23 - Ayah

80 26 0
                                    


Elin meletakkan gelas berisi air di meja makan dan segera meraih ponselnya yang terus-terusan berdering didalam kantong jaketnya. Tanpa melihat siapa si penelpon tersebut Elin langsung menggeser tombol telepon berwarna merah, lalu dering ponselnya tidak terdengar lagi.

Elin guder dengan Kate. Sejak pagi Kate menghantuinya terus menerus mau mengajak liburan ke Raja Ampat. Katanya mumpung libur seminggu dan kebetulan papa Kate sedang di Raja Ampat juga.

Lain dengan Kate, Elin tidak berniat sama sekali liburan. Lagian kan ini libur cuma seminggu, ditambah lagi tugas-tugas yang diberikan guru setiap mapelnya. Kalau ditinggal liburan lantas bagaimana dengan nasib tugas yang bejibun itu? Taruhannya nilai. Dan Elin adalah salah satu murid yang sangat sensitif dengan nilai. Dia akan mati-matian mendapatkan nilai yang tinggi untuk mempertahankan peringkatnya.

Sudah sejak SD Elin melakukan itu, berusaha menjadi yang terbaik dalam segala bidang. Hal itu dia lakukan karena dia haus perhatian, perhatian dari seorang Ayah. Elin melakukan semua itu agar ayahnya memberinya apresiasi, setidaknya ucapan selamat. Namun nyatanya Elin tidak pernah mendapatkan hal sederhana tersebut. Sampai sekarangpun, Elin masih berusaha menjadi yang terbaik agar ayahnya bangga dengan dia, agar ayahnya memberi apresiasi dengan apa yang selama ini Elin capai.

Elin dan ayahnya memang masih berhubungan baik. Elin menganggapnya begitu, entah dengan ayahnya. Terakhir kali ayahnya menghubungi untuk mengajak Elin tinggal dengan keluarga baru ayahnya.

Selebihnya ayah Elin tidak pernah mengatakan apa-apa lagi kepada Elin. Pesan yang Elin kirim beberapa waktu lalu karena dia gagal mendapatkan juara pertama ketika olimpiade, dan ayahnya sama sekali tidak menjawab pesan Elin. Jangankan menjawab, membacanya saja tidak.

Hal itu penyebab hati Elin sakit yang sesungguhnya. Elin kecewa dengan ayahnya karena tidak merespon pesannya dan Elin juga kecewa dengan dirinya sendiri karena tidak mendapatkan juara pertama.

Elin pernah berpikir Seandainya dia dapat juara pertama, pasti ayahnya akan memberikan apresiasi kepadanya.

Dering ponsel Elin kembali terdengar, membuyarkan lamunan Elin. Gadis itu segera meraih ponselnya dan menggeser tombol telepon berwarna hijau tanpa melihat terlebih dahulu siapa si penelpon.

"Apalagi sih kan gue udah bilang gue nggak mau—"

"Elin.."

Suara berat dari seberang telepon menghentikan kalimat Elin, dengan cepat Elin menjauhkan benda pipih tersebut dari kupingnya. Melihat layar ponselnya, tertera nama Ayah disana. Elin tersenyum tipis, ayah menelponnya.

"Iya yah?"

Elin menjawab dengan senyuman, dia menarik kursi hingga menimbulkan deritan pelan. Lalu duduk. Menunggu kalimat apa yang akan ayahnya katakan selanjutnya.

"Kamu ada acara hari ini?"

"Nggak ada, kenapa?"

"Ayah jemput kamu dirumah, segera."

Belum sempat Elin mengatakan sesuatu lagi sambungan sudah diputus sepihak oleh ayahnya, Elin tersenyum. Entah itu senyum sedih atau senang, Elin tidak bisa menjabarkannya. Mungkin senang karena setelah sekian lama, dia bisa mendengar suara ayahnya lagi. Mungkin juga sedih, ayahnya masih bersikap datar kepadanya.

Elin segera berlari ke kamarnya, setibanya dikamar dia menutup pintu kamar masih dengan senyum merekah. Banyak dugaan-dugaan yang Elin duga, salah satunya adalah ayahnya mungkin mau mengajaknya jalan-jalan. Ini pertama kalinya ayah mau menjemputnya, pertama kalinya dia akan pergi satu mobil dengan ayahnya, berjalan-jalan dan bersenang-senang dengan ayahnya. Ah, semoga sesuai ekspetasi.

MiddlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang