Prolog

1.9K 175 155
                                    


Alena berjalan dengan santai menyusuri trotoar menuju halte. Hari beranjak semakin sore. Matahari kian terbenam dan semburat jingga di langit sudah mulai bermunculan.

Dia telat pulang karena ekstrakurikuler cheerleader nya sedang dalam tahap latihan ketat untuk tampil di acara hari ulang tahun sekolah dua minggu lagi.

Jalanan nampak tidak terlalu ramai. Mungkin ini efek hujan beberapa jam yang lalu. Di sekelilingnya juga terdapat genangan air yang terlihat sangat kotor. Alena melangkah perlahan agar tidak terpeleset. Tapi sayangnya, ia menginjak tali sepatunya sendiri dan jatuh dalam kubangan lumpur.

Semuanya berantakan.

Alena mengumpat pelan, ia dapat merasakan air kotor itu mengenai pahanya karena ia mengenakan rok pendek. Kakinya juga terasa sedikit sakit karena jatuh tiba-tiba.

Ketika akan bangkit, ia melihat sepasang sepatu kets berhenti di depannya. Alena mendongak, melihat seorang cowok dengan seragam sekolah yang sama dengan dirinya, mengulurkan tangan kearahnya.

Alena menerima uluran tangan itu untuk berdiri. Dia mengibas pelan roknya agar air kubangan itu dapat mengalir turun. Sesaat ia ingat akan sesuatu lalu menoleh kearah cowok tadi yang ternyata sudah duduk dibangku halte sembari mendengarkan musik dengan airpodsnya.

Alena berjalan mendekat, masih tidak nyaman dengan roknya yang basah, tapi ia tetap memutuskan mendekat, "Makasih." Alena berujar dihadapan cowok itu.

Cowok itu menatapnya. Alena dapat melihat kalau dia itu lumayan tampan, kulitnya putih dan matanya indah. Posturnya juga bagus, hanya saja wajahnya seperti tidak memiliki ekspresi.

"Shankara." Cowok itu mengulurkan tangan.

Alena mengerjap. Cowok itu mengajaknya berkenalan?

Karena ingin bersikap ramah, Alena membalas jabat tangan itu sembari tersenyum manis, "Alena."

Shankara menatapnya sesaat, masih tanpa ekspresi sampai Alena melepaskan tautan tangan mereka. Bus terakhir sore ini mungkin akan tiba beberapa menit lagi. Alena ingin sekali duduk tapi karena roknya basah, Alena takut mengotori bangku halte. Jadi dia memutuskan untuk berdiri saja.

Selang dua menit kemudian, perhatiannya teralih ketika melihat Shankara bangkit dari duduknya, meletakkan tasnya disana hanya untuk melepaskan jaket biru dongkernya.

Alena menahan napas ketika Shankara menyodorkan jaket itu kepadanya.

Suasana menjadi canggung karena Alena masih bingung harus bersikap seperti apa sampai Shankara akhirnya membuka suara.

"Rok kamu kotor."

"Gak papa. Aku bisa berdiri aja nanti di bus. Jaket kamu nanti yang jadi kotor."

Shankara menggeleng, melangkah mendekati Alena dengan tetap menyodorkan jaket itu, "Nanti kamu diliatin orang banyak."

Shankara memang benar. Alena juga akan merasa malu karena roknya kotor seperti ini. Apalagi betis dan sepatunya juga terlihat menjijikkan sekarang. Orang-orang pasti akan melihatnya dengan tatapan aneh.

Dengan tidak enak hati, Alena mengambil jaket itu dan mengikatkannya kepinggang. "Nanti aku balikin abis aku cuci."

Shankara tidak membalas. Cowok itu malah kembali duduk dan melakukan aktivitasnya seperti semula. Alena diam-diam mendongkol dalam hati karena kedinginan cowok itu. Tapi, dia juga berterima kasih karena walau begitu Shankara masih mau bersikap gentle kepada cewek yang bahkan tidak ia kenal.

Bus terakhir tiba. Alena segera naik dan mendapati ada tempat duduk yang kosong dan segera menempatinya. Bersyukur atas jaket pinjaman Shankara karena ia bisa tetap duduk tanpa mengkhawatirkan roknya yang akan mengotori bangku.

Mengingat Shankara, ia lupa bertanya kelas cowok itu dimana. Alena menepuk dahinya, merasa bodoh sendiri. Bagaimana ia bisa mengembalikan jaket ini jika Alena sendiri tidak tahu kelas Shankara di sekolah?

Ketika melongok keluar lewat jendela, Alena terkejut karena tidak menemukan Shankara disana. Cepat sekali perginya. Alena bahkan tidak melihat kapan mobil jemputan cowok itu tiba.

Alena tertegun ketika mendengar suara decitan bangku di sebelahnya. Saat ia menoleh, ia melihat Shankara sudah duduk disebelahnya sembari memejamkan mata dan memeluk tasnya.

WHAT. THE. HELL.

Gadis itu tak menyangka jika Shankara juga naik bus ini. Menilik dari gaya cowok itu, dia terlihat seperti orang yang berada. Alena mengira cowok itu pulang pergi dengan supir pribadi keluarganya.

"Shankara..." Alena memanggil pelan, jika Shankara tidak membuka mata, Alena bersumpah tidak akan memanggil lagi.

Ternyata Shankara mendengar panggilannya. Cowok itu membuka matanya dan langsung bersibobrok dengan manik hitam kelam milik Alena.

"Kamu naik bus ini tiap hari?"

Shankara mengangguk.

"Kelas berapa?"

"XII-A." Shankara menjawab pelan sebelum memalingkan wajahnya dan memejamkan mata kembali.

Ternyata dia anak kelas unggulan, Alena membatin. Di sekolahnya, kelas unggulan hanya diisi oleh orang-orang yang mendapat beasiswa karena prestasi dan juga orang-orang yang mampu menggelontorkan biaya lebih.

Untuk anak orang kaya lah istilahnya.

Maka dari itu Alena tidak bisa masuk kelas itu. Selain karena dia tidak terlalu pintar, Alena juga bukan berasal dari keluarga kaya. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya hanya pegawai kantoran biasa. Alena sendiri sudah bersyukur karena bisa bersekolah di SMA Catesza yang merupakan sekolah terbaik di kotanya.

Sepanjang waktu, Alena hanya mengamati jalanan lewat jendela. Dia sedang malas membuka ponsel karena sedang tidak punya kuota. Jadi, dia memutuskan untuk melamun saja sembari menyenandungkan lagu dalam kepalanya.

Ketika bus sudah sampai di halte dekat rumahnya, Alena bergerak untuk turun. Dia sedikit kesusahan melewati Shankara yang sedang terpejam. Alena tak ingin mengganggu tidur cowok itu lagi, jadi dia turun tanpa pamit.

Alena menapak di aspal, tepat ketika bus akan melaju lagi, dia menoleh, mendapati Shankara tengah menatap kearahnya lewat jendela bus dengan ekspresi datarnya.

ꜱʜᴀɴᴋᴀʀᴀ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang