulang-ulang karena merasa tidak ada tanda-tanda orang akan membukakan pagar rumah dari dalam.

"Cari non Elin?" Suara itu langsung membuat Alvan mengangkat kepalanya. Menatap wanita paruh baya dengan daster bunga-bunga berwarna hijau yang sedang membuka pagar lebih lebar.

Alvan mengangguk, "ada Bi?" Tanya Alvan.

Bi Nani mengangguk, mempersilahkan Alvan masuk. Cowok itu berjalan mendahului bi Nani.

"Non Elin teh tidak masuk sekolah hari ini," ucap Bi Nani yang berhasil membuat langkah Alvan terhenti.

Cowok yang sudah menginjakkan kaki di teras rumah Elin itu menoleh menatap Bi Nani, "kenapa dia?"

Bi Nani mengajak Alvan agar masuk kedalam rumah dahulu, mempersilahkan cowok itu duduk di sofa ruang tamu.

"Elin kenapa Bi?" Tanya Alvan lagi karena bi Nani belum menjawab pertanyaannya.

"Maagnya kambuh, kemarin dari pagi teh dia belum makan sama sekali. Kalau nggak ada kakaknya, non susah makan," jelas bi Nani.

Alvan mengangguk, dia masih menunggu ucapan bi Nani selanjutnya.

"Kalau maagnya kambuh pasti non juga demam, dia sekarang lagi di kamar. Badannya panas, tapi menggigil terus dari subuh."

"Saya boleh lihat dia?" Tanya Alvan yang langsung diangguki oleh Bi Nani.

Rumah Elin yang minimalis dan tidak terlalu luas membuat Alvan tidak harus membutuhkan waktu lama untuk ke kamar Elin yang berada di lantai dua. Bi Nani memutar knop pintu yang dia yakini adalah pintu kamar Elin.

Alvan berjalan masuk ke kamar Elin mengikuti bi Nani tanpa menutup pintu kamar Elin kembali. Cowok itu mendekat ke Elin yang terbaring lemah diatas kasur. Tubuh gadis itu tertutup selimut sampai leher. Elin menggigil, bibir pucat gadis itu juga terus bergetar. Rasanya Alvan jadi tidak tega melihat keadaan Elin yang seperti itu.

Tangan Alvan terulur menyentuh dahi Elin, panas. Suhu tubuh Elin memang sangat panas.

"Kenapa Elin nggak di kompres bi?" Tanya Alvan kepada Bi Nani yang berdiri tidak jauh darinya.

Bi Nani mendekat ke tubuh Elin, duduk di pinggiran kasur yang gadis itu tiduri. Tangan wanita itu terulur untuk menyentuh kening gadis itu yang memang sangat panas, "non Elin mah tidak pernah mau kalau di kompres, paling non minum obat penurun demam biar suhu tubuhnya stabil. Itupun juga kalau mau. Biasanya kalau nggak ada kakaknya susah disuruh minum obat," jelas Bi Nani sambil beranjak dari duduknya.

"Bibi mau kebawah dulu, bikin bubur buat non Elin. Aden teh sekalian mau dibikinin sarapan apa?"

Alvan menggeleng, "saya udah sarapan dirumah," tolaknya. Bi Nani mengangguk, lalu meninggalkan Alvan dan Elin dikamar.

MiddlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang