DFN 35

976 56 0
                                    

Di antara banyaknya orang di muka bumi orang spesial yang ingin Kevin ajak ke studionya adalah Ara, bukan saingannya. Rasanya ia masih tidak percaya pada dirinya sendiri jika menyetujui begitu saja Reno yang ingin bicara dengannya dan akhirnya mengajaknya studionya. Dari pada sedang ingin hanya mengobrol Kevin merasa mereka berdua lebih mirip dengan pasangan homo yang mencari tempat sepi untuk memadu kasih.

"Kayaknya lo sedang buat musik. Mau bikin album baru, ya?"

Kevin menjatuhkan dirinya pada sofa di ujung ruangan dengan kesal, tepat di sebelah Reno yang masih saja menampakkan wajah ramah padanya.

"Gue kira kita ke sini bukan buat ngomongin album baru gue. Well, lo bukan reporter, kan?"

Senyum ramah di wajah Reno perlahan menghilang dan digantikan senyum seadanya yang terkesan basa-basi.

"Ternyata memang nggak ada gunanya basa-basi sama seorang rival."

Kevin hampir tertawa mengejek dirinya sendiri mendengar kata-kata itu. Rival? Bagaimana bisa dia dikatakan sebagai rival di saat mama Ara sudah benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk mendekati Ara?

Ada denyut tajam yang familiar di dadanya saat mengingat hari itu. Rasanya jika bisa ia ingin bekerja sama dengan alam semesta untuk menciptakan takdir yang lebih baik untuknya. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Semuanya sudah terlalu terlanjur untuk memulai dari awal lagi.

"Rival? Lo yakin gue rival?"

Kevin dengan terang-terangan menampakkan wajah mengejek. Bukan untuk Reno, melainkan dirinya sendiri. Perusahaan tempatnya bernaung sore itu sedikit ramai, tadi saat berjalan ke studionya ia beberapa kali bertemu dengan sesama penyanyi atau aktor. Mereka semua menyapanya lalu melanjutkan urusan mereka masing-masing di perusahaan.

"Jadi lo sudah menang?"

Entah disadari Reno atau tidak, wajah laki-laki itu tampak kecewa. Seharusnya Kevin senang mendapati hal itu pada rivalnya, namun keadaan tidak mendukung untuk itu. Kevin menghela napas panjang lantas meraih dua botol air mineral yang masih disegel yang memang selalu disediakan di studionya. Salah satu tangannya lalu terulur pada Reno yang walau sempat bingung akhirnya menerima botol itu.

Keheningan di antara mereka terjeda semakin lama saat keduanya memilih fokus pada botol bening masing-masing. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan keduanya hingga salah satunya memutuskan untuk menyerah dan mengungkapkannya.

"Jadi lo gimana?" Reno mengatakannya dengan nada suara yang aneh.

"Apa yang gimana?"

"Lo sama Ara. Gue tahu kita memang nggak saling kenal, tapi kita punya tujuan yang sama yang hanya ada satu orang bisa sampai di titik itu. Kalau lo berhasil itu berarti gue gagal, dan sebaliknya kalau gue berhasil lo gagal—"

"Gue nggak tahu apa yang terjadi sama lo dan Ara belakangan ini, tapi jika dilihat dari situasinya. Gue mungkin nggak bisa dikatakan lagi rival lo. Peluang gue untuk mendapatkan Ara bahkan udah hampir nggak ada."

Reno tampak sama sekali tidak menduga kata-kata semacam itu akan keluar dari mulutnya. Laki-laki dengan kemeja kusut itu bahkan sempat menganga lalu dengan cepat menutup mulutnya dan meminum air mineral di tangannya. Awalnya Kevin kira setelah mengatakan itu Reno akan menatapnya dengan tatapan seorang pemenang, namun ternyata dia justru tampak sama-sama frustasinya dengan dirinya.

Reno tersenyum miring, entah ditujukan untuk Kevin atau dirinya sendiri. "Well, gue rasa nasib kita nggak jauh beda."

Kevin mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Maksud lo?"

"Karena kita bukan remaja tanggung yang bakal saling pukul dan licik karena cewek ... gue rasa semuanya harus diakhiri sama Ara. Entah siapapun itu."

***

"Kak Edo, aku mau mampir ke perusahaan habis makan siang nanti. Bisa 'kan nganterin?"

Hari masih pagi namun Ara sudah harus disibukkan dengan sambungan telepon dengan manajernya. Dia sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Kenzie karena mama sedang tidak ada di rumah. Ara berdecak dalam hati karena tidak menduga mama akan tidur lebih lama selepas berlibur ke puncak dengan teman-teman arisannya dan pulang tadi dini hari. Sebagai anak tentunya Ara tidak akan tega membuat mamanya yang lelah bangun untuk membuat sarapan.

"Ken, bantuin aku buat susu." Ara berbicara ketika melihat Kenzie yang telah rapi turun dengan tangga.

Adik sepupunya itu tampak kebingungan tapi menurut dan mengambil dua gelas. Ara masih sibuk dengan panggilannya dengan Edo hingga tidak berapa lama berakhir saat sudah waktunya meniriskan mie yang sudah matang.

Iya, Ara hanya masak mie instan karena hanya itu yang bisa dimasaknya tanpa membuat orang lain mengerutkan dahinya.

"Ngapain mau ketemu pak Rayhan?"

Ara yang sedang mencampur mie dengan bumbu menoleh lantas kembali pada dua piring di hadapannya bergantian. Pak Rayhan yang Kenzie maksud sendiri adalah pemilik sekaligus pemimpin perusahaan di mana ia bernaung sekarang. Sebagai seorang aktris Ara tidak banyak bertemu dengannya karena memang tidak banyak alasan untuk itu.

"Ada urusan."

Perempuan itu sudah berpindah tempat ke meja makan lalu duduk. Hanya perlu menunggu Kenzie selesai membuat susu hangat dan setelahnya dia harus langsung berangkat begitu Edo sudah sampai di depan rumah. Jadwalnya hari ini tidak cukup sesak karena Ara sendiri belum memutuskan untuk membintangi film baru usai kesuksesan show love. Soal film sekuelnya pun kemungkinan tidak akan diproses dekat ini.

"Urusan apa? Biasanya kalau gini 'kan Kak Ara minta tolong kak Edo."

Tidak berapa lama adiknya itu sudah sampai di meja makan. Keduanya sudah menghadap sarapan sederhana mereka masing-masing dan langsung menyantapnya. Ara menatap adiknya sekilas laku kembali ke arah piringnya.

"Urusan yang cukup serius. Ada suatu hal tentang karir aku yang harus dibicarain sama pak Rayhan."

Wajah Kenzie yang tadinya tampak santai mendadak berubah jadi kalut. Adiknya itu bergerak di atas kursi dengan tidak nyaman dan tatapannya berubah jadi menuntut.

"Kakak nggak berniat buat mutusin kontrak eksklusif, kan?"

Perempuan itu mendesah lelah mendengar jawaban itu. "Nggak, lah. Ini hal lain yang mungkin cuma perusahaan yang bisa bantu."

***

DEFINISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang