Di antara tingginya gedung-gedung yang berjajar Ara menerawang jauh garis cakrawala yang terlihat dari kejauhan. Napasnya yang teratur kemudian berubah menjadi berat seiring dengan langit yang mulai mendung. Ara sampai sekarang masih meragu bahkan ketika dia sudah menetapkan mana yang harus dia pilih.
"Kamu akan tinggal di sini dalam waktu lama?"
Ara membalik tubuhnya yang masih mengenakan kemeja satin berwarna merah. Matanya menatap ke arah wanita yang duduk di sofa ruang tengah apartemen barunya. Apartemen? Rasanya Ara bahkan tidak percaya bisa tinggal sendirian seperti ini setelah perdebatan panjang dengan mama. Baik tentang pria maupun tempat tinggal. Dia hanya ingin menjauh untuk sesaat.
"Nggak akan selamanya karena gini-gini aku masih cinta dengan tanah airku sendiri."
Wanita itu tertawa
Lalu apakah dia melarikan diri? Mungkin? Atau tidak?
"Kamu bicara seperti itu untuk menyindirku, ya?"
Ara tertawa lepas mendengar itu lantas berjalan menuju teman lama yang sekian lama hanya bisa dirindukannya. Wanita itu masih secantik dan semuda dalam ingatannya walau kenyataannya dia adalah ibu dari dua orang anak. Namanya Jennie dan kini sedang menatapnya kesal sembari terus mengikuti pergerakannya hingga menjatuhkan diri ke atas sofa empuk.
"Tidak juga. Lagi pula kamu tinggal di Australia juga untuk suamimu. Ngomong-ngomong tempat ini bagus. Aku nggak tahu kalau kamu ternyata punya tempat kayak gini tanpa sepengetahuan kak Leo. Kenapa?"
Jennie memandangnya sebentar lantas ikut merebahkan punggungnya ke belakang. "Buat jaga-jaga aja kalau dia lagi ngeselin. Buat tempat sembunyi juga."
Ara tidak mengerti bagaimana hubungan pernikahan berjalan, untuk itu dia hanya tersenyum dan meraih cangkir tehnya yang sudah mulai mendingin. Jennie hendak meneruskan ucapannya namun suara ponsel yang berada di tangannya mengalihkan perhatiannya. Setelahnya wanita itu menarikan jari-jarinya di atas layar kemudian kembali menatap pada Ara yang sibuk memandang ke arah jendela kaca yang menunjukkan teriknya matahari.
"Oke, itu sama sama sekali nggak penting. Sekarang, kamu sudah siap buat cerita apa yang terjadi? Ini sudah lebih dari dua minggu sejak kedatangan kamu di sini dan berjanji akan cerita sama aku. Memangnya kamu lagi nggak ada proyek film baru?"
"Aku lagi vakum, Jen. Untuk beberapa waktu nggak akan ngambil proyek film ataupun kerjaan apapun."
Jennie membuka mulutnya, tampak tidak menyangka akan jawaban itu. Namun hingga lima detik berlalu tidak ada suara yang keluar dari sana. Apa yang dikatakan Ara jelas adalah salah satu hal mustahil yang entah bagaimana bisa terjadi. Jennie tahu betul bagaimana Ara mencintai pekerjaannya dan mendengar kata vakum dari mulutnya benar-benar membuatnya kaget.
"Kayaknya kamu kaget banget?"
Jennie mendengus mendengar pertanyaan itu. "Banget. Memang ada hal apa sampai kamu mutusin buat vakum?"
Ara tertawa miris mendengar tanya itu dengan mata yang mengedar ke seluruh ruangan hingga akhirnya berakhir lagi pada Jennie. Wajahnya masih tetap penasaran dan melihatnya membuat Ara merasa tidak punya alasan lagi untuk terus menghindar. Jennie sudah terlampau baik hati untuk menyambutnya di negara asing ini.
Sore itu pasca siangnya mendapat kesempatan untuk bertemu pak Rayhan Ara memutuskan untuk bertemu Reno. Bos besarnya itu menyetujui keputusannya untuk vakum dan mengizinkannya untuk tinggal di luar negeri sementara. Sejalan dengan itu Ara nanti juga akan membicarakannya pada mama walau tahu kalau wanita itu yang akan paling sulit mengizinkannya.
"Tumben minta ketemu di sini. Ada apa?"
Ara tersenyum saat menatap Reno yang mengambil duduk di seberangnya. Mereka berangkat terpisah di sebuah restoran tempat kali pertama mereka bertemu. Tempat yang bisa dibilang bersejarah bagi keduanya.
"Kamu lagi nggak sibuk, kan?"
Reno tersenyum lalu kepalanya menggeleng. "Aku nggak pernah terlalu sibuk buat kamu, Ra. Aku akan selalu ada buat kamu."
Andai saja Ara tidak memberi kesempatan pada Kevin untuk mendekatinya sekali lagi, apa yang terjadi saat ini akan berbeda? Mungkin saat ini hubungan kedua sudah menjadi sangat intim dan bahkan kemungkinan besar bisa saja merencanakan sebuah pernikahan. Seperti yang selalu mama impikan. Namun sayangnya keadaan tidak pernah menyetujui angan yang ada di kepalanya.
Ara tersenyum lantas memanggil pelayan supaya mereka bisa memesan makanan. Jam memang belum menunjukkan waktu makan malam, tapi tidak ada salahnya Ara mengulur pembicaraan mereka agar terasa lebih santai dan tidak kaku.
"Jadi ada apa? Nggak biasanya kamu kosong di jam kayak gini."
Ara meraih garpunya, berusaha untuk makan dengan tenang walau kenyataannya terlampau banyak yang menganggu pikirannya.
"Aku memang sengaja minta kak Edo kosongin jadwal hari ini. Sengaja, ada yang ingin aku omongin ke kamu."
"Apa?"
"Ng ... gimana kalau kita makan dulu aja. Biar enak."
Samar Ara dapat melihat kebingungan di wajah Reno. Wajar, karena biasanya mereka akan banyak mengobrol saat makan. Namun laki-laki itu memutuskan untuk tidak banyak bertanya dan memakan makanan yang sudah dipesannya tadi.
Ara bersyukur karena hal itu dan melegakan dadanya dengan mengambil napas beberapa kali. Berusaha untuk menenangkan dirinya agar suaranya tidak bergetar.
"Jadi ada apa?"
Ara merutuk dalam hati, mengeluh kenapa waktu justru terasa cepat ketika dia berharap sebaliknya. Namun, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengundur waktu lagi.
"Aku ... kayaknya...." Ara memandang Reno sebentar lantas memejamkan matanya. Bingung harus bagaimana mengatakannya.
Reno menyadari hal itu, namun memutuskan untuk tidak berbuat banyak dengan tetap diam dan memperhatikan.
"Kamu bisa langsung pada intinya." Pada akhirnya Reno memutuskan untuk membantu saat semenit berlalu dan Ara masih bingung entah dengan apa.
Ara mengangguk samar. "Oke. Maaf sebelumnya kalau aku nyakitin kamu, tapi ... kayaknya kita nggak bisa terus seperti ini."
Gerakan tangan Reno yang hendak meraih gelas di hadapannya seketika berhenti. Kepalanya mendongak dengan perlahan, seakan bersamaan dengan itu otaknya sedang mencerna apa yang baru saja diucapkannya. Dan saat kepalanya sudah mengarah tepat padanya, wajah lelaki itu berubah menjadi sedih.
"Kamu memilih Zeron?"
Bahu Ara langsung turun mendengar itu. "Ren, bukan kak Kevin yang buat aku ngomong ke gini ke kamu. Kalau bisa, seandainya semua bisa diulang aku bakal memilih untuk kenal kamu lebih dulu dari pada kak Kevin. Kamu laki-laki mapan, dan bersama kamu aku bisa rasain gimana rasanya dimengerti dan mencoba mengerti, tapi .... maaf, aku nggak bisa."
Tangan Reno terkepal begitu erat, namun tidak berapa lama hembusan napas mencoba untuk tetap tenang keluar dari mulutnya. "Coba jelaskan kenapa kamu harus minta maaf ke aku?"
Sebenarnya Ara tidak ingin berbicara banyak. Suaranya sudah mulai bergetar, dan kemungkinan beberapa menit kemudian akan membuatnya menangis. Namun disaat ada sesuatu yang keluar dari mulutnya maka ada alasan yang menyertainya. Ara harus mengatakannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DEFINISI
RomanceCOMPLETED [SPIN OFF AKU / Ara Story] [Romance] Kehidupan Ara sebagai seorang aktris papan atas nyaris sempurna. Ia memiliki fans yang selalu setia mendukungnya dan film yang hampir keseluruhannya mendapat predikat box office. Semuanya begitu sempurn...