Bintang Sembunyi

2.7K 320 7
                                    

Apa sih yang gue harapkan? Kebahagiaan yang selalu nggak direstui semesta. Harapan yang selalu di angkat tinggi-tinggi lalu di hempas sejatuh-jatuhnya.

Siapa yang mau gue salahin? Gue pun Mas Seungyoun sama-sama korban. Sama-sama pihak yang tersaikiti tanpa tau siapa menggores pertama kali.

Sakit, kesekian kalinya gue mencoba babak baru pasti selalu gagal.

Semesta nggak mendukung gue buat bahagia. Takdir yang nuntun gue buat selalu terluka.

Capek. Kesekian kalinya gue tanya 'kenapa' pasti selalu dijawab dengan rentetan sakit yang bertubi-tubi.

"Hey?"

Seseorang nepuk pundak gue dari belakang.

"Malam-malam di luar sendiri? Kenapa?"

Seseorang yang baru datang itu, seseorang yang pernah menaruh luka di hati gue, kini duduk di bangku taman rumah sakit yang sama sama gue.

"Cia kamu gapapa? Atau saya ganggu kamu ya?"

"Enggak Pak gapapa."

"Kamu kenapa di sini sendiri? Eh, saya ganggu kamu ya di sini? Kamu sakit? Atau mau saya telfonin Seungyoun?"

Nama itu lagi.

"Enggak Pak nggak usah, makasih."

"Beneran? Saya hubungi Seungyoun dulu kalau kamu sak-"

"Saya sudah nggak sama Pak Seungyoun, Pak."

"Eh?"

Nyeri lagi.

Situasi macam apa yang gue jalani detik ini? Duduk sama orang yang pernah ngasih luka paling dalam dan biarin dia liat gue nangisin seseorang yang baru aja ngasih luka baru.

"Cia kamu nangis? Saya minta maaf, saya nggak tau kamu sama Seungyoun."

"Nggakpapa Pak, nggak perlu minta maaf."

"Are you okay?"

Gue ngangguk.

"Saya nggak tau ini benar atau nggak, tapi kamu butuh ini?"

Pak Seungwoo meluk gue pelan. Perlahan, hati-hati. Tanganya bergerak mengelus punggung gue. Menepuk-nepuk pelan bahu gue.

Gue,

Gue nggak bisa gerak. Bukan, tapi gue terlalu kaget.

Ada sebagian diri gue mengiyakan perlakuan Pak Seungwoo. Ada sebagian kecil yang menikmati curahan afeksi dari sosok dosen gue.

"Pak, maaf." Gue melepas pelan pelukan Pak Seungwoo.

"Pasti berat buat kamu?"

"Lihat keatas Cia, kosong. Nggak ada hadir bintang di sana. Cia, kalau kamu merasa sendiri jalanin ini, lihat bintang tau perasaan kamu. Rela mengosongkan langit buat kamu."

Pak Seungwoo, figur laki-laki yang hadir di samping gue, memandang langit seksama.

Hadir lagi, sosoknya untuk kedua kali.

Semesta, tolong kasih tau gue rencana apa lagi ini?

"Ah maaf, pasti kamu nggak nyaman ya?"

Ada 'tidak' yang memberontak. Yang entah dari mana dan lwat apa harus gue suarakan.

"Ini pasti berat buat kamu. Diam sendiri di sini, sakit ya? Saya nggak tau apa masalahnya dan saya juga nggak berhak buat tau. Tolong jangan salah paham ya Cia? Saya cuma mau kamu merasa nggak sendiri."

Kalimat itu diakhiri senyum.

🐗🐗🐗

"Pulang Cia, nggak tidur semaleman. Jangan buat orang tua kamu khawatir ya."

"Mangkanya mbak Shinta jangan bilang-bilang."

Mbak Shinta menghela napas.

"Mau aku bilang atau nggak, namanya orangtua pasti tau kalau anaknya lagi kenapa-napa."

"Iya-iya. Mbak Shinta mau langsung pulang? Boleh ngobrol sebentar nggak?"

"Boleh, kenapa?"

"Dua hari lalu mbak, waktu aku bilang mau ke taman rumah sakit mbak inget?"

"Yang kamu nggak mau di temenin itu? Kenapa? Liat setan?"

"Iya, ih bukan!"

"Hahahaha, terus apa?"

"Itu, dia dateng mbak."

"Siapa? Pak Seungyoun?"

Gue menghela napas.

"Bukan. Mbak inget orang yang aku ceritain dulu nggak? Dosenku? Dia yang dateng."

Mbak Shinta negakin duduknya. Keliatan siap mendengar apa yang bakal gue omongin.

"Beneran? Kok bisa? Terus kamu gimana? Nggakpapa kan?"

"Nggakpapa mbak cuma aneh aja rasanya. Aku juga udah lupain yang dulu kok mbak. Dia di sini soalnya anaknya lagi drop."

"Terus terus?"

"Dia tanya aku kenapa duduk di situ sendiri. Dia mau telfon Mas Seungyoun mbak, tapi waktu aku denger namanya gatau tiba-tiba nangis. Duh lidahku sekarang kelu kalau sebut nama."

Mbak Shinta ngelus punggung gue.

"Gapapa Ci, wajar. Terus kamunya gimana?"

"Terus aku bilang aku udah selesai, dia kaget? Mbak, he hugs me with permission. Kayak gini, ngelus punggung aku. Aku kaget mbak."

"Cia? Are you okay?"

"Aku nggak bisa apa-apa kan mbak? Menurut mbak, is this normal? Duh mbak bukan maksudku gimana tapi dari setelah itu sampai detik ini otak aku nggak berhenti mikirin kejadian itu, aneh."

"Terus?"

"Gatau rasanya. Mbak jangan mikir kemana-mana dulu, aku cuma ngerasa aneh aja. It stuck in my brain."

"Aku, aku nggak bisa nyimpulin ini dengan sekali kamu cerita Cia. Aku juga nggak tau pasti gimana perasaan kamu. Yang pasti jangan terbawa sama yang ada Ci, hati kamu masih kalut. Jangan ambil langkah terburu-buru ya?"

Makasih banyak mbak. Tapi, he already pick me up."
-







Lanjut?

Dosen | Han SeungwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang