37 - Kenyataan Yang Menyakitkan

106 28 0
                                    


Elin masih terus menangis sembari menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Dia masih belum menyangka dengan apa yang satu jam lalu dia dengar. Bahunya terus bergetar, isakannya semakin kencang.

Irgi datang dari arah dapur membawa segelas air putih, meletakkannya di meja. Cowok itu mengambil duduk tepat disebelah Elin dan mengusap punggung gadis itu pelan-pelan, berusaha menenangkan.

"Udah Na, udah jangan nangis terus."

Tangis Elin tambah kencang, semakin meraung. Gadis itu lalu berhambur kepelukan Irgi, mendekap cowok itu erat-erat.

Irgi meletakkan dagunya dipuncak kepala Elin sembari terus menepuk-nepuk punggung gadis itu. Dulu Elin menangis sehebat ini karena ditinggal bundanya.

Tiba-tiba saja timbul pertanyaan dibenak Irgi. Apakah Elin menangis sehebat ini ketika mendengar kabar kematiannya?

Irgi harap begitu. Tapi dia merasa dirinya jahat jika sampai Elin menangis meraung-raung karena mendengar kabar kematiannya-padahal dia sebenernya nggak mati. Konyol.

Asumsi-asumsi yang bercecal dipikiran Elin selama kurang lebih setahun terakhir ini sudah terjawab sudah. Dia lega karena akhirnya rasa penasarannya terjawab. Tetapi Fakta yang menurutnya terlalu menyakitkan untuk dia dengar itu terus-terusan berputar-putar dipikirannya.

Elin tidak menyangka kalau Fathur sejahat yang dia duga-ah tidak, lebih jahat yang dia duga.

"Na, lo harus terima kenyataannya."

"Udah deh jangan nangis lagi, diem ya."

"Nanti mata lo sembab, besok lo harus pulang ke Jakarta."

"Nana plis dengerin gue, kepala lo bisa pusing kalau kelamaan nangis."

"Kak Rey-"

"Gue mau sendiri," ucap Elin. Dia mengurai pelukan.

Tanpa mengatakan apa-apa Irgi hanya mengangguk, membiarkan Elin, semau gadis itu.

Elin meraih gelas yang berisi air putih didepannya, meneguknya hingga tandas. Dia memang beneran haus karena ternyata nangis juga butuh tenaga. Selesai minum dia langsung beranjak dari duduk dan berjalan ke tangga yang menghubungkan lantai dua.

Ruangan bercat putih langsung menyambut Elin begitu dia membuka pintu kamar. Kamar ini polos, tidak ada barang-barang bertema pastel seperti dikamar rumahnya. Dindingnya bercat putih. Hanya ada satu ranjang berseprai doraemon dan lemari kayu yang menjulang tinggi. Selebihnya hanya ada nakas dan kursi didekat ranjang.

Terakhir Elin kesini waktu dia duduk di kelas 10 awal, waktu itu dia kesini bersama kakaknya dan sahabat kakaknya-Bayu. Bukan untuk liburan, tapi untuk kepentingan pekerjaan Reynal.

Bingkai foto yang tergeletak asal diatas nakas membuat air matanya mengalir kembali. Potret lawas dirinya dan Fathur, entah kenapa Elin masih membiarkan foto itu tergeletak disana.

Elin pikir air matanya sudah habis karena tadi dia sudah merasa air matanya nggak keluar waktu dipelukan Irgi. Cuma terisak-isak saja. Mungkin karena tadi Elin minum air segelas sampai tandas habis, makanya air matanya kembali ada stok.

"Mereka istri dan anak gue."

Hanya mendengar kalimat pendek yang terdiri dari lima suku kata yang diucapkan Fathur tadi membuat hatinya kembali tercabik-cabik.

"Waktu lo ikut kakak lo ke Bali, dulu. Gue ke club dan ketemu dia, and next lo ngerti kan apa yang terjadi diantara gue dan dia. Waktu itu kita sama-sama dalam keadaan mabuk. Gue kira aman-aman aja karena selesai malam itu dia lost kontak dan gue kembali ke seharian gue sebagai siswa kelas sebelas, dan pacar lo. Tiga bulan kemudian dia ngehubungi gue, dia hamil anak gue. Itu alasan gue tiba-tiba pergi ninggalin lo."

MiddlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang