Tok'Tok'Tok
Zahra mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan penuh kehati hatian. Rasa cemas menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia harus membujuk ayahnya sekali lagi, agar di ijinkan untuk menikah. Jika dulu dia membujuk agar direstui dengan Doni, yang sudah dikenalnya sejak sekolah. Kali ini, tantangannya lebih berat. Meminta restu untuk dirinya dan Ilham, yang baru dia kenal beberapa saat yang lalu.
"Ada apalagi? Ayah kan sudah bilang. Ayah gak mau menemani kamu menemui tamu undangan. Biar kamu belajar tanggung jawab dengan keputusanmu." Gerutu Heru seketika setelah didapatinya Zahra yang berada di depannya.
Segera hendak di tutupnya kembali pintu kamar, tapi dengan cepat Zahra mencegahnya.
"Yah, bukan soal tamu undangan. Zahra mau minta restu nikah sama Ilham" tegas Zahra
Heru terbelalak saat mendengarnya. Pandangan nya beringsut memperhatikan Ilham yang berdiri di belakang Zahra.
"Apa? Kamu yakin? Jangan gegabah kayak gini!" Heru sangat terkejut dengan perkataan Zahra yang mengajukan calon pengganti.
"Udah Zahra pikirkan kok Yah, ayo yah ke gedung. Nanti telat." rengek Zahra
"Zahra, pernikahan bukan hal yang main main." Heru masih tak percaya dengan pertimbangan Zahra.
"yah, Zahra gak main main kok." Zahra memohon.
"Kamu serius dengan anak saya?" Netra Heru beralih menatap ilham
Ilham diam sejenak. Menatap Zahra yang penuh pengharapan. Zahra mengkode Ilham agar segera mengangguk.
Ilham mengatur nafasnya yang tak karuan. Juga detak jantung yang berdegup cepat.
"Bismillah. Insyaallah saya serius tuan" jawabnya dengan penuh hati hati.
Heru mengusap-usap wajahnya dengan frustasi. Bukan apa-apa, tapi Ilham sama sekali belum dikenalnya dengan baik. Dia mana tahu apakah Ilham pria yang baik atau tidak untuk menikahi putri nya.
"Yah.... acara di gedung sebentar lagi." Mohon Zahra.
"Jangan menikah tergesa gesa begini, Zahra." Heru mendesah.
Zahra menggigit bibir bawahnya. Memang benar dia menikah dengan tergesa gesa. Tapi, disisi lain dia akan sangat malu jika pernikahannya batal. Diliriknya Ilham yang masih memasang wajah datar.
"Kalau di liat cakep juga sih, meski nyebelin dan nggak tipeku banget." Zahra berdialog sendiri.
"Nggak yah, Zahra serius" desak Zahra.
Heru membuang nafas kasar sekali lagi. Sebetulnya sangat tak rela jika anak gadisnya menikah dengan sembarang orang gitu saja. Tapi, Heru kenal siapa Bi Inem selama bekerja disini. Orangnya memang jujur dan baik. Heru berharap semoga anaknya pun demikian.
"Ayah nggak ngerti kenapa semuanya bisa kacau berantakan kayak gini!" Keluh Heru.
"Zahra harap, Ayah segera memberi keputusan. Supaya undangan yang disebar tidak sia-sia, supaya tamu undangan datang tanpa bertanya- tanya." Rayu Zahra.
Heru dengan sejenak diam. Menimbang nimbang dengan jeli. Jangan sampai dia salah menyerahkan anak gadisnya ke orang yang tak tepat.
Zahra menggigit bibir bawahnya, memastikan ayahnya mengaminkan permintaanya. Entah mengapa, tadinya Zahra ijin menikah karena malu pada tamu undangan. Kini berangsur angsur keyakinannya berubah. Keyakinannya berkata bahwa Ilham adalah orang baik. Mengapa bisa secepat itu keyakinan datang?
"Oke kalau begitu, tapi Ayah gak mau denger ada masalah lagi setelah ini. Karena setelah ini kamu akan jadi seorang istri kalau pernikahan ini benar terjadi." Akhirnya Heru buka suara.
Kata kata Heru seolah menjadi ancaman bagi Zahra.
Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Zahra pun tak punya pilihan selain menikah dengan Ilham. Dari pada dia harus menanggung malu. Hati kecilnya juga terus menggaungkan bahwa Ilham adalah orang yang tepat. Semoga memang benar begitu.
Bukankah waktu seringkali misterius? Membuka tabir yang sama sekali tak bisa di duga. Doni yang selama ini dia anggap sosok baik dan setia, ternyata tiga tahun tak membuktikan semuanya. Bisa saja, Ilham yang dingin dan jutek, yang baru dia kenal. Kenyataannya malah terbalik dengan Doni.
"Iya yah, Zahra janji" Zahra membentuk lingkaran dari jari telunjuk dan jempol yang saking menempel.
Fatimah yang sedari tadi terpejam tengah mengerjap ngerjapkan mata dan berusaha membukanya.
"Kamu sudah pulih," Heru mengusap usap kepala istrinya. Dia mengedarkan pandangan yang ada dihadapannya.
"Zahra? Gimana ini kelanjutan acaranya?" Fatimah memijat mijat kepala nya yang masih terasa pusing.
"Iya bun jadi, Zahra mau menikah dengan Ilham" jawab Zahra polos.
"Hah? Ilham? Kok bisa? Kamu bener bener sudah yakin?" Fatimah sangat terkejut mendengarnya.
Zahra mengangguk yakin.
"Yakin kok bun, ayo bun kita siap siap lagi, biar tante Tia yang rapikan dandanan kita" seru Zahra. Segera di hubungi tante Tia dan Icha yang tadi sudah pulang. Beruntung tante Tia dengan sigap kembali ke rumah Zahra.
Setelah tante Tia memolesnya kembali. Mereka semua langsung meluncur ke gedung pernikahan.
Didalam mobil, Bi inem bersebelahan dengan Zahra. Rupanya, Bi Inem sangat gerogi. Tangannya dingin dan gemetar, bibirnya tak henti berdzikir. Sebetulnya, Bi Inem enggan jika putranya menikah dengan anak majikannya. Dia tau betul. Zahra adalah gadis yang manja dan suka merajuk. Bagaimana bisa menikah dengan putranya yang kehidupannya sederhana. Bi Inem khawatir akan rapuhnya rumah tangga mereka.
Fatimah menggenggam tangan Bi Inem, "kenapa tangannya dingin? Bibi gerogi?"
"Ehmm, iya bu" Inem mengangguk.
"Kita doakan yang terbaik untuk anak kita ya bi" Fatimah merangkul pundak Inem.
Sebenarnya hal ini sama dengan yang dirasakan Fatimah. Fatimah tidak tau apakah Ilham pria yang tepat untuk putrinya.
Tak lama mereka akhirnya sampai di depan masjid sekitar gedung. Semua sudah menantinya.
Ilham melangkah dengan tenang dan datar. Walau sebenarnya ada degup kencang dalam dada. Sementara Zahra mengulum bibir, dia tidak tahu apakah harus senang atau sedih. Yang jelas, langkah Ilham semakin dekat dengan penghulu dan saksi. Satu kalimat yang akan mengubah semua kehidupannya. Apalagi kalau bukan kalimat akad. Kalimat yang tak sembarang di ucapkan. Ada janji dan komitmen di dalamnya.
"Bismillahirrahmanirrahim" Ilham melangkah mantap dengan hapalan teks yang sudah dirapalkannya terus selama perjalanan tadi.
Ini sama seperti mimpi di siang bolong. Baru saja dia bahagia memperoleh gelar camlaude dalam wisudanya. Baru saja dia bahagia bisa bercengkrama dengan ibunya setelah LDR selama ibunya di perantauan. Sekarang dia harus menghadapi kisah baru. Melamar anak gadis orang. Anak gadis yang baru dia temui sebelumnya. Yang dia tahu hanya cerita dari ibunya, bahwa anak gadis majikannya ini manja dan suka merajuk. Tapi mengapa hatinya sudah langsung mantap melamarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Dan Cinta [Revisi]
Teen Fiction"Mengertilah, bahwa saat seseorang menerimamu, dia juga sedang belajar menerima segala kelemahanmu. Harusnya kamu juga belajar hal yang sama. Bukan kembali membahas hal hal yang sering mendatangkan luka. Atau hal hal yang membuat aku merasa kamu tid...