32. Kejujuran yang Disembunyikan

212 40 8
                                    

•Selamat membaca•

_____

Ada dua kemungkinan yang Alena genggam saat ini. Pertama, Raksal memang sakit. Kedua, Raksal pura-pura sakit agar dia mau pulang. Apapun itu, keduanya sama-sama menjadi penyebab hubungannya dan Shankara yang semakin hancur.

Tetapi, Alena tidak mungkin mengabaikan Raksal. Tidak setelah segala kebaikan dan kepedulian yang Alena terima dari cowok itu sejak mereka kecil.

Jika Raksal tidak meliriknya di panti asuhan, dia tidak mungkin punya keluarga baru.

Jika bukan karena Raksal, dia tidak mungkin bisa bersekolah di SMA Catesza.

Jika bukan karenanya, dia tidak akan mungkin bisa hidup dengan penuh kasih sayang seorang ibu.

Raksal melakukan segalanya. Raksal yang membuatnya bisa sampai di titik ini dengan semua kemudahan yang diberikan dalam hidup.

Karena itu, apapun yang Raksal lakukan, Alena selalu percaya.

Percaya jika cowok itu tidak akan mungkin membohonginya.

Begitu ia tiba di rumah dan melihat Raksal tengah bergelung dalam selimut, Alena meyakini satu hal.

Raksal tidak pernah berubah. Cowok itu selalu menepati omongan dan janjinya. Sesuatu yang sangat Alena senangi dari dirinya.

"Lo dateng."

Itu kata pertama yang ia dengar dari Raksal. Cowok itu menurunkan selimutnya. Wajahnya terlihat pucat dan sorot matanya tersirat lemah. Entah apa yang terjadi dengannya.

Alena mendekatinya, menjulurkan tangan ke kening Raksal dan sadar jika cowok itu sedang demam.

"Ibu dulu sering bilang, jangan telat makan dan jangan tidur kemaleman," Alena menghela napas, "Dan kamu pasti ngelanggar keduanya."

"Lo ga ada disini,"Raksal berujar lemah, "Ibu juga gak ada disini. Terus buat apa gue ngerawat diri gue sendiri?"

"Buat kamu sendiri. Kamu tau sakitnya gimana tapi tetep aja gak pernah sadar kalo kebiasaan kamu itu berbahaya."

Raksal tersenyum lemah, "Lo peduli karena apa? Karena lo anggep gue kakak lo atau karena hal lain?"

Alena memandangnya gamang.

"Gue gak suka kalo karena balas budi, Alena. Gue udah bilang, lo gak perlu peduli sama gue karena ngerasa berhutang budi," cowok itu menggerakkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Alena, "Karena gue sayang lo dengan tulus."

Alena menunduk, memainkan jari-jemarinya sendiri seperti tengah merasa bimbang. Dia tidak tahu apa yang sedang ia rasakan. Dirinya sendiri takut jika ia malah menangis tiba-tiba karena jujur saja, belakangan hari ini ia sering merasa sensitif perihal Raksal.

"Kamu belum makan kan?" setelah mengontrol diri, Alena kembali bertanya.

"Belum."

"Aku bakal buatin bubur ayam."

"Gak mau." Raksal menolak, seperti anak yang sedang ngambek. Tetapi selanjutnya ia malah mengerling, "Aku mau nasi goreng yang dulu sering kita makan. Yang dijual di Jalan Yudistira itu."

ꜱʜᴀɴᴋᴀʀᴀ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang