32 - Saranghae

75 26 0
                                    


Tatapan Elin tidak sedetikpun berpaling dari Alvan yang sekarang tengah berada di medan perang—lapangan pertandingan. Tim basket sekolahnya sedang berjuang untuk membawa nama baik sekolah.

Dengan jersey dan headband warna senada—merah—membuat penampilan Alvan berbeda hari ini. Entah hanya menurut Elin atau yang lain (karena Elin sedang dimabuk asmara kawan-kawan)
Alvan terlihat keren dengan gaya seperti itu. Walaupun berhasil mendapatkan 3 poin lebih unggul dari Tim lawan, Elin masih belum bisa tenang sebelum Tim sekolahnya benar-benar dinyatakan menang.

Lagi-lagi Tim sekolahnya berhasil memasukkan bola kedalam ring. Alvan yang memasukkan bola tersebut. Elin tersenyum, matanya masih tidak mau berpaling dari Alvan. Terlihat dari tengah lapangan Alvan melemparkan senyum kepada Elin, lalu melakukan kissbay. Kompak cewek-cewek yang duduk di tribun belakang Elin langsung jejeritan tidak jelas.

"Alvan keren parah," ucap Kate berbisik di telinga Elin, menoel lengan Elin beberapa kali. Namun Elin tidak sedikitpun berniat untuk menanggapi Kate.

"Melting kan lo, haha baper kan lo? Gue yakin nih habis ini jadian sekalian pesta kemenangan," ucap Kate, masih di abaikan oleh Elin. Akhirnya Kate hanya bisa mendengus kesal karena terkacangin.

Kate itu sahabat yang setia ya kawan-kawan. Setia ngintilin Elin. Sebenarnya Kate awalnya tidak diizinkan pihak sekolah untuk ikut mensuport tim basket sekolahnya di sini karena tim suport semuanya kelas 12 yang sudah bebas dari pelajaran. Tetapi karena Kate itu otak kancil, dia akhirnya memanfaatkan posisinya sebagai sahabat setia sehidup semati sesurga-nya Elin.

Kalau Elin, jelas dia tinggal bilang saja sama kepala sekolah. Anak kesayangan mah bebas mau ngapain aja.

.
.

Pertandingan usai, dan tim basket SMA Buana berhasil memperebutkan juara pertama setelah beberapa jam yang lalu—serta kemarin—bertanding dengan tim basket dari SMA-SMA lain.

Seusai pengumuman keluar semua tim basket sempat melakukan sesi foto-foto, Alvan, cowok itu tidak henti-hentinya menatap Elin yang duduk di tribun paling depan. Alvan sedang melakukan sesi foto dengan timnya, Elin sempat tertawa kala menyadari kalau Alvan di tegur pelatih karena terus menatap ke tribun bukannya ke arah kamera yang membidiknya.

Tidak sampai disitu. Beberapa pemain yang tadi bertanding—pemain yang menarik perhatian—diantaranya Alvan, mereka langsung di serbu penonton cewek. Diperebutkan untuk diajak foto. Elin hanya tersenyum menatap Alvan yang kewalahan, walau aslinya Elin cemburu, sedikit.

Senyum Elin luntur begitu tiba-tiba saja ingatan akan masa lalu mampir. Elin pernah merasakan hal yang seperti ini. Menjadi pendukung Fathur kala itu, menyaksikan Fathur di perebutkan cewek-cewek untuk diajak foto, lalu Elin hanya tersenyum dan menahan cemburu.

Elin merasakannya kembali sekarang. Dan lagi-lagi dengan orang itu, Alvan.

"Wah gile si Alvan laku keras," ucap Kate. Lalu dia tertawa terbahak-bahak, "liat tuh mukanya si Putra, ngenes amat nggak ada yang ngajak poto."

"Gue jadi inget ya dulu waktu gue ikutan lo nonton kak Fathur, kak Farel juga banyak yang ngajakin foto. Waktu itu gue sakit hati banget cuy, ah—" ucapan Kate terhenti begitu menyadari ekspresi Elin. Kate tahu betul apa yang tengah Elin pikirkan dengan ekspresi yang seperti itu.

Elin menatap Elin yang atapannya kosong. Kate mendengus pelan. "El," panggilnya.

Elin menoleh, sedikit terkejut, "eh—apa?"

Kate menghela napas berat, "lo ingat kak Fathur lagi?"

"Nggak."

"Ekspresi lo nggak bisa bohong, gue udah biasa nih liat ekspresi kayak gini diawal—"

MiddlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang